"Namamu Chris?"
Adoria mendekat dan meletakkan tombak itu di sisinya. Kini ia tak lagi mau turun ke bawah untuk menangkap ikan. Ia lebih memilih duduk di sebelah Chris di tepian atas sungai. Koa masih sibuk bermain air dan Deana juga kembali melanjutkan pencarian ikannya. Ia baru mendapat dua. Setidaknya ia membutuhkan empat ekor agar Adoria bisa makan dua kali dengan ikan tangkapannya.
Kembali ke Adoria dan Chris. Baru sebentar saja mereka sudah akrab. Wajar saja karena Adoria mudah bergaul terlebih orang ini sudah menyelamatkan kakinya. Untuk apa ia perlu menjaga jarak, begitulah pikirnya. Chris pun tampak ramah. Tak ada gerak gerik yang menunjukkan keanehan akan dirinya. Semua terasa alami seolah Chris di sini memang memiliki sifat serta sikap yang baik.
"Ya, namaku Chris. Namamu?"
Chris menatap Adoria yang sedang melihat lurus ke arah sepasang kakinya. Rasanya sungguh gatal tapi ia tidak bisa menggaruk di depan Chris. Itu memalukan. Namun rupanya Chris sadar akan hal itu. Ia lantas memiringkan tubuhnya ke kiri dan menghadap pada pohon tinggi menjulang di sana. Ia menghela napas panjang dan wajah datarnya kembali muncul.
"Selesaikan dulu rasa tidak nyamanmu itu. Aku akan seperti ini sampai kau selesai."
Adoria menoleh terkejut. Ia segera menggaruk kakinya hingga terpuaskan. Setelahnya ia mendengung dan berkata, "Sudah. Terima kasih Chris dan namaku Adoria. Yang masih di dalam sungai itu namanya Deana. Kucingnya bernama Koa."
Chris berbalik dan mengangguk. Ia sempat mendengungkan nama Adoria dan Deana beberapa kali. Entah kenapa di telinganya tampak terasa familiar dengan kedua nama itu tapi tak begitu dihiraukannya.
Tak lama Deana naik dengan membawa beberapa ekor ikan. Sepertinya itu lebih dari cukup sampai makan malam nanti. Koa juga sudah selesai melakukan acara berenangnya dan mengikuti langkah kaki Deana yang kini tepat berdiri di hadapan Chris. Matanya masih mengawasi lelaki itu dengan tajam.
"Kau tak perlu menatapku begitu. Waspada itu bagus tapi kau tidak akan dapat apa-apa dengan mata seperti itu."
Adoria menatap Deana dan Chris bergantian. Ia tahu Deana tak menyukai keberadaan Chris. Ucapan terima kasihnya hanya sekadar formalitas belaka karena sudah menyelamatkan dirinya. Lantas ia pun berusaha menengahi.
"Jangan gunakan kata-kata yang mengancam, Chris. Dan Deana jangan memancing keributan. Bicarakan saja baik-baik."
Deana memutar bola matanya jengah. Siapa yang ingin memancing keributan? Ia hanya ingin mengawasi saja. Tapi karena Chris peka akan hal itu, sekalian saja ia bertanya agar semua jelas.
"Kenapa kau ada di sini, Chris?"
"Memangnya hutan ini termasuk dalam kepemilikan desa kalian?"
Deana mendecih. Ini kali pertama ia dibuat kesal oleh orang lain dan melawan perkataannya dengan teramat jelas. Biasanya ia tak akan memperdulikannya. Ia hanya khawatir kalau lelaki ini adalah sosok yang dimaksud Watcher dan sang nenek karena taringnya terlihat sedikit menyembul dari mulutnya.
"Memang bukan, tapi kenapa kau ada di sini?"
Chris berpikir. Ia kemudian menarik Adoria mendekat dan itu membuat Deana semakin berjaga. Ia bahkan sudah mengambil kuda-kuda jikalau Chris bertindak lebih jauh dari ini.
"Kau tak mengenal santai ya, Deana?"
"Katakan saja apa yang kau lakukan di sini dan tiba-tiba muncul di hadapan kami? Dan, jangan dekat-dekat dengan Adoria."
Deana menarik Adoria hingga kini mereka bersisian. Adoria mengernyit. Ia tak suka pemandangan ini. Bagaimanapun juga, Chris sudah menolongnya jadi seharusnya semua tak berakhir begini. Sama sekali tak sopan.
"Lihat! Adoria terlihat tidak nyaman berada di antara pertengkaran kita."
"Beritahu saja. Tak usah mengalihkan pembicaraan."
"Oh, oke. Aku Chris dari salah satu klan werewolf yang ada di sekitar kalian. Aku ke sini karena sedang mencari jalan pulang dan tak sengaja melihat temanmu yang hampir mencelakai dirinya sendiri. Jadi, aku hanya berniat membantu. Tidak ada niat lain."
Deana menghela napasnya. Ia mencoba percaya pada lelaki itu tapi tidak dengan melepas pengawasan begitu saja. Setidaknya alasan yang ia berikan logis. Jadi, ia bisa mempercayainya untuk saat ini.
"Nah, Deana sudah jelas kan?" tanya Adoria dengan ceria dan dijawab dengan anggukan kecil oleh Deana.
"Kau sudah makan, Chris?"
"Belum."
"Kalau begitu, maukah makan bersama kami?"
"Baiklah, Adoria. Terima kasih juga, Deana."
Adoria dengan seenak hati mengajak orang asing itu bergabung. Memang siapa dirinya bisa begitu saja mengajak orang lain bergabung? Terlebih orang lain ini sama sekali tak pernah dilihat oleh mereka dan lagi ia dari bangsa werewolf. Akan besar urusannya kalau hari ini purnama. Nyawa mereka bisa terancam.
"Tunggu, Adoria. Malam ini belum purnama, 'kan?"
"Seharusnya dua hari lagi purnamanya, Deana. Jadi, hari ini aman."
Chris hanya terdiam mendengar obrolan ringan itu. Ia tak mau ikut ke dalam topik itu karena sejujurnya ia tak begitu tertarik. Ia sering membahasnya dengan bawahan serta tetua klannya di dalam markas mereka. Hari ini saja, ia ingin mencoba berinteraksi langsung dengan manusia ini.
"Kalian hanya akan makan ikan ini saja?"
"Kenapa memangnya, Chris? Kami hanya punya daging dan ikan hasil tangkapan Deana saja. Kau tak menyukainya?"
"Bukan begitu. Aku hanya penasaran apakah kalian sudah mempunyai kayu ranting untuk memasak itu semua?"
Adoria baru sadar akan hal itu. Ia langsung berbalik menatap Deana yang sedang berinteraksi dengan Koa di belakang mereka. Deana hanya membalas tatapan itu dengan wajah herannya dikarenakan ia tak mendengar perbincangan Adoria dengan Chris tadi.
"Apa, Adoria?"
"Kau tidak mendengarkan rupanya. Apa ada stok ranting kering di rumahmu? Kita akan membakar ikannya kan?"
"Tentu saja. Di rumah masih cukup ranting kalau hanya untuk membakar ikan ini saja."
"Kau dengar kan, Chris? Rantingnya masih cukup."
Chris mengangguk dan mengikuti Adoria yang berjalan lebih cepat, meninggalkan Chris dan Deana di belakangnya.
"Deana, kau sudah bertemu jodohmu?"
Deana mendecak. Ia tak menyukai topik semacam ini. Itu membuatnya berpikir bahwa lelaki ini positif adalah calon yang ditakutkan sang nenek. Deana kembali meningkatkan kewaspadaannya. Ia berhenti dan menatap punggung Chris dengan kesal.
"Maksudmu apa? Langsung saja, tak usah bertele-tele."
Chris ikut berhenti dan berbalik menatap Deana dengan wajah datarnya. Tiba-tiba ia tersenyum, menunjukkan deret rapi giginya disertai dua taring yang muncul dari baris atas.
"Aku hanya penasaran. Kau cantik tidak mungkin kau belum menemukan jodohmu. Aku benar?"
"Salah. Aku belum bertemu jodohku. Mau apa kau bertanya soal jodoh?"
Chris mengeliminasi jaraknya dengan Deana dan Deana melakukan hal sebaliknya. Mereka berdua terlibat adu pandang yang tidak wajar. Hingga langkah kaki Deana terhenti karena punggungnya sudah bertubrukan dengan batang pohon besar di sana, Chris baru membalas.
"Kalau aku mau meminangmu bagaimana, Deana?"