"Mbak ...." Kaisar ingin mengatakan pada Felicia kalau Reyhan adalah pria bajingan yang berselingkuh di belakangnya.
"Ya?" Namun wajah Felicia membuat Kaisar tak mampu mengatakannya.
"Emm ... cuma mau bilang makasih." Kaisar mengurungkan niatnya. Bila gadis ini harus patah hati seharusnya bukan terucap dari bibirnya. Kaisar tidak tega bila harus melihat Felicia bersedih.
"You're welcome," jawabnya sembari berlalu.
"Shit! Kenapa gue speechless di depan dia sih?" gumam Kaisar kesal dengan dirinya sendiri.
[Lupakan Kaisar. Kehidupannya bukanlah urusanmu. Kamu punya kehidupan yang jauh lebih rumit, urusi saja urusanmu sendiri.] batin Kaisar. Lagi pula ia tak seharusnya ikut campur urusan orang lain, apa lagi masalah percintaan.
— **** —
Sesuai anjuran Rangga, Felicia berkencan untuk makan malam dengan Reyhan. Mereka berjanji untuk bertemu di rooftop restorant berbintang lima disebuah hotel milik keluarga Dirgantara.
[REYHAN : Pukul tujuh malam, jangan terlambat, Cia!]
Felicia membaca pesan dari Reyhan yang mengingatkannya tentang makan malam hari ini. Tentu saja Felicia langsung sumeh saat membacanya. Tawa manis terlihat memulas wajah cantiknya.
"Senyam senyum sendiri, Dok? Ada hal bagus apa?" Seorang suster menemui Felicia.
"Malam ini aku akan berkencan. Aku sudah tidak sabar menunggu nanti malam."
"Wah, akhirnya setelah sekian lama Anda pergi berkencan juga. Padahal Anda akan menikahi pria setampan Mas Reyhan, tapi justru jarang bertemu, apa enggak sayang?" tanyanya.
"Apa kelihatan sekali? Bahkan Papaku juga menegurku." Felicia menjadi panik, ia tak punya maksud mejauhi Reyhan, hanya saja kesibukan Felicia berjaga di IGD dan ICU membuatnya begitu sibuk sampai tak punya waktu untuk sekedar pacaran.
"Well ... tak perlu dianggap pusing, Dok. Justru kalau menurut saya, terlalu sering bertemu sebelum menikah juga enggak baik. Nanti pas malam pertama rasanya hambar. Kalau jarang ketemu malah nanti kangennya maksimal, jadi tiap hari rasanya semakin nambah cinta dan nggak mau pisah," cicitnya sembari menggoda Felicia agar tidak panik.
"Kau benar, ayo kembali bekerja," ajak Felicia bersemangat.
Kesibukan yang sama di UGD seperti biasanya. Felicia dengan telaten dan juga gesit berlari ke sana kemari. Rumah sakit besar memang berbeda, meski sudah ada dua dokter jaga, tetap saja rasanya seperti pekerjaan ini tak ada habisnya. Bekerja keras memang membuat waktu berjalan dengan cepat. Tanpa terasa jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tinggal satu jam lagi jam kerjanya berakhir dan Felicia akan bersiap untuk bertemu dengan Reyhan.
Tapi ...
BRAK!!
Suara sirine ambulan dibarengi dengan beberapa orang perawat di dalam ambulan mendorong blangkar berisi pasien gawat darurat. Pasien kecelakaan.
"Cia, ganti bajumu dan ikut aku!" Seorang dokter bedah tulang masuk ke dalam UGD, ia baru saja mendapatkan telepon dari kepolisian untuk menerima pasien kecelakaan.
"Tapi ..." Felicia ingin menolak, jam kerjanya sudah habis dan dia ada kencan makan malam dengan Reyhan.
"Tolong!! Tolong suamiku!! Huhuhu ...." Seorang wanita terlihat menangis pilu, wajahnya pucat pasi saat melihat kondisi mengenaskan suaminya.
Kedua pasangan lansia itu pergi ke pasar hanya untuk membeli sayuran dan minyak agar bisa berjualan gorengan besok. Namun naas, sebuah truk yang sopirnya mengantuk menyenggol sepeda motor milik mereka.
Istrinya terpental, pantatnya mendarat di aspal, tak ada luka cidera serius selain lecet. Tapi suaminya ikut terseret motor sejauh beberapa meter sebelum akhirnya jatuh di dalam selokan.
Tulangnya patah, ada pendarahan internal juga di bagian perut. Terlihat dari perutnya yang membuncit seperti balon. Mengingat usianya yang telah senja, oprasi membutuhkan tindakan cepat. Felicia terpaksa diikutkan dalam tim, mereka kekurangan dokter sore hari itu.
"Panggil juga dokter bedah umum dan juga anastesi. Kita akan mengoperasinya secara bersamaan." Dokter tulang memerintahkan perawat menyiapkan kamar operasi.
"Baik, Dok."
"Cia!! Kami membutuhkanmu!"
Felicia melirik lagi ke arah jam, mungkinkah operasinya akan kelar dalam waktu dua jam??
"Tapi, bukankah masih ada dokter lain yang bisa menangani pasien ini, Dok. Jam kerja saya hampir berakhir, dan saya ada janji." Felicia mencoba bernegosiasi.
"Apa sumpah jabatanmu saat menjadi dokter, Cia??" Dokter itu berkacak pinggang, "Lagi pula memangnya hanya kamu yang punya janji dengan keluarga?? Dasar menyebalkan." Ia pun berlari menuju ke ruang operasi.
Felicia tak punya pilihan lain, apa lagi saat melihat nenek yang meski terluka, masih dengan setia mendampingi suaminya. Ia menangis sesunggukan. Felicia merasa iba, sebagai dokter ia harus menolong nyawa meski persentasi keselamatannya hanya 1 persen sekali pun.
Felicia sampai di ruang operasi, ia mencuci tangannya sebersih mungkin sebelum mulai bekerja. Ternyata ruang operasi begitu ramai sore ini. Apa yang sedang terjadi?
"Siapa? Kenapa butuh dokter sebanyak itu?" tanya Felicia pada suster kepala di ruang operasi bagian satu, ia melihat ada lima dokter dengan gelar profesor dan juga beberapa dokter spesialis.
"VIP, dia pemilik rumah sakit ini. Katanya sih syaraf kejepit di punggung. Saya juga tidak tahu, Dok. Hanya saja kita jadi kekurangan dokter karena beliau datang tiba-tiba." Suster itu menghela napas dan kemudian bersiap masuk ke dalam ruang operasi.
"Well ... uang yang berkuasa." Felicia menghela napas dan masuk ke dalam ruang operasi. Pantas saja ia harus ikut melakukan operasi, karena semua dokter yang kompeten sedang melakukan operasi lain di ruang sebelah.
.
.
.
Ternyata operasinya tidak hanya berjalan selama dua jam. Tapi hampir tiga jam. Operasi pembedahan perut karena adanya pendarahan internal, dan patah kaki.
"Shit!! Shit!!" Felicia terus mengumpat saat melihat kearah jam dinding. Terlambat satu jam dari pertemuan yang mereka sepakati. Felicia mencuci muka dan berganti pakaian seadanya. Tak ada waktu untuk berdandan, yang penting segera sampai ke hotel terlebih dahulu.
[Gila, 28 missed calls. Aduh Rey, kenapa ga diangkat sih??] Felicia menjambak rambutnya panik saat melihat banyaknya miss called dari Reyhan, ia pun menelephon balik, namun Reyhan tidak mengangkat panggilannya. Gadis itu mempercepat langkah kakinya, masih dengan selop rumah sakit.
"Taxi!!" Felicia mencegat sebuah taxi yang sering mangkal di depan rumah sakit.
"Hotel Dirgantara, Pak."
"Siap, Neng."
— ******—