Chereads / Keturunan Terakhir / Chapter 12 - Kepergian Nenek Cia

Chapter 12 - Kepergian Nenek Cia

Pagi hari saat langit sedang turun rintik hujan, Nenek Cia terlihat berdiri di ambang pintu bersama cucunya, Deana. Deana tampak memasang wajah sedih dan menggenggam erat jemari Nenek Cia. Sepertinya sang nenek akan pergi ke suatu tempat dikarenakan pakaiannya teramat rapi dan ia membawa bungkusan di pundaknya.

Deana menatap neneknya dan mencoba tegar. Selama ini ia belum pernah ditinggal oleh sang nenek untuk kurun waktu yang lumayan lama. Meski pun kali ini ia tak benar-benar sendiri, ia masih juga merasa kehilangan.

"Nenek pergi selama sebulan? Apa tidak bisa nenek mempersingkat waktunya?"

Nenek Cia tersenyum dan membelai lembut pipi sang cucu. Ia sebenarnya tak tega. Hanya saja ia perlu melakukan perjalanan ini.

"Nenek usahakan ya. Karena tempatnya jauh, nenek tidak bisa berjanji padamu. Kau harus ingat pesan nenek ya. Jangan asal membukakan pintu. Nenek akan memanggilmu apabila memang nenek sudah pulang. Selain itu, jangan dibukakan. Nenek tak mau kau tak ada di rumah saat nenek pulang. Kau adalah cucu nenek satu-satunya dan hanya kau yang tersisa di kehidupan nenek."

Deana meneteskan airmatanya. Ia bingung dengan kepergian nenek yang tiba-tiba. Semalam sebelumnya sang nenek tak berbicara apa pun perihal ini. Tahunya di pagi hari ia sudah berkemas dan menyuguhkan pemandangan sedih ini. Deana pastinya bungung. Ia tak ada persiapan apa pun. Bahkan ia tak bisa menyiapkan bekal makanan untuk sang nenek.

"Nenek, bagaimana nenek akan bertahan hidup di luar sana? Kita tak punya koin emas dan tak ada barang yang nenek bawa untuk ditukar."

"Nenek bisa hidup dengan cara apa pun, Deana. Tak perlu cemas. Nenek akan kembali setelah urusan nenek di luar selesai."

"Memangnya urusan apa sampai nenek harus pergi selama satu bulan? Kalau boleh, Deana ingin mengetahuinya nek."

Nenek Cia bimbang. Ia tak ingin cucunya tahu akan ke mana tujuan sesungguhnya. Mata sang nenek melirik ke kanan, ia mengelak dan tak ingin bertatap mata saat sedang mencari alasan yang tepat. Deana yang melihat itu pun tahu bahwa sang nenek sedang kebingungan. Ia pun mengeratkan pegangannya pada sang nenek dan itu cukup untuk membuat atensi nenek kembali padanya.

"Tak apa nek. Nenek tak perlu memberitahukannya pada Deana. Semua yang nenek lakukan pasti bertujuan untuk kehidupan kita. Deana hanya ingin berpesan pada nenek untuk selalu berhati-hati. Deana tak mau mendapati nenek sakit atau terluka saat kembali ke sini. Nenek bisa janji soal itu?"

Nenek Cia tersenyum. Cucunya memang paling mengerti dirinya. Lantas ia segera mengangguk dan memikul bawaannya di pundak. Ia juga tampak membawa sebatang daun yang cukup besar yang mampu menghindarkannya dari rintik hujan. Tubuhnya sedikit membungkuk namun Nenek Cia masih gagah di usianya. Ia mampu membawa bawaannya yang cukup berat dengan begitu santai.

"Iya. Nenek janji akan kembali utuh dan dalam kondisi sehat di sini. Nenek pergi dulu ya. Ingat pesan nenek tadi, jangan lupa."

"Iya nek. Deana akan mengingatnya."

Deana memandangi neneknya yang berjalan kian menjauh. Sang nenek masuk ke dalam hutan. Mungkin satu-satunya jalan adalah melewati hutan itu. Ia mengingat kalau berjalan ke arah utara akan melewati benteng milik bangsa werewolf dan nenek bisa saja menghindarinya atau mungkin nenek hanya mengambil jalan pintas saja agar lebih cepat. Entahlah. Deana pun tak begitu mengetahuinya.

Deana memilih duduk di pelataran rumahnya. Ia ingin memandangi neneknya sampai benar-benar tak lagi terlihat di pandangannya. Ia tahu neneknya akan melakukan perjalanan panjang demi untuk menemukan sesuatu. Entah apa itu, Deana tak ingin memaksa bertanya dan tak ingin tahu lebih lanjut. Yang jelas ia berharap neneknya segera kembali. Itu saja. Deana terdiam mengamati hingga hampir 10 menit berlalu. Ia sudah tak lagi melihat punggung sang nenek. Ia baru saja ingin menutup pintu namun sebuah tangan meraihnya lebih dulu. Ia lantas menoleh dan mendapati Adoria di sana.

"Oh, Adoria!"

Deana menggenggam tangan Adoria dengan senang. Kini ia jadi memiliki teman bicara selain kucingnya.

Adoria tersenyum senang bertemu Deana di sana. Rupanya pas sekali karena saat dirinya melihat rumah itu, Deana sedang berada di luar dan sedang duduk merenung. Kepalanya menoleh ke kanan ke kiri mencari sesuatu dan itu membuat Deana bingung.

"Ada apa, Adoria?"

"Oh! Aku tidak melihat kucing itu. Ke mana dia?"

"Oh, kucing itu sedang di luar. Mungkin sedang mencari makan. Kau tahu, kemarin aku tak mendapat tukaran apa pun dan aku juga tak bisa mencari di hutan karena ada orang aneh yang seperti sedang mengikutiku. Aku takut."

"Jadi itu yang membuatmu melamun di pelataran rumah tadi? Sampai aku mendekat pun kau tak sadar."

"Bukan kareana hal itu. Aku bukan melamun karena tak dapat makanan atau takut. Aku memikirkan nenek. Belum lama ia pergi entah ke mana selama sebulan."

Adoria melangkah masuk ke dalam rumah Deana setelah dipersilahkan masuk di tengah percakapan mereka tadi. Ia memilih duduk di dalam rumahnya agar pembicaraan mereka lebih nyaman dan lebih tertutup.

"Nenek Cia sudah pergi? Pagi sekali."

Ucapan Adoria menarik perhatian Deana. Ia menoleh dan menatap Adoria penuh tanda tanya.

"Kau tahu nenekku akan pergi?"

"Tahu. Nenek Cia menitipkanmu pada keluargaku. Maka dari itu aku di sini dan membawakanmu daging dan sayur lain. Nenek menitipkan ini padaku. Tenang saja, kau tak berhutang padaku karena nenekmu membayarku."

"Nenek membayarmu dengan apa?"

"Dengan koin emas. Tak usah kau pikirkan. Hari ini aku di sini ya. Aku akan sering menemanimu selama sebulan ini. Ayah dan ibu sudah mengizinkanku."

"Lalu bagaimana dengan pangeran yang selalu kau elukan itu? Apa dia tak akan mencarimu?"

"Maksudmu Tuan Cleon? Ah, tidak tahu. Aku sedang menghindar dari anak kepala desa. Waktunya pas sekali bukan?"

"Jadi, rumor anak kepala desa yang sedang mendekatimu itu betul ya? Wah, beruntung sekali kau, Adoria."

Adoria mendengkus. Ia tak senang. Itu malah menjadi hambatan baginya karena itu akan membuat Cleon semakin sulit untuk mengungkapkan jati diri aslinya.

"Deana, kau tak berniat mencari jodoh? Kau sudah lebih matang dariku, kan?"

Deana menggeser posisi duduknya. Ia bingung bagaimana harus menjawabnya. Apa ia harus menceritakan pasal dirinya yang sedang dicari bangsa werewolf? Sepertinya tidak untuk saat ini.

"Jodohku akan datang dengan sendirinya, Adoria. Aku tak perlu mencarinya. Aku percayakan semua pada Pemilik Langit dan Bumi serta alam semestanya. Aku tak berharap muluk, aku hanya ingin jodohku adalah pria yang bertanggung jawab dan sayang dengan nenek."

"Kau memang sangat menyayangi nenekmu ya. Aku kagum padamu, Deana."

"Tak perlu kagum. Kalau kau hanya memiliki satu orang keluarga yang tersisa, pasti kau akan menyayanginya melebihi dirimu sendiri."