Ellen tidak mendapat kesempatan berbicara banyak dengan Liu pagi ini, laki-laki itu sepertinya sedang mengurus sesuatu bersama Larson dan pergi pagi-pagi sekali, Istvan berulang kali mengatakan kali kalau semuanya baik-baik saja dan menyuruh Ellen pergi ke kampus secepatnya.
"Yah, tidak usah kupikirkan." Ellen menatap keluar jendela, akhir-akhir ini ia lebih senang diantar supir pergi ke kampus daripada menggunakan bus. "Aku pergi ke neraka ini sekali lagi, tapi tidak apa-apa, cita-citaku harus terwujud."
Ellen turun dari mobil dan langsung memakai jas putih untuk praktik, ia berlari kecil ke lantai atas, tempat praktikum yang sekarang sedang dipandu oleh Hendrick.
Ellen berjalan ke meja praktik, ia bisa melihat ada replika tubuh manusia yang ada di depannya yang dibuat seakan-akan telah mendapatkan luka tusuk dan ada beberapa peralatan medis untuk menjahit di meja.
"Baiklah, apakah semuanya sudah siap?" Hendrick bergumam, ia selalu terlihat mengantuk dan raut wajahnya datar seperti papan, ia mengambil remote dan mengarahkan ke proyektor. "Kita akan memulai praktik kita hari ini, lakukan dengan hati-hati karena aku akan menilai."
Hendrick menjelaskan semua yang muncul di proyektor dan Ellen mendengarkannya dengan seksama, selama dua jam ia sangat serius bahkan Henrick pun yang memeriksa hasil pekerjaannya tidak memprotes sedikit pun.
Setelah selesai, Ellen keluar dari ruang praktik dengan helaaan napas lega, ia bisa melewatinya dengan mudah karena ia mendengarkan penjelasan Hendrick dengan cermat, berbeda sekali dengan Olive dan Teresa, mereka berdua beberapa kali ditegur.
"Apa lihat-lihat?" Teresa mendengkus ketika merasakan tatapan Ellen padanya, ia masih dendam dengan apa yang Ellen lakukan terakhir kali pada orang suruhannya. "Jangan mentang-mentang Hendrick memperlakukanmu dengan baik kau menjadi sombong!"
Ellen mencibir, ia tidak ingin keributan dan memilih untuk menjauh meninggalkan Teresa dan Olive yang sepertinya masih menghindari untuk bertatapan dengannya.
"Lebih baik aku ke perpustakaan untuk menyusun bahan laporan."
Ellen menghela napas, berharap semoga hari ini ia tidak mendapatkan hal-hal yang merepotkan.
BRUK!
"Ah!" Ellen mengaduh, ia jatuh ke belakang dan mengusap punggungnya.
Di depannya berdiri seorang wanita dengan hoodie dan topi, wajahnya hampir tidak terlihat.
"Maaf, maaf, aku terburu-buru!" Wanita itu langsung membantu Ellen bangkit dan membantu menepuk-nepuk debu yang menempel. "Apa kau tidak apa-apa? Maaf, pasti sakit sekali, ya?"
"Tidak, aku baik-baik saja."
Ellen langsung menghentikan gerakan wanita itu, bagaimana pun di kampus ini tidak ada yang memperlakukannya seperti ini dan ia merasa canggung.
"Jangan minta maaf."
"Oh, baiklah. Aku baru pertama kali ke kampus ini jadi sedikit gugup." Wanita itu mengusap belakang lehernya dan tersenyum, wajahnya terlihat sangat polos tanpa riasan dan Ellen merasa ia mirip dengan seseorang.
"Apa kau tersesat?" tanya Ellen ketika menyadari kalau pakaian wanita itu sama sekali tidak cocok dengan keadaan kampus ini.
"Ya, um … tidak … aku sepertinya hampir menemukan kakakku." Wanita itu terkekeh malu, ia melirik ke arah ruang praktik. "Sudah dulu ya, aku harus menemukan kakakku!"
Ellen melambaikan tangan dan mengikuti arah perginya sang wanita berhodie, mungkin saja di antara teman-teman sekelasnya adalah kakak wanita yang menabraknya.
"Sudahlah, itu tidak ada hubungannya denganku." Ellen menggelengkan kepalanya dan berjalan ke arah perpustakaan.
Sementara itu, wanita yang memakai topi berjalan dengan santai ke ruangan praktik dan berhenti di depan seseorang yang masih tersisa di ruangan.
"Apa kabar, kak?"
Wanita itu mencondongkan tubuhnya ke arah seorang laki-laki yang terlihat setengah mengantuk, ia tersenyum dan angin di sekitarnya berhembus, pintu dan jendela yang tadinya terbuka lebar mendadak langsung menutup.
"Kenapa kau tidak pernah bilang padaku kalau … kau mengajar manusia yang menempel pada kekasihku itu?"
Hendrick menatap malas wanita yang masih memakai topi di depannya itu, ia membereskan buku-buku di atas meja.
"Kau tahu aku tidak ingin berurusan dengan Ksatria Naga sejak dulu."
Hendrick menatap pintu dan jendela yang sudah tertutup rapat, bisa dipastikan tidak ada satu pun manusia yang bisa melihat interaksi mereka berdua.
"Tapi kau tahu seperti apa perasaanku pada Liu, kan?"
Hendrick tidak menjawab selama beberapa saat, ia tahu segalanya tentang saudarinya itu dan ia tahu benar kalau perasaan yang dimaksud bukan cinta sama sekali.
Tapi itu adalah minat, minat para rubah yang sulit dilepaskan.
"Lagipula wanita ini hanya seorang manusia," lanjut Yena yang akhirnya melepas topi, ia menghela napas panjang. "Kalau tidak salah namanya … Ellen Petunia?"
Ia tidak pernah suka manusia, apalagi manusia wanita, mereka tidak sebanding dengan dirinya dan mereka selalu bertingkah hebat di atas dirinya.
Yena yang selalu tidak menyukai para wanita tidak jarang akan melakukan sesuatu pada manusia yang merendahkan dirinya dengan hal-hal yang tidak terduga.
Hendrick menatap Yena yang tersenyum miring, ia tahu jalan pikiran Yena seperti apa, sulit untuk dicegah dan sangat sulit jika tidak dituruti.
"Kita ini kakak adik, loh." Yena tersenyum dan mengulurkan tangannya menyentuh lengan Hendrick yang masih memakai jas putih. "Untuk apa terlalu serius belajar di bidang ini? Toh, kalau kita mati, kita masih punya cadangan nyawa."
Mereka punya sembilan nyawa, bahkan jika mereka sekarat, mereka akan memiliki kehidupan berikutnya lagi dan bangkit dari kematian. Meskipun mereka lebih lemah dari Ksatria Naga, mereka memiliki keunggulan yang bagus.
"Jangan berkata begitu mudah, kau tidak lihat bagaimana rubah lain mati di masa lalu?"
Di masa lalu mereka tidak hidup dengan baik, terlalu banyak perang dan mereka kesulitan bertahan hidup, tidak dapat dipungkiri jika mereka menderita.
Mereka juga tidak istimewa di mata Raja, mereka hanya Ksatria tanpa keahlian khusus yang jarang disorot kecuali kemampuan mereka bangkit dari kematian dan rayunan mereka yang kuat.
"Mereka hanya terlalu ceroboh." Yena sepertinya tidak mau kalah, ia terkekeh pelan dan mengulurkan sesuatu dari dalam sakunya. "Aku punya cara yang bagus untuk manusia bernama Petunia itu, hanya kakak yang bisa membantuku dan untuk di masa lalu … lupakan saja, mereka yang mati ya sudah mati. Kita yang hidup harus terus melanjutkan hidup ... iya kan, kak?"
Yena tersenyum lebar, pipinya itu kemerahan di bawah cahaya lampu yang berkedip-kedip di atas kepalanya, mata rubah itu menyipit.
Ia hampir tidak berhasil membujuk Hendrcik, tapi ia tetap tenang, ia masih punya satu cara.
"Aku tahu minatmu dan bukankah wanita itu … adalah orang yang cocok?" Yena menggerakkan tangannya dan ia terkekeh pelan.
Hendrick menatap sesuatu yang tergeletak di atas meja, keningnya berkerut dalam.
Ini adalah sesuatu yang tabu dilakukan para rubah.
"Kalau kau tidak berani, maka aku saja yang melakukannya, bagaimana?"