Chereads / Keturunan Terakhir / Chapter 23 - Anak Kepala Desa

Chapter 23 - Anak Kepala Desa

"Tolong bantu kembangkan informasi dari yang baru saja aku berikan. Aku mau kalian memberi informasi tambahan padaku sebelum petang menjelang. Jangan membuat ayahanda mengambil tindakan gegabah. Aku takut perang diantara kita akan terjadi."

"Baik, Tuan. Saya akan mengerahkan informan terbaik untuk kasus ini. Sisi kami memihak pada tuan yang selalu bijak dalam mengambil keputusan."

Anak kepala desa itu tampak sigap menangani hal apa pun yang berbau desa. Berbanding terbalik dengan sang ayah yang cenderung gegabah dalam menyikapi segala yang berhubungan desa. Oleh karena itu, banyak pihak yang menyarankan anak kepala desa saja yang memimpin desa dan menggantikan ayahnya di jabatannya sekarang. Namun ia tidak ingin merebutnya. Itu akan menimbulkan kontroversi tersendiri di lingkungan rumahnya dan ia tak mau memunculkan kecanggungan di antara seluruh anggota keluarganya.

Anak kepala desa itu berjalan mendekati sang ayah yang sedang duduk bersantai di depan serambi rumahnya yang luas. Kepala desa memiliki dua orang istri dan 5 total anak. Dari istri pertama 3 anak, istri kedua 2 anak. Semua hidup dengan akur di dalam rumah itu dan anak anak mereka juga tak saling menikam untuk mendapat perhatian sang ayah. Anak kepala desa ini adalah anak sulung dari istri pertama. Selain ia ini pria dewasa, ia juga sangat menyayangi keluarganya. Meskipun sang ayah terkadang bersikap semena-mena, ia tetap menghormatinya.

"Ayahanda sedang memikirkan apa di sini?"

"Rupanya kau, putraku. Ayah hanya sedang menduga-duga siapa yang melakukan penyerangan seperti semalam? Ayah menduga ini serangan dari klan Mensis karena hanya klan mereka yang dekat dengan desa kita."

Anak kepala desa itu menghela napasnya berat. Ia sudah menduga kalau ayahnya akan berpikiran pendek begitu. Ia pun memilih duduk untuk bertukar pikiran dengan ayahnya. Mungkin mereka bisa menyamakan persepsi.

"Jangan jadikan itu sebagai patokan, ayah. Banyak sekali werewolf di luar sana yang tak beregu. Lagipula semalam kan purnama. Ayah tak melihat wajah asli mereka dan juga di perjanjian kuno itu kaum Mensis sudah menyetujui untuk selalu mengurung diri saat purnama, jadi mereka tak akan melukai kita."

"Perjanjian apa?"

"Perjanjian kuno para leluhur, ayah. Aku tahu ayah sama sekali tidak tertarik pada urusan administrasi desa, tapi paling tidak ayah harus membaca isi perjanjian kuno itu karena bagaimana pun juga ayah adalah kepala desa."

Kepala desa mendecih dan menatap anak sulungnya tak suka. Ia seperti digurui oleh anak kecil. Padahal memang sudah sepantasnya sang ayah mengetahui hal itu dan ia memang harus belajar paling tidak sejarah perjanjian itu sampai terjadi.

"Jangan menggurui ayahmu, anak muda. Kau tak paham bagaimana susahnya bangsa kita saat perjanjian itu resmi disahkan."

"Memangnya apa yang ayah tau tentang kesusahan itu? Aku ingin mendengarnya."

Merasa ditantang anaknya, kepala desa akhirnya menggeser posisi duduknya dan mulai menarik napas. Mungkin ia ingin bercerita panjang kali lebar soal pengetahuan yang ia miliki.

"Dulu sekali selepas perjanjian itu dibuat, kakek ayah bercerita pada ayah bahwa bangsa Mensis sering menentang dan mengacaukan isi dari perjanjian itu. Mereka sering mengambil hak milik orang desa seenak hati mereka dan menandai gadis di desa sesuai keinginan mereka sendiri. Mereka bengis, bila purnama tiba hanya sebagian kecil yang dikurung, sebagian lain berkeliaran tidak jelas. Pada pagi hari ditemukan banyak korban meninggal dan luka-luka di jalan sepanjang desa. Mereka jelas dari Mensis karena dulu bagian patroli desa mengingat wajahnya selagi berubah. Dan hal itu kini terulang lagi. Kau harus mengikuti arahan ayah. Lebih baik ambil senjatamu dan kita berperang saja dengan mereka di purnama berikutnya."

Anak kepala desa itu menggeleng. Ia tak ingin berperang. Justru ia menginginkan sebaliknya. Ia ingin meyakinkan ayahnya agar mereka bisa hidup berdampingan tampa konflik. Karena semua dari mereka akan hidup dengan damai.

"Ayah, aku justru ingin melakukan penyelidikan lebih dulu. Aku sudah mendapat informasi dasar. Aku hanya perlu mengembangkannya saja. Aku yakin, ini bukan dari werewolf beregu karena penyerangan ini dilakukan seperti dengan rencana. Ayah tahu pondok yang berada di luar hutan? Pondok itu sama sekali tidak rusak dan info dari pemilik rumah, ia tidur dengan nyenyak semalam. Aneh kalau memang ini dilakukan oleh bangsa Mensis, karena Mensis yang sekarang sudah berganti kepemimpinan dan mereka tak akan merencanakan hal bodoh seperti ini. Terlebih, informan kita juga menceritakan kalau werewolf di sana dikurung bahkan sebelum senja tiba. Ia bisa menjamin itu, ayah."

"Mana kau tahu kalau satu diantara mereka menghilang."

"Aku rasa ayah tidak buta. Werewolf yang menyerang purnama semalam bukan hanya satu tapi 10, dan itu banyak. Tak mungkin mereka tak menyadari 10 orang menghilang dari benteng. Ayah, coba pikirkan lagi soal rencana penyeranganmu. Aku masih dalam pencarian. Bila aku mengetahui merekalah penyebabnya, aku akan memberantas mereka dengan tanganku sendiri."

Kepala desa hanya diam tak memberi respon apapun. Anak sulungnya menganggap itu adalah sebuah persetujuan dari ayahnya.

"Oh, ayah dengar kau mencoba mendekati anak penjual daging di pasar."

Anak kepala desa itu menoleh dan menatap ayahnya ragu. Dari mana ia mendengar kabar itu? Akan kacau apabila ayahnya tahu hal ini.

"Siapa maksud ayah? Adoria?"

"Memangnya ada berapa penjual daging di pasar? Tentu kau tahu pasti siapa yang ayah maksud."

Anak kepala desa itu mendengung. Ia sudah ketahuan rupanya. Karena sudah kepalang basah, tidak ada salahnya ia berkata jujur saja kalau ia memang sedang mendekati Adoria.

"Memang benar, aku sedang mendekati Adoria, anak penjual daging itu."

"Bagus, kalau bisa berteman baiklah dengannya. Gali informasi sedalam mungkin mengenai werewolf itu."

"Maksud ayah?"

"Gadis itu berteman dengan seorang werewolf. Ia pasti tahu sesuatu tentang hal ini. Ayah memberimu waktu dua puluh hari untuk menyelidikinya."

"Adoria berteman dengan werewolf? Tapi aku tak pernah melihatnya."

"Werewolf itu selalu datang tiap tiga hari sekali untuk membeli daging."

Anak kepala desa tertegun. Ia menerka apakah teman yang dimaksud ayahnya adalah lelaki itu? Lelaki tinggi tegap, tampan, dan memiliki senyuman maut? Gadis-gadis banyak yang membicarakannya, hanya saja ia tak tahu kalau ia adalah werewolf. Pasalnya tak ada yang bercerita kalau lelaki itu terlihat bertaring. Aneh, kabarnya taring bangsa werewolf akan dengan mudah terlihat meski tak sedang dalam wujud transformasinya. Atau mungkin ada informasi yang ia lewatkan. Lantas ia beralih menuju perpustakaan yang ada di tengah aula rumahnya. Sepertinya memang ada yang terlewat dan ia harus memastikannya lagi.

"Kau mau kemana?"

"Aku mau ke perpustakaan aula tengah, sepertinya ada yang terlewat. Aku ingin mencari informasi tambahan karena aku perlu memastikan sesuatu."