Chereads / Keturunan Terakhir / Chapter 8 - Selimut Rindu

Chapter 8 - Selimut Rindu

Adoria saat ini tengah membantu ayahnya membuka pondok. Sejak pagi ia sudah bertemu Deana yang sibuk dengan bawaannya yang akan ditukarkan ke penjual lain di pasar. Awalnya Adoria ingin membantu, tapi hari ini masih terlalu pagi, jualannya belum ada yang laku atau pun masih belum ada pedagang lain yang ingin barter makanan pokok dengannya. Mengingat bahan pokok keluarga mereka sudah menipis, ia tak bisa membantu Deana hari ini.

Adoria melihat Deana berjalan menjauh mendekati satu persatu pedagang yang mungkin saja ingin bertukar barang dengannya. Dan dari ujung jalan, ia juga melihat seseorang yang sudah tak asing lagi wajahnya. Ia melihat orang itu merapalkan sesuatu saat mata mereka sekilas bertemu pandang.

Adoria segera menyelesaikan menyusun dagingnya di rak. Selepas itu ia mendekati sang ayah yang masih sibuk membetulkan atap depan pondok mereka. Ia berniat membantu agar cepat selesai. Bagaimanapun juga, mereka harus bisa mendapatkan makanan pokok hari ini.

Tak disengaja, Adoria menyenggol lengan sang ayah dan atap depan pondok mereka malah jatuh dan menimpa ayahnya. Dengan lekas ia menggeser sedikit atap itu dan mengecek kondisi ayahnya. "Ayah, ada yang sakit? Maafkan Adoria, Yah."

"Tidak apa. Ayah hanya pegal saja, tapi pinggang ayah terasa sakit. Kamu bisa lanjutkan ini sendiri? Ibu sedang keluar menukar daging dengan pedagang lain."

Adoria mengangguk sambil memapah ayahnya masuk ke dalam pondok. Ia lantas menyuruh sang ayah agar istirahat saja dan menyerahkan semua urusan pondok padanya. Sang ayah hanya mengangguk dan berpesan untuk kembali memasang atap depan dengan hati-hati.

Adoria kembali ke depan. Ia meratapi atap depan yang jatuh sebagian. Bagaimana caranya ia bisa memasang lagi atap itu? Sedangkan dirinya hanya sendirian. Namun tak berapa lama, ada seseorang yang datang dan membantunya memegang sisi luar atapnya. Syukurlah, ia jadi terbantu.

"Terima kasih, tuan. Saya kesulitan kalau sendirian. Untung tuan datang."

"Tidak masalah, Adoria. Tapi kenapa bisa atapnya rubuh begitu?"

Adoria duduk dan membiarkan orang itu menemani di sisinya. Ia menghela napas dan menatap lurus ke depan.

"Tadi saya sedang membantu ayah tapi malah mengacaukannya. Sekarang ayah ada di dalam dan sedang istirahat. Kasihan, pinggangnya jadi sakit karena tertimpa setengah atap itu."

"Begitu rupanya. Jadi hari ini anda menjaga toko sendiri? Mau saya bantu? Saya tidak sedang buru-buru."

"Tidak usah, Tuan Cleon. Saya bisa sendiri."

Cleon mendengkus. Rasanya kesal tapi ia tak bisa juga memaksa. Mungkin ia akan sedikit membujuknya agar bisa lebih lama di sana. Sedangkan Adoria tampak tak tahu harus apa. Sebenarnya ia membutuhkan bantuan itu, hanya saja ia tak enak hati pada Cleon karena satu dua hal.

Adoria kembali berdiri. Ia mendekat ke pondoknya dan menunjukkan daging utuh pada Cleon. "Tuan mau beli daging berapa? Yang ini yang paling segar."

Cleon menghampiri. Ia menekan dan meneliti daging yang ditawarkan Adoria. Memang betul, dagingnya masih amat segar dan sepertinya potongan yang ditunjukkan oleh Adoria akan cukup untuknya.

"Saya mau segitu. Tapi, tunggu! Saya saja yang potong karena daging ini mau saya langsung bagikan pada yang lain."

Cleon masuk dan menggeser posisi Adoria yang baru saja ingin memotong dagingnya. Karena ia rasa agak sempit, jadilah Adoria keluar dan melihat gerak Cleon yang sangat terampil dalam memegang pisau. Ia tersenyum. Wajah Cleon kala itu sangat serius. Sesekali matanya bertemu dengan mata Cleon dan Adoria pun tersipu malu.

"Kemarilah, Adoria. Anda tak mau membantu saya?"

"Oh! Maaf, tuan. Saya harus membantu apa?"

Cleon terkekeh. Ia tak tahu bagaimana mengatakannya. Ia sering sekali menggoda Adoria, akan tetapi selalu sulit untuk melakukannya.

"Jangan duduk terlalu jauh, saya jadi lelah."

"Apa hubungannya posisi duduk saya dengan lelahnya tuan?"

Cleon tersenyum. Tak peduli kalau godaannya akan gagal, yang penting ia sudah berusaha dan ia juga bisa melihat Adoria dari jarak yang dekat. Itu salah satu kepuasan tersendiri untuknya.

"Tentu ada. Tenaga saya semakin terkuras kalau anda terlalu jauh karena saya jadi mengeluarkan usaha lebih besar hanya untuk bisa melihat jelas wajah anda, Adoria."

Adoria tersipu. Darahnya berdesir hangat mengaliri seluruh tubuhnya. Jantungnya berdegup cepat dan matanya tak sanggup menatap mata Cleon.

"Tuan bisa saja."

"Mendekatlah, jangan terlalu jauh atau ini akan semakin lama."

"Iya, tuan. Apakah jarak ini sudah pas?"

Cleon melihat Adoria semakin mendekat. Kini mereka berdua berdiri bersisian. Jarak yang terbilang sangat dekat. Kulit keduanya hampir saja menempel kalau Cleon tak berkata untuk berhenti.

"Cukup di sana saja, Adoria. Kalau terlalu dekat seperti ini, saya tidak bisa bekerja dan malah asyik memandangi wajah candu anda."

Adoria segera mundur dan duduk di mulut pintu. Itu tak jauh dari pandangan Cleon dan tak dekat dari mata Adoria. Mereka berdua sibuk menenangkan perasaan masing-masing. Adoria dan Cleon mempunyai rasa yang sama dan Cleon ingin sekali menandainya. Hanya saja ia masih belum cukup nyali untuk meminta Adoria pada kedua orangtuanya.

Cleon menangkap Adoria yang tengah tersipu malu. Ia tahu ia bisa membuat hati calon mate-nya itu tak karuan. Sementara ini, ia kesampingkan dahulu urusan orangtua Adoria. Ia ingin berdua mengobrol banyak dan bertukar rindu.

"Adoria." panggil Cleon dengan nada lembut. Ia melihat Adoria mendekat dan berhenti lima inci dari tubuhnya.

"Ada apa, tuan?"

Cleon tersenyum. Ia mengusak puncak kepala Adoria dan membuatnya mengelak. Adoria hanya tak mau ada yang melihat dan mengetahui kedekatan mereka berdua.

"Jangan menyebutku tuan. Kita sedang berdua, Adoria."

Adoria mendengkus. Meskipun mereka sedang berdua, bukan berarti mereka harus lengah. "Ada ayah di dalam. Selagi kau masih mengumpulkan keberanianmu untuk jujur, biarkan aku memanggilmu seperti itu. Kita lakukan dengan cara biasa saja, Cleon."

Cleon menghela napasnya panjang. Kalau itu sudah keinginan Adoria, ia bisa apa? Lagi pula benar, ia masih mengumpulkan keberaniannya. Jadi, ia harus mengalah dan mendengarkan ucapan Adoria.

"Baiklah, Adoria. Saya akan ikuti saran itu. Apabila waktunya sudah tiba, saya harap anda akan selalu membantu saya meski tak saya minta."

"Pasti tuan. Saya akan membantu sebisa saya."

Adoria tersenyum puas. Sudah ia duga kalau Cleon akan menerima sarannya. Sesungguhnya ia lelah menunggu. Tapi apalah daya. Adoria hanya seorang perempuan yang hidup di mana tahta laki-laki jauh lebih tinggi kedudukannya dibandingkan perempuan. Dalam segi apapun, perempuan harus ada diposisi kedua.

"Adoria? Temanmu datang lagi?"

Ibu Adoria tiba-tiba muncul dengan bakul berisi gandum yang ia pikul di kepalanya. Adoria dengan gesit mengambil alih bakul itu dan segera membawanya masuk ke pondok. Setelahnya ia kembali keluar dan ia sudah melihat Cleon berbincang akrab dengan ibunya.

"Ibu tidak tahu kalau temanmu ini sangat menyenangkan saat diajak bicara."

"Ibu bisa saja...."

Cleon terlihat mengusap tengkuknya malu-malu. Tak habis pikir, ternyata ibunya sesenang itu berbicara dengan Cleon. Mingkin karena topiknya nyambung.

"Tuan Cleon sering ke sini bu. Hanya saja tak pernah mengobrol di sini terlalu lama. Biasanya hanya membeli dan pergi lagi."

"Iya, ibu tahu. Hanya tuan ini saja yang suka membeli daging sebanyak ini. Maksud ibu, ibu baru tahu kalau tuan muda ini adalah temanmu."

"Ah, itu...."