Chereads / Keturunan Terakhir / Chapter 2 - Pertemuan yang Kacau

Chapter 2 - Pertemuan yang Kacau

Watcher sudah diperintahkan oleh Alpha untuk mencari keberadaan Luna. Dengan perintah telak dari pemimpin Pack Mensis tersebut, ia bergegas menelusuri desa dan mendatangi satu persatu rumah dan bertanya langsung perihal seorang perempuan bernama Deana. Alhasil tak ada seorang pun di antara rumah di lingkup desa itu mengetahui perempuan yang bernama Deana. Watcher tampak kebingungan, kemana lagi ia harus mencari? Karena menurut arahan Moon Goddess, Luna itu seharusnya ada di desa ini. Tak ada lagi desa kecil selain desa ini yang berada di selatan belahan bumi. Tak menyerah, ia menyusuri kembali sisi luar desa itu dan benar saja, ia baru ingat kalau ada satu rumah lagi yang belum ia kunjungi. Di sana ia melihat gubuk renta beratapkan jerami yang dibentuk sedemikian rupa. Ia mengetuk pintu itu dan tampak seorang nenek tua yang keluar dan membuka pintu.

Nenek tua itu mengernyit. Ia tak menyangka akan bertemu dengan orang itu lagi. Dengan suara lantang dan tegas. "Apa yang membawamu ke sini, anak muda?" Ia menekankan kata anak muda dengan begitu kentara.

"Saya hampir lupa kalau nenek adalah penduduk desa ini juga. Apakah di sini nenek hidup dengan baik?"

Watcher itu menekankan kalimat terakhirnya. Sang nenek hanya diam dan tak membalas apa pun. Sekali lagi ia bertanya hal yang sama pada Watcher bertudung coklat di hadapannya tanpa gentar.

"Apakah nenek hidup sendiri di sini?" tanya Watcher itu lagi. Ia mengabaikan pertanyaan sang nenek. Dengan tak sabar, nenek tadi bertanya dengan suara yang lebih lantang dari sebelumnya, "Sebenarnya apa yang kau inginkan di sini? Belum puas kau menjerumuskan anakku?"

Watcher itu tersenyum kaku. "Nenek masih belum bisa berpaling dari insiden malam itu rupanya. Sekali lagi, insiden itu adalah murni di luar keinginan semua anggota. Sekarang saya di sini karena saya ingin bertanya pada nenek. Apakah di sini ada yang bernama Deana?"

Nenek tertegun tapi mencoba terlihat tenang. Deana adalah nama cucunya. Apa sebenarnya tujuan pria itu berkunjung dan menanyakan cucunya? Apakah ia akan mengambilnya sama seperti ia mengambil anaknya dulu?

Sesaat sebelum sang nenek ingin berbohong, cucunya muncul di hadapan mereka berdua dari arah hutan dan langsung berkata, "Ada apa ini? Kenapa aku di bawa-bawa dalam perbincangan kalian? Dan siapa paman ini, nek?"

Celaka. Neneknya langsung menarik dan memagari cucunya. Sedangkan di sana Watcher hanya diam sambil tersenyum dan Deana mengernyitkan dahinya. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi. Yang ia tahu adalah situasinya yang sangat tegang.

Deana mencoba mencoba menengahi. Ia berupaya agar situasinya tidak secanggung itu. "Sebenarnya paman ini siapa dan ada perlu apa ke sini? Nenek saya sampai takut dan menjaga jarak begini."

Watcher itu maju selangkah dan sontak saja nenek mundur beberapa langkah sambil masih menghalangi cucunya. "Jadi, anda yang bernama Deana?"

"Betul, saya Deana. Ada perlu apa anda mencari saya?" Deana menurunkan lengan sang nenek dan maju. Ia berganti posisi dengan sang nenek.

"Saya seorang watcher yang ditugaskan mencari anda di desa ini. Apa anda sudah bisa menerka apa tujuan saya datang ke sini?"

Deana terdiam. Ia tak menjawab apa pun. Ia hanya berbalik dan mengatakan agar sang nenek masuk ke dalam rumah saja. Ia ingin berbincang berdua saja dengan pria itu. Dengan berat hati, nenek mengikuti kemauan cucunya dan menunggu di dalam.

Deana yang merasa neneknya sudah di dalam pun beranjak mendekati pria itu dan mempersilahkannya untuk duduk. Ia memantau gerak geriknya dan mencoba untuk tetap tenang agar tak terpancing emosi dengan mudah.

"Sebenarnya paman ini siapa? Kenapa nenek saya sampai begitu melindungi saya di depan paman?"

"Saya Watcher. Jika kamu tau istilah itu merujuk kemana pasti kamu tahu siapa saya. Apa nenekmu tidak memberitahumu apa-apa?" tanya balik Watcher pada Deana.

Deana menggeleng. Sebetulnya ia tahu, ia hanya mencoba mengetes sampai di mana paman itu bisa dipercaya. Lantas, sang paman kembali melanjutkan penjelasannya.

"Saya adalah manusia utusan sebuah klan di luar sana untuk mencari tahu keberadaan anda agar saya bisa melaporkannya pada pemimpin di sana. Hanya sebatas itu. Selebihnya saya tak berhak menjelaskan karena itu di luar wewenang saya. Mohon jaga diri anda saat sedang di luar sebelum pemimpin Klan Mensis bertemu anda. Anda mungkin bingung, namun nanti segala pertanyaan yang ada di kepala anda akan segera terjawab. Saya permisi. Sampaikan salam saya pada nenek. Terimakasih."

Watcher itu pergi begitu saja. Gerakannya cepat sekali sampai sudah tak terlihat lagi dari pandangannya. Ia tahu apa itu Watcher. Yang ia tak ketahui adalah mengapa seorang pemimpin klan mencarinya sampai mengirim utusan seperti itu? Pikirannya berkelana. Tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya dan berkata secara spontan dalam hatinya. 'Tidak mungkin. Nenek tidak akan pernah setuju akan hal ini. Semoga saja maksud paman itu tidak seperti yang aku pikirkan ini. Bisa kacau yang ada.'

Deana tak mau ambil pusing. Ia masuk ke dalam rumahnya dan menghampiri sang nenek yang langsung membanjirinya pertanyaan. Namun hanya satu yang bisa ia jawab sejauh ini.

"Paman itu hanya memberitahu kalau ia perlu mencari keberadaanku dan melaporkannya ke pemimpin Klan Mensis. Nenek tahu Klan Mensis?"

"Apa katamu? Klan Mensis?" tanya nenek dengan pengulangan nama klan yang sengaja ia ucap kembali.

Deana mengangguk. "Iya nek. Klan Mensis. Nenek tahu klan itu? Aku tak begitu mengetahui nama-nama klan bangsa werewolf."

Nenek hanya diam. Ia tak berniat menjawab dan meninggalkan Deana yang masih duduk di bangku reyot itu sendiri. Lantas Deana mengikuti neneknya dari belakang.

"Kenapa nenek hanya diam?"

Nenek berhenti dan berbalik memandang Deana dengan tatapan sendu. Tersirat sebuah misteri yang Deana tak ketahui. Mata nenek tua itu tampak bergetar. Tapi belum sempat ia mengatakan alasannya, nenek itu kembali berbalik dan masuk ke dalam kamarnya.

Deana menjadi tambah bingung. Apa yang sekiranya membuat sikap sang nenek jadi sekhawatir ini? Kedatangan pria tadi begitu menganggu pikiran neneknya. Ia tak ingin berspekulasi. Itu hanya membuatnya menebak-nebak kejadian yang pernah ada sebelumnya. Jadi, ia memutuskan untuk menghampiri neneknya dan duduk di tepian kasur. Ia memijit kaki neneknya yang sudah tak segesit dulu.

"Nek, aku tak ingin nenek membawa beban itu sendirian. Bisakah nenek berbagi padaku? Apa yang sedang nenek rasakan sekarang?"

Nenek menghela napasnya berat. Ia memutar tubuhnya, berbalik menghadap cucu semata wayangnya. Gurat-gurat lelah yang berada di sekitar matanya tampak jelas. Ia menatap Deana dan berkata, "Apa pun yang terjadi, nenek tidak akan membiarkanmu jatuh dalam jurang yang sama, Deana."