Di Hotel Dirgantara.
Reyhan duduk melihat ke pemandangan malam yang begitu indah. Lampu-lampu jalan dan kendaraan yang berlalu lalang bagaikan lautan penuh ribuan bintang yang berkilauan. Di depan Reyhan, Fiona duduk dan menikamati wine menggantikan Felicia yang lagi-lagi, tidak menepati janjinya.
"Dia yang mengajakku bertemu, dia juga yang terlambat datang." Reyhan melirik ke arah jam tangannya, sudah pukul tujuh malam, terlambat satu jam.
"Ini bukan lagi terlambat, Kak Rey. Mungkin dia tak akan datang." Fiona terkekeh, ia sudah bisa menduga kalau kakaknya akan ingkar janji.
"Cih, kamu benar." Reyhan tampak sangat kecewa dan penuh dengan amarah. Felicia bahkan tak mengindahkan panggilannya. Dia juga tak memberi kabar pada Reyhan alasan ia datang terlambat.
Fiona bangkit dari kursinya dan duduk di pangkuan Reyhan, lengannya bergelayut manja di leher Reyhan sementara kakinya bersilang.
"Makan malam denganku saja, Kak Rey. Aku akan membiarkanmu memakanku sampai habis." Fiona berbisik seductive, membuat Reyhan langsung mengendurkan dasinya karena luapan libido.
Bibir Fiona mendekati bibir Reyhan, hendak menyarangkan sebuah kecupan, tapi saat Fiona hampir menyentuh benda kenyal itu, ponsel Reyhan berbunyi. Felicia menghubungi. Reyhan melirik sekilas dan meletakkan kembali ponselnya ke atas meja dengan kasar.
"Dia sudah diperjalanan."
"Yah, Baiklah, aku tunggu Kak Reyhan di kamar. Jangan lupa janji Kakak untuk memutuskan Kak Cia hari ini." Fiona mengusap dada Reyhan dengan lembut. Reyhan mengangguk.
"Bagus, aku cinta Kak Rey!" Fiona bangkit dari pangkuan Reyhan dengan gembira, gadis itu mengecup kening Reyhan sebelum meninggalkan ruang VIP.
Reyhan merapikan pakaiannya sementara para pelayan mengganti table decor dengan piring dan alat makan yang baru. Mereka juga mengganti gelas wine dan membuka wine baru untuk Reyhan.
Sementara itu di dalam taxi. Felicia menumpahkan semu isi tasnya di atas jog mobil. Hanya bedak, lipstik, dan juga pensil alis yang ada di dalam tas kerjanya. Felicia bergegas memulas wajah dan merapikan rambutnya. Ekor kuda, gaya andalah Felicia, rapi, nyaman, dan tidak ribet.
"Duh, agak cepat sedikit donk, Pak!" Felicia gusar.
"Macet, Neng. Ini malam minggu!" tukas Pak Sopir.
Felicia tahu bahwa percuma ia mencicit pada Sopir taxi itu supaya mengebut. Jalanan memang sangat padat karena anak-anak muda dan pasangan yang memilih menghabiskan waktu di akhir pekan dengan berpacaran. Tapi Felicia tak punya pilihan, ia harus lekas sampai atau Reyhan pasti akan marah padanya.
"Shit!!" Felicia mengumpati dirinya begitu keluar dari dalam taxi.
Masing dengan penampilan kacau dan sepatu heel yang dipakai sebelah, Felicia meloncati tangga lobby dengan satu kakinya.
"Silahkan, Nona." Petugas membukakan pintu lobby yang terbuat dari kaca tinggi berframe emas nan mewah.
"Thanks, Pak," ucap Felicia tanpa melihat. Fokusnya hanya pada Reyhan saat ini.
Felicia memakai sebelah sepatunya dan melepaskan serandal selop dengan logo rumah sakit tempatnya bekerja. "Come on!! Come on." Dengan tidak sabaran tangannya memencet tombol lift supaya box mesin itu lekas turun ke bawah untuk menjemputnya naik.
TING! Pintu lift terbuka.
"Thanks, God!" Untunglah pintu lift lekas terbuka. Oh, Andai saja tak ada pasien yang harus dioprasi secara mendadak sore ini, sudah pasti Felicia telah menikmati makan malam bersama Reyhan.
Di dalam lift, ia kembali merapikan rambut dan dandanannya. Setelah di rasa cukup, Felicia menarik napas panjang beberapa kali supaya napasnya tak lagi tersenggal.
TING!
Pintu lift terbuka.
Suara musik klasik langsung terdengar begitu Felicia melangkahkan kakinya di dalam lobby restoran. Restoran bintang lima yang terletak di sisi teratas dari hotel mewah esklusif yang tak lain adalah milik dari Reyhan Dirgantara.
Reyhan terlihat begitu berkharisma. Tatanan rambut licin dengan setelan jas mahal. Pria itu duduk dengan santai, menikmati pemandangan malam hari dari ketinggian sembari menyesap wine tua dengan harga selangit.
"Rey, sory aku terlambat. Sudah lama?" Felicia masuk ke dalam ruangan kaca dengan raut wajah cemas.
"Hanya satu jam tujuh belas menit tiga puluh enam detik. Tidak lama." Reyhan menarik ujung kemeja agar arlojinya terlihat. Sambil mendenguskan napas ia menjabarkan waktu yang ia buang untuk menunggu Felicia datang.
"Dan kau masih bertanya apakah aku sudah lama menunggumu?? Kamu benar-benar keterlaluan, Cia." Ketara sekali rasa kesal dan muak tergambar dari sorot mata Reyhan yang begitu tajam.
"Aku minta maaf, Rey. Tadi ada pasien gawat darurat yang harus dioperasi ter—"
"Cukup!! Aku tak ingin mendengar alasanmu, Felicia!! Kamu pikir sudah berapa kali kamu membuatku menunggu karena kesibukanmu??" Bentak Reyhan, Felicia langsung tersentak, tak ayal iris matanya yang berwarna coklat hazel itu tergenang oleh air mata, tak biasanya Reyhan sekasar ini meski ia sedang marah sekali pun.
"Maafkan aku, Rey."
Reyhan menatap Felicia dengan pandangan benci. Sudut matanya menelusuri tiap jengkal tubuh Felicia mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Rambutnya lepek karena keringat, kaca mata tebal, wajah berminyak, make up seadanya, baju blouse dan rok pensil warna hitam dan putih, juga sepatu heels lima cm yang ujungnya mulai mengelupas.
Reyhan menghela napas panjang, bagaimana dulu ia bisa jatuh cinta pada gadis dengan penampilan lusuh seperti ini?? Bahkan betah berpacaran hampir dua tahun dan melamarnya. Mereka sudah akan menikah bulan depan.
[Benar kata Fiona, aku sungguh buta!] pikir Reyhan.
"Kapan terakhir kali kamu membeli sepatu, Cia?" Reyhan menunjuk ke bawah. Felicia spontan menyembunyikan sepatu buluknya.
"Eum ... sepatu ini adalah hadiah ulang tahun darimu, aku suka memakainya. Lagi pula sayang bila membuang-buang uang untuk membeli yang baru padahal sepatu ini masih bisa di pak—"
"Stop!! Stop!!" Reyhan memotong lagi kalimat Felicia. "Kamu kira aku ini cowok miskin?? Aku kasih kamu kartu kreditkan?? Kamu bisa pakai buat dandan!! Coba lihat cewek lain di sekitar kamu, Cia!! Lihat mereka!! Mereka cantik dan berkelas!! Sedangkan kamu semakin hari semakin lusuh dan mirip gembel."
Felicia langsung melihat ke sekeliling ruang kaca, memang benar, bila dibandingkan dengan penampilan mereka, penampilan Felicia paling lusuh dan buluk. Bukan tidak punya uang, namun memang Cia tak pandai mengurus diri karena telah kehilangan sosok Mama sejak lama. Belum lagi kesibukkannya sebagai dokter membuat Felicia kehabisan waktu.
"Aku tak tahan lagi padamu, Cia. Kita putus saja." Reyhan menaruh gelas wine kosong.
"Apa??"
"Kita putus!! Apa suaraku masih kurang jelas, huh??" Bentak Reyhan, Felicia langsung tergugu dan menangis begitu mendengar permintaan putus dari Reyhan.
"Tapi satu bulan lagi kita menikah, Rey! Semua persiapannya sudah selesai!!" Felicia menutup mulutnya menahan kesesakan.
"Aku tak mencintaimu lagi, Cia. Jadi sebelum terlambat, kita akhiri saja hubungan kita." Reyhan mengancingkan setelan jasnya.
"Rumah kita juga sudah hampir jadi, kita sudah memesan semua perabotan. Lantas apa hiks ...hiks ... apa alasanmu memutuskanku, Rey?" air mata Felicia turun dengan deras. Hatinya bergemuruh dengan begitu hebat. Apa alasan Reyhan memutuskan hubungan mereka begitu saja. Tinggal menghitung hari dan mereka akan mengucapkan janji suci pernikahan di depan pemuka agama, tinggal lima minggu dan mereka akan membina rumah tangga yang sekinah. Lantas kenapa? Kenapa Reyhan tega??
"Aku tak mau punya istri yang lusuh dan tak pernah punya waktu untuk suaminya. Lihatlah dirimu, mengurus diri saja kamu tidak cakap apa lagi kelak harus mengurus suami, anak-anak, dan rumah tangga," ucapan Reyhan menusuk hati Felicia. Sakit, perih. Bagaikan teriris oleh sembilu.
"Aku minta maaf bila aku terlambat datang. Aku juga minta maaf bila aku kurang memperhatikan diriku. Aku janji akan berubah, Rey. Aku janji tak akan mengecewakanmu lagi. Tolong jangan putus dariku." Felicia menggenggam tangan Reyhan, namun pria itu menghempaskan tangan Felicia sampai gadis itu jatuh terjungkal ke belakang.
Beruntung tamu-tamu lain tak bisa memperhatikan pertengkaran mereka karena meski dindingnya terbuat dari kaca, kacanya adalah kaca one way. Hanya bagian dalam ruangan yang bisa melihat ke luar.
"Rey!! Tunggu Reyhan!! Dengerin aku dulu!!" Felicia menahan pergelangan kaki Reyhan agar pria itu tak meninggalkannya pergi begitu saja. Felicia ingin menyelesaikan masalah mereka dengan kepala dingin selayaknya orang dewasa. Bukankah setiap permasalahan pasti selalu ada jalan keluarnya?!
"Minggir!! Aku muak melihat wanita culun sepertimu, Cia!! Enyahlah dari hidupku dan jangan pernah muncul lagi!!" Reyhan menghentakkan kaki jenjangnya seakan menendang tubuh Felicia.
Tubuh mungil Felicia terhempas kembali. Bokongnya sakit sekali, tapi luka fisik itu tak ada artinya dibandingkan luka hati yang Felicia terima. Reyhan dengan tanpa rasa bersalah meninggalkan Felicia menangis sendirian di dalam ruangan itu.
"Tidak, aku tak boleh menangis dan pasrah begitu saja. Aku memang bersalah, aku membuat Reyhan marah karena menungguku satu jam lebih. Aku juga sudah membuatnya malu dengan penampilanku." Felicia bangkit dan langsung menghapus air matanya, ia pergi menyusul Reyhan. Gadis culun ini masih berharap secuil cinta dari Reyhan bisa menyelamatkan hubungan mereka.
"Reyhan!! Tunggu!!" Felicia menyusul Reyhan masuk ke lift berikutnya. Felicia tahu, kamar nomor berapa keluarga Dirgantara biasa menginap di hotel-hotel milik mereka.
Tapi ...
Saat pintu lift terbuka. Felicia melihat Reyhan di kejauhan. Reyhan terlihat sedang menggandeng wanita lain. Wanita cantik dengan gaun malam berwarna hijau emerald.
"Rey—" suara Felicia tercekat.
—*****—
Jangan lupa folkow IG othor rengginan @dee.meliana