Chereads / Keturunan Terakhir / Chapter 20 - Timbul Kekhawatiran

Chapter 20 - Timbul Kekhawatiran

Petang menjelang, angkasa mulai beralih warna menuju gulita malam. Semua werewolf laki-laki mulai dari remaja hingga tua dikurung di tempat yang sudah terjamin keamanannya. Para omega berjaga di luar sekaligus menemani dan mengajari anak-anak cara mengontrol emosi mereka saat perubahan terjadi. Semua mendengar dengan seksama, namun lambat laun werewolf laki-laki yang masih kecil ini akan melupakan sedikit demi sedikit jari diri mereka hingga masa remaja tiba. Sangat langka werewolf dewasa yang bisa mengendalikan perubahan mereka agar tak kehilangan akal sehat.

Lea menatap sekelilingnya saat ini. Ramai sekali. Namun ia tak memiliki teman siapa pun karena ia selalu mengurung diri dan tak mau bersosialisasi. Karena sejak kecil selalu bersama Nikk seorang, ia jadi terpaku pada lelaki itu. Tak ayal sesekali ia pun berpikir akan menyenangkannya memiliki teman, namun ia tak tahu bagaimana memulainya. Bila ia berpapasan dengan omega atau anggota lain di Mensis, ia hanya akan menunduk dan melewatinya begitu saja. Tak ada senyum balasan apa lagi tegur sapa.

Lea tampak duduk termenung di tepian kolam ikan. Di sana ia tak sadar kalau ada seorang anak kecil yang sedang duduk dipojokan kolam. Awalnya ia tak menyadari anak itu karena keberadaannya memang di sudut dan ia sedang memeluk kakinya erat. Lea bisa mengetahuinya sebab anak itu menimbulkan suara seperti isakan kecil. Ia lantas mendekat dan mencoba mengajaknya berbicara.

"Adik kecil, sedang apa kau di situ?"

Anak kecil itu menoleh. Matanya memandang Lea dengan sebal. Ia seperti sedang memprotes sesuatu yang tentunya tak diketahui Lea. Ia hanya melihat anak itu berlinang air mata dan kini melihatnya dengan tatapan kesal.

"Aku bukan anak kecil! Sebentar lagi aku remaja!"

"Kalau masih menangis, namanya anak kecil."

"Aku bukan anak kecil!"

"Kalau begitu jangan menangis dan merengek begitu. Berbagi masalah akan meringankan pikiranmu."

Anak itu terdiam dan menunduk. Ia merasa penat di dadanya semakin membuncah. Malu kalau harus lanjut menangis setelah ia mengaku kalau ia bukan anak kecil. Ia kembali mendongak dan melihat Lea dengan tatapan tegasnya.

"Aku akan bercerita pada kakak. Kakak mau mendengarkan aku?"

Lea mengangguk menyetujuinya. Mungkin ia bisa membantu menyelesaikan masalah anak kecil itu. Tak tega juga rasanya melihatnya menangis terisak sendiri.

"Boleh."

"Jadi, aku akan masuk usia remaja tahun depan. Ingatan dan kontrol diriku sudah berangsur menghilang. Aku tidak ingin dikurung tapi tak ingin menyakiti siapa pun. Aku bingung, kak. Apa yang harus aku lakukan? Anak seusiaku yang lain bahkan sudah dikurung, para omega berkata hal itu dilakukan untuk berjaga saja. Tapi menurut temanku yang masih waras, itu terasa menyakitkan. Rasanya tak beda dengan binatang. Aku tak mau diperlakukan begitu, kak."

"Jadi, itu sebabnya kau di sini sendirian?"

Anak itu mengangguk dan kembali menunduk. Itulah sebabnya. Ia khawatir pada perubahannya. Jadi, ia bersembunyi di sana agar para omega tak bisa mengurungnya.

"Kalau kau tak mau dikuasai perubahanmu, kau harus bisa mengendalikannya. Kau tahu Gamma? Ia bisa mengendalikan dirinya selagi berubah. Kau bisa bertanya padanya kalau kau mau mencegah itu terjadi padamu. Jadi, kalau kau mau, pergilah sekarang. Para omega sedang ada di aula utama. Mereka tak akan berkeliling selagi mengawasi anak-anak. Setelah bertemu Gamma, bilang saja kau dapat info dariku, Lea, pelayan khusus Alpha. Aku hanya bisa membantu itu saja."

"Kakak baik sekali. Aku akan segera ke sana."

"Tunggu! Kau tahu Gamma ada di mana saat kondisi ini?"

Anak kecil itu berpikir. Selain di camp pelatihan, memang Gamma akan berada di mana lagi?

"Bukannya ada di tempat pelatihan?"

"Memang, tapi kau harus pergi langsung ke kamar pribadinya. Ucapkan saja, Lea saat kau mengetuk pintunya."

Setelah diberitahu, anak itu pergi begitu saja. Ia mengulas senyum bahagia pada Lea sesaat sebelum ia pergi meninggalkannya dengan penuh semangat. Pasti anak itu terbakar api semangat, makanya pendar mata itu begitu membara. Sekarang hanya tersisa dirinya di kolam itu. Tak ada siapa-siapa lagi. Kalau dipikir, untuk apa dirinya berada di sana?

Lea beranjak dan berjalan memutari benteng Mensis. Satu persatu ruaangan ia lewati dengan teliti. Ia juga menajamkan telinganya saat mendengar sesuatu bergerak di balik semak-semak dekat pintu gerbang benteng. Ia segera berlari mendekat dan membuka semak-semak itu namun tak ada apa-apa. Aneh. Harusnya ada sesuatu di sana. Entah itu binatang atau musuh. Tapi nihil. Ia tak menemukan apa pun. Ia malah melihat Gamma ada di sana, keluar dari kamarnya.

"Tuan, kenapa keluar dari kamarmu? Hari sudah mulai gelap."

"Aku mendengar sesuatu dari sini. Kupikir siapa, kau rupanya. Oh, apa kau mengirim anak itu ke kamarku untuk diajari masalah perubahan?"

"Iya, aku yang mengirimnya. Hanya kau yang bisa membantunya. Aku ini omega, tidak merasakan gejolak perubahan yang begitu besar seperti kalian. Tapi, di mana anak itu?"

"Aku meninggalkannya di kamar selagi datang ke sini. Tidak ada apa pun ternyata. Kau sendiri mau kemana?"

"Aku juga ingin mengecek di sini. Kupikir ada penyusup. Tapi aku tak melihat apa-apa."

"Kalau begitu pergilah ke kamarmu. Biar aku yang menjaga di sini."

"Kau tidak boleh terlihat di sini. Lebih baik kau masuk. Tidak akan ada yang menyerang saat purnama begini."

"Kau tidak lupa 'kan kalau yang bisa mengendalikan diri saat terjadi perubahan bukan hanya aku seorang? Bagaimana kalau yang kita dengar tadi bukan suara biasa?"

Lea berpikir. Betul juga ucapan Gamma. Itu mungkin saja terjadi tapi bila hanya satu orang saja, ia tak akan mampu menghabisi satu klan. Itu hal mustahil.

"Kalau begitu biar aku berjaga di sini. Aku akan memanggilmu apabila ada yang aneh. Lebih baik kau ajari saja anak tadi. Ia tampak putus asa. Aku tak mau ia menderita hanya karena masalah ini."

"Tapi bukan hal mudah untuknya bisa mengendalikan perubahan itu. Harus ada bakat alami. Aku akan mengeceknya nanti. Kalau ia punya bakat alami, akan mudah bagiku mengajarinya. Tapi kalau tidak, hanya akan sia-sia saja."

"Baiklah. Bukan masalah. Kau bisa mengetesnya dulu dan memberitahukan padanya secara terbuka agar ia bisa paham dan sadar akan potensi yang ada di dalam dirinya."

Gamma mengangguk dan berjalan menjauh. Sebelum itu ia mengatakan agar Lea berhati-hati karena purnama itu rentan serangan. Memang bukan dari sesama bangsa werewolf, akan tetapi serangan dari manusia yang tak setuju dengan persamaan hak serta perjanjian damai dengan bangsa mereka. Maka itu, Lea akan tetap di sana sebisa mungkin dan memantau keadaan dari atas menara pengintai.