Beberapa jam sebelumnya,
Tama mengambil cuti tahunan hari ini sehingga dia bisa menemaniku hingga sore hari. Ibu juga tidak keberatan untuk mengantarkan makan siang kesini. Dia justru senang jika Tama menemaniku, apalagi setelah mendengar peristiwa hilangnya Soleh secara misterius.
Meskipun ibu bukan tipe orang yang mempercayai hal ghaib, tetapi Ibu takut jika peristiwa yang sama terjadi denganku. Rasa takut kehilangan mendera hati ibu apalagi semenjak meninggalnya Ayah. Sebenarnya, Ibu sudah mengajukan supaya tempat karantinanya dipindah di tempat lain, tapi permintaan itu di tolak oleh para petinggi desa. Aku selalu menyakinkan ibu jika aku akan baik-baik saja.
"Jadi Ayah dan Reza yang telah merampok dan mencelakai Pak Rangga?" Dia terbelalak mendengar penuturanku. Ekspresi wajahnya menunjukan ketidakpercayaan. Ayah memang orang yang sangat keras dan dingin, tapi dia tidak menyangka jika ayah melakukan hal sekeji itu.
"Iya, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, kakek bersorban putih itu yang telah membuka rekaman masa lalu di rumah ini."
"Tapi, bagaimana cara membuktikan jika Reza telah melakukannya? Apakah Mas punya barang bukti?"
"itu yang menjadi masalahnya Tama, Mas tidak mempunyai barang bukti, pisau yang digunakan untuk merobek mulut Pak Rangga juga dibawa pergi olehnya."
BUKKKKK! AWWW!
Terdengar benda jatuh ke tanah berasal dari halaman belakang. Aku dan Tama saling pandang. Keadaan di dalam yang sunyi memungkinkan mendengar suara dari luar Lalu kami beringsut kebelakang. setelah membuka pintu, kami mendapati Hendro menggeliat kesakitan di atas tanah, sembari memegang dadanya. Dia terjatuh dengan posisi tertelungkup. Lekas kami menghampirinya,
"Mas hendro enggak papa?" tanya Tama sembari memapah tubuhnya menuju bangku yang terletak di belakang rumah. Hendro masih memeganggi dadanya yang kesakitan.
"Ndro, kamu ngapain naik pagar kayak maling aja!" hRafakku frotal. Pasti niat terselubung sampai dia bisa sampai melompat pagar. Tama menatapku, seolah meminta pengertian dengan keadaan Hendro.
Hendro seperti orang linglung. Dia memandang sekitar dengan sangat waspada, memastikan kondisi aman.
"Kamu habis maling ya Ndro, kok celingukan gitu." Imbuhku, Tama menepuk tanganku sebagai isyarat untuk berhenti bicara.
"Mas Hendro ada apa?" tanya Tama lembut. Tama memang punya rasa empati yang tinggi sangat berbanding terbalik denganku yang sedikit temperamental. Dia sangat mampu menjadi penengah ketika ada keributan, selain pendengar yang baik dan penjaga rahasia tentunya.
Hendro yang semula memandang sekitar, langsung menoleh ke arah Tama. Mimik wajahnya terlihat memelas, "Ham, Sembunyikan aku, Polisi sekarang sedang mencariku?"
"Apa? Polisi?" seruku dan Tama bebarengan.
"Emang Mas melakukan kesalahan apa sampai dikejar polisi?" tanya Tama. Sementara aku sudah tidak sabar menunggu penjelasan Hendro.
"Mencuri Ham, Aku, Dennis dan Reza adalah maling yang biasanya mencuri di desa sebelah. Yang menjadi buronan polisi, Tapi, sore ini aku mendengar kabar kalau Dennis sudah menyerahkan diri ke polisi. Dia pasti akan menyeretku dan Reza. G*blok banget itu anak ngapain dia menyerahkan diri segala!" gerutunya tidak karuan.
Plak! Sebuah tamparan keras menghantam pipinya. Geram sekali aku mendengar perkataannya, sampai tanganku refleks melayang ke arahnya.
"Justru kamu yang G*blok, Dennis menyerahkan diri berarti dia menyesali perbuatannya dan mau bertanggung jawab dan kayak kamu bego!" Amarahku meluap-luap.
Mata hendro mendelik, di luar dugaan dia mengeluarkan sebuah pisau lalu mendekap Tama dari belakang, dan mengarahkan pisau itu di leher Tama.
Aku membelalakan mata, ekpresi geram sekarang ganti menjadi memohon. Hendro benar-benar nekat, pantes saja dia menjadi buronan polisi. Sementara Tama terdiam ketakutan. Rasa simpati yang salah membuahkan musibah untuknya. Hendro tak ubahnya Reza, sama-sama bajingan.
"Hahahaha, kenapa ayo tampar aku lagi. Berani enggak" ejeknya.
"Enggak, lepaskan adikku Ndro. Aku janji akan menyembunyikanmu disini, supaya kamu aman dari kejaran polisi."
"Bohong, aku tidak percaya denganmu."
"Sumpah, lepaskan adikku, aku akan menuruti semua perintahmu."
"Aku bukan anak kecil yang bisa kau tipu Aku ini perampok, sudah banyak orang yang aku celakai, jadi jangan macam-macam denganku. " tegasnya sembari mengeratkan dekapannya. Terlihat Tama memekik karena pisau itu semakin dekat ke lehernya.
"Ok, jangan celakai adikku. Aku mau menanyakan sesuatu. Jika kamu adalah perampok. Apakah kamu tahu siapa yang merampok Pak Rangga di rumah ini?"
Hendro berfikir sejenak,"Aku tidak tahu."
"Bagaimana kamu bisa tidak tahu, katanya kamu perampok."
"Iya, memang perampok tapi kami tidak pernah merampok di desa ini, apalagi rumah Pak Rangga. Dan setahuku, tidak ada perampok lain selain kami."
"Jadi pelakunya bisa jadi salah satu diantara kalian."
Perkataanmu membuat Hendro terdiam sejenak. Dia tampak berfikir keras. Aku sudah mengenal Hendro lama sejak di bangku sekolah. Meskipun nekad, tapi dia tergolong lemot dalam berfikir. Sehingga sedikit pertanyaan bisa kepalanya pusing. Dia, Reza , dan Dennis adalah satu gang. Tapi aku menyangka jika Dennis terlibat dengan mereka karena dennis tergolong orang yang pendiam, sedikit misterius.
"Aku benar-benar tidak tahu siapa pelakunya, pasti untung besar dia merampok Pak Rangga, apalagi Pak Rangga kondisi lumpuh. pasti sangat gampang."
"Dan pelakunya mengajak Ayahku untuk ikut serta. Ayahku memiliki rahasia yang di pegang oleh pelaku sehingga dia terpaksa mengikuti kata pelaku untuk merampok Pak Rangga." Jelasku membuat Hendro melongo.
"Apa Ayahmu?" sahut Hendro, "Katakan siapa pelakunya?"
"Reza, dia yang merampok rumah ini. Dia ingin menguasai harta Pak Rangga sendiri tanpa mengajak kalian teman segangnya."
Hendro membelalakkan mata, dia tidak menyadari jika pisaunya jatuh.tak menyangka dengan apa yang aku ucapkan. Dia membuang pandangan, seperti baru menyadari sesuatu.
"Dasar Reza serakah. Bisa-bisanya dia merampok sendiri."
"Kenapa kamu marah?"
"Jelas Aku marah, selama merampok, Reza yang mengambil bagian paling banyak. Mentang-mentang dia pemimpinnya. Dan ternyata diluar dari sepengetahuanku, dia juga operasi bersama Ayahmu. lama-lama aku muak dengannya."
"Terus apa kamu mau bergabung dengan Reza?"
"Tidak, tidak sudi, aku tidak mau lagi bergabung dengannya."
"Apa kamu akan menyerahkan diri seperti Dennis?"
Lagi-lagi Hendro membisu. Mimik wajahnya menjadi ketakutan. Maling yang sangar tapi ciut kalau mendengar kata penjara.
"Karena Dennis sudah menyerahkan diri, jadi tidak ada gunanya kamu lari lagi, kemanapun aku sembunyi, pasti polisi akan gampang mencarimu. Apalagi jika sampai kamu melukai adikku, bisa-bisa kamu dihukum seumur hidup." Tegas ku seperti skak mat, sehingga Hendro tidak berkutik. Dekapannya terhadap Tama merenggang. Tama pun melepaskan diri. Hendro tidak memperdulikan Tama lagi, dia tampak merenung.
"Rafa, aku mau mengakui sesuatu."
"Tentang apa."
"Yang mencuri Tas dan Kopermu itu adalah kita bertiga."
Aku terkejut mendengar penuturan Hendro, darahku kembali mendidih tapi aku mencoba untuk menahannya , aku butuh penjelasan darinya secara detail.
"Karena ini semua adalah perintah Ayahmu. Maka Tas, koper, termasuk dompet di serahkan oleh Ayahmu. Yang kami dengar Beliau hanya ingin memberimu pelajaran. Tapi belakangan aku mengetahui ternyata Reza yang tidak memberikan kepada Ayahmu, tapi menyimpannya di dalam rumahnya, dan uang yang ada di rekeningmu, dia hambur-hamburkan bersama Dina."
"Yang perlu kamu tahu, bahwa Reza itu mempunyai kenalan orang yang pandai di bidang IT. Bodohnya kami, kami selalu tidak ikut ketika Reza menguras isi dari Atm yang dicuri. Jadi kami terima berapapun yang dia kasih tanpa protes. Sekarang aku menyadari bahwa Reza adalah orang yang sangat licik."
"Jadi semua uangku habis? Kamu tahu enggak? kerja di timur tengah itu berat? Kalian seenaknya mencuri dan menghabiskannya " sergahku dengan emosi yang tidak terbendung. Tama tampak memegangi tanganku.
"Mas sabar, percuma Mas marah-marah sama dia, uang Mas tidak akan kembali. Lagipula, dia juga telah ditipu oleh Reza.
"Kamu ini apa-apaan sih Tama, dia tadi itu hampir mencelakaimu, kenapa kamu malah belain dia?"
Tama tidak menggubris pertanyaanku, dia meraih pisau ditanah dan berbicara dengan Hendro,"Mas, sebaiknya menyerahkan diri kepada polisi. Daripada nanti aku panggil warga untuk menggeroyok kamu."
"Jangan panggil warga, aku akan menyerahkan diri, Lalu akan menyeret Reza supaya dia dihukum berat karena telah mencelakai Pak Rangga."
Aku yang semula emosi menjadi mereda, kelihatannya Hendro bisa diajak kerja sama untuk menjebloskan Reza ke penjara.
"Aku punya rencana untuk membuat penangkapan Reza lebih dramatis."