"Nggak, Will! Ini sakit!"
"Will, jangan kasar!"
"Will, jangan! Aku hamil! Jangan kasar!"
***
William terkesiap, bangun dari tidurnya dengan terengah-engah. Peluh membasahi sekujur tubuhnya, mengalir melalui pahatan bentuk tubuhnya yang berotot.
Pria itu mengusap keningnya yang basah. Dia baru saja mimpi buruk. Mimpi yang sepertinya sangat nyata. Dia menyakiti Paula dengan memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan kondisi Paula.
Dia tak percaya bahwa dirinya bisa melakukan hal itu kepada Paula. Selama ini, walaupun mereka berdua tak saling mencintai, tetapi William selalu melakukannya dengan sepenuh hati. Tak pernah dia mengejar kesenangan sendiri seperti dalam mimpinya barusan. Dia selalu memberikan perlakuan yang baik untuk Paula, setimpal dengan yang dilakukan oleh Paula untuknya. Timbal balik yang manis.
Akan tetapi, apakah mimpi yang baru saja dia alami adalah kenyataan? Jika benar, Paula mengatakan bahwa dirinya hamil. Benarkah? Ataukah dia mengalami mimpi ini karena terkenang-kenang permasalahan kemarin?
"Oh, Tuhan! Mengapa hidupku jadi berantakan begini?" keluh William seraya membanting badannya ke kasur lagi.
William kembali mengusap kening dan memijit pelipis. Dia tak boleh terpengaruh dengan hal ini. Ada banyak masalah yang harus dia selesaikan terlebih dahulu.
"Minum dulu tehnya, Will! Mumpung masih hangat." Suara wanita di sebelah William sangat membuat pria itu terperanjat.
"Lea? Kenapa kamu di sini?" tanya William dengan panik. Apakah semalam dia melakukan sesuatu dengan Lea?
"Kamu lupa? Aku, 'kan, memang tinggal di sini," jawab Lea dengan wajah muram.
William mengamati sekitarnya dan menyadari bahwa dia semalam tak pulang ke rumahnya sendiri, melainkan ke rumah orang tuanya. Hari ini, dia memang berencana untuk merundingkan permasalahan pernikahannya dengan Lea.
Pria itu menyesap teh hangat yang disuguhkan Lea. Agak terlalu manis. Dia terbiasa dengan teh tawar yang disajikan Paula.
"Kenapa, Will? Nggak enak?" tanya Lea penasaran karena dahi William mengkerut.
"Ah, nggak apa-apa, kok, Le!" jawab William seraya tersenyum canggung.
Pria itu kemudian mengucapkan terima kasih ke Lea. Lea pun membalas dengan senyuman masam, dia tahu kalau William tak terlalu suka dengan teh buatannya.
"Dari dulu, bangun pagi dan membuatkan kamu teh hangat adalah impianku, Will. Namun, entah mengapa saat terwujud, suasananya begitu menyesakkan," ujar Lea seraya membasahi bibir dengan lidahnya. Sangat nyata di mata William bahwa wanita itu menahan tangis.
William tak menjawab apa pun. Dalam hati, dia sangat iba dengan musibah yang menimpa Lea. Namun, mengapa rasa iba itu hanya sampai ke tahap iba? Mengapa hatinya lebih sibuk memikirkan Paula?
"Kalau bayi dalam perutku ini tidak ada, apakah kamu masih bisa mencintai aku dengan tulus seperti dulu, Will?" tanya Lea kemudian. Matanya berkaca-kaca. Dia menatap William dengan putus asa.
Tentu saja pertanyaan Lea membuat William sangat gugup. "Maksud kamu apa, Lea? Bayinya sudah ada dalam perut kamu. Dia anak kamu."
Lea menggeleng keras tanpa melepaskan tatapannya kepada William. "Haruskah aku menggugurkan bayi ini, Will?" tanya Lea dengan suara gemetaran.
Pecahlah juga tangis Lea. Wanita itu tak lagi kuasa menahan sesak di dadanya. Pria yang dulu mencintainya, sekarang sudah berubah. Sama sekali tak seperti William yang dulu mencintainya tanpa syarat, walaupun orang tua menghalangi.
"Le, aku tetap sayang kamu. Jangan berpikir yang bukan-bukan!" ujar William panik. Dia segera duduk dan mencoba menenangkan Lea. Dia tak ingin Lea berbuat hal buruk kepada bayi yang tak bersalah itu.
"Jangan bohong, Will! Kamu nggak sayang ke aku seperti dulu lagi. Aku dengar sendiri kamu mengigau nama Paula dalam tidurmu." Tangis Lea semakin menjadi. Hatinya hancur sejak menyaksikan William meneriakkan nama Paula dalam tidurnya. "Itu sebabnya kamu ragu-ragu dengan pernikahan kita, 'kan? Kamu bahkan belum menggugat cerai Paula sampai detik ini."
"Lea, dengerin aku! Bayi itu ada bapaknya. Dan aku harus tahu siapa dia sebelum memutuskan menikah sama kamu." William mencengkeram bahu Lea dan berusaha memahamkan kekasihnya. "Dave harus tahu yang sebenarnya, Le. Terlepas dia dan kamu akan mengambil keputusan seperti apa."
Mata Lea terbelalak. Dia tak menyangka William akan menyebut nama pria itu di depannya. "Dave?" Calon ibu itu mengusap air matanya dengan terburu-buru. "Jadi, kamu udah tahu siapa ayah bayi ini?"
"Maaf, Le! Aku harus tahu. Kau merahasiakan ini padaku. Jadi, aku mencari tahu sendiri." William berkata lirih sekali. Hal ini memang bentuk ketidakpercayaan kepada Lea yang pertama kali William lakukan.
Lea tak meneruskan lagi perkataannya. Sudah sangat jelas bagi dia bahwa William sudah berubah. Entah karena bayi dalam kandungannya. Atau karena Paula. Namun, ketika Lea memikirkan semua kembali, semua memang sudah seharusnya berubah. William telah menyentuh wanita lain yang sangat cantik dan berkepribadian tegas–bila tak bisa dikatakan unik.
Begitu juga Lea. Dia telah memilih untuk membalas dendam. Dia melakukannya dengan pria lain. Mana mungkin segalanya akan kembali seperti semula?
Hari itu, William mencoba menjelaskan kepada kedua orang tuanya. Dia meminta waktu beberapa minggu lagi untuk membereskan perceraian dengan Paula. William tak sampai hati memberitahukan hal yang sebenarnya kepada kedua orang tuanya mengingat kondisi Lea yang kurang baik. Dia tak mau kekasihnya mendapatkan perlakuan buruk dari orang tuanya.
"Kandungan semakin lama semakin besar, Will! Jangan tunda terus," protes ibu William.
"Mommy benar. Lagi pula, kamu kok aneh banget. Dulu kamu ngotot sekali mau nikah sama Lea. Sekarang malah kayak nggak mau?" selidik Tuan Alex sambil membetulkan letak kacamatanya. "Jangan-jangan kamu maunya dua-duanya?"
"Daddy!" bentak Nyonya Lisa memarahi suaminya yang berbicara asal saja.
William hanya tersenyum simpul. Dia kemudian berpamitan pulang karena tak ingin berlama-lama bersama keluarganya dan Lea. Entahlah, dia merasa lebih nyaman menyendiri untuk saat ini.
***
Semalam, William pulang ke rumahnya. Walaupun di rumah sendirian begitu menyiksa sejak perginya Paula dari sisinya, tetap saja lebih baik daripada di rumah orang tuanya.
Semalaman William mencoba berpikir. Namun, belum ada keputusan yang bisa diambilnya. Tangisan Lea terngiang-ngiang di benaknya, bergantian dengan senyuman Paula dan hari-hari luar biasa yang mereka lewatkan bersama.
Pagi harinya, William dibangunkan oleh telepon dari ibunya.
"Will, Lea pergi dari rumah!" ujar sang ibu dengan kebingungan. Napasnya memburu, William bisa mendengarnya dengan jelas.
"Apa, Mom? Pergi ke mana?" tanya William yang masih setengah sadar.
"Dia nggak telepon atau kirim pesan ke kamu, Will?" tanya wanita paruh baya itu lagi.
William pun segera memeriksa kotak masuk dan terbelalak mendapati pesan singkat dari Lea. Kantuknya seketika hilang berganti kepanikan yang tak diharapkan.
***
Will, maaf. Aku pamit ke Surabaya. Kalau kamu masih menginginkanku, susul aku ke bandara segera. Akan tetapi, Kalau hati kamu sudah untuk orang lain, tolong jangan halangi aku lagi untuk pergi. Aku nggak bisa hidup sama kamu, sementara ada bayangan wanita lain di benak kamu, Will.
Maafkan aku, Will. Semoga kamu memaklumi keputusanku ini.
***