Setelah kemarin hanya datang ke rumah Cindy untuk bergibah, pagi ini Jasmine berangkat ke sekolah bersama dengan Zivan.
Gadis yang tengah mengikat ujung rambut kanannya yang telah dikepang tersebut terus saja berteriak menjawab panggilan sang adik dari lantai bawah. Ia mulai berdecak dan mengumpat karena Zivan yang tampak sangat terburu-buru, padahal biasanya sang adik justru berangkat sangat siang dan hampir selalu telat datang.
"Yash! Kalo sampe lo nggak turun sekarang juga, gue tinggal, lo!" Zivan terus saja berteriak memanggil sang kakak. Ia merasa kesal dengan gadis bernama Jasmine tersebut yang tak kunjung turun dari kamarnya untuk berangkat ke sekolah.
"Adek, manggilnya kok langsung nama gitu, sih? Nggak sopan, tau." Sang Mama yang masih berada di dapur dan mendengar teriakan putra bungsunya itu pun ikut menimpali.
"Iya, Mah. Maaf, ya," balas Zivan dengan lembut, namun masih terlihat kesal.
"YASHMINE! WOY!!" Pada akhirnya tetap saja anak laki-laki itu terus meneriaki sang kakak dengan langsung menyebut namanya.
Sang mama yang mendengarnya pun langsung datang membawa centong sayur dan memukul Zivan begitu saja. Walau tak terlalu keras, namun hal itu membuat si putra bungsu terkejut dan berteriak kesakitan.
"Udah mama bilangin buat manggil yang bener, kenapa masih aja bandel, sih? Dia itu kakakmu, loh, Dek," ujar sang mama masih memukul Zivan dengan centong sayurnya.
"Aduh! Iyah, Mah. Kak! Cepetan turun, kek!" Akhirnya anak laki-laki tersebut pun meralat ucapannya dan memanggil Jasmine dengan semestinya.
"Iya." Jasmine tampak buru-buru dan memasang sepatunya sembari setengah berlari.
Gadis itu langsung menuruni tangga dan menyahut helm yang ada di meja tamu. Ia langsung pergi tanpa berpamitan dengan sang mama dan menyelonong begitu saja menuju ke motor sang adik di halaman depan rumah.
Zivan berdecak dan menahan tangan sang mama yang masih memegang centong sayur. Ia langsung menatap sang mama dan meledek Jasmine yang justru tak berpamitan dengan benar. Mama hanya tersenyum dan menepuk pelan puncak kepala anak laki-laki dengan wajah imut itu. Ia pun berjalan keluar rumah dengan si putra bungsu yang mengikuti langkahnya.
"Kakak hati-hati, ya. Nanti di jalan pegangan yang erat," ujar sang mama dengan nada yang lembut, seperti menasehati putri kecilnya.
Jasmine yang sadar ia belum berpamitan dengan sang mama, pun langsung berlari mendekat walau helmnya belum terpasang dengan baik dan benar. "Maaf, ya, Mah. Ntar kalo kesiangan si Zivan ketauan temen-temennya boncengin Yashmine," ujarnya, meraih tangan sang mama untuk dicium.
"Halah. Yang bikin kesiangan, kan, lo sendiri." Zivan menyahut dan langsung melewati mereka begitu saja.
Sang mama tersenyum dan memasangkan helm Jasmine dengan benar. Jasmine cemberut mendengar ucapan sang adik, namun mama justru tersenyum cerah melihat putrinya yang tampak cantik dengan kepang dua dan anak rambut yang dibiarkan kacau dengan manis.
"Iya, Sayang. Hati-hati, ya."
Jasmine mengangguk dan tersenyum sangat manis. Mama mendekat ke motor dan Zivan menyalami tangan sang mama dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang. Mereka pun mulai meninggalkan halaman rumah dengan Jasmine yang melambaikan tangan pada sang mama.
"Ngapain lo kepang dua? Kek orang bego," cibir Zivan di tengah perjalanan.
"Diem, lo, kek babi!"
***
"Jasmine, can you just mine?"
Pertanyaan itu membuat Jasmine menghentikan langkah dan terdiam dengan raut wajah aneh. Ia merasa canggung, mulai celingukan seolah mencari seseorang untuk menjadi tumbal dalam situasi awkward tersebut. Sementara anak laki-laki di hadapannya tengah tersenyum dengan alis yang naik, menunggu reaksi gadis dengan rambut panjangnya yang dikepang.
Gadis itu mengembuskan napas panjang dan menatap anak laki-laki di hadapannya.
"Bukannya biasanya pake only, ya? Atau bisa juga ditambah pake be," jawabnya, membuat si anak laki-laki mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Y-ya?" Ia tersenyum menatap gadis bernama Jasmine tersebut. "Oh? Salah, ya? Ya …, nggak jadi sweet, deh," lanjutnya berlagak sedih, namun masih dengan senyum tipis.
Jasmine hanya tersenyum hambar, mengembuskan napas pelan dan menyipitkan matanya bersamaan dengan senyum palsu tersebut.
"Jadi yang bener gimana, dong?" Anak itu bertanya kembali pada Jasmine.
"Apanya?" Jasmine mengerutkan kening, sedikit merasa engap dengan anak tersebut, namun juga enggan meninggalkannya begitu saja.
"Ya, yang gua omongin tadi. Benernya gimana?"
"Oh, can you just be mine," jawab Jasmine mengoreksi kalimat anak laki-laki tadi.
"Ofcourse, I can."
'Anjir!'
"Huoek!" sahut Zivan yang tiba-tiba saja berlalu dan mendorong tubuh Romeo hingga hampir tersungkur menabrak Jasmine yang ada di hadapannya.
"Pagi-pagi udah bucin aja," gerutu Zivan, gerah melihat kakaknya digoda oleh laki-laki yang receh menurutnya. Anak laki-laki berwajah manis itu langsung bergidik ngeri. "Lagian kok mau sih, dia sama Yashmine?" lanjutnya sangat lirih.
"Jalan pake mata, dong!" Jasmine berteriak kesal, namun hanya mendapat acungan jari tengah dari Zivan.
"Jalan ya, pake kaki dong, Jasmine," sahut Romeo dengan senyum manisnya.
Jasmine menghela napas berat dan menatap Romeo dengan tampang datarnya. Anak laki-laki tersebut tampak tak peka dan masih menyuguhkan senyuman terbaiknya pada Jasmine, padahal si gadis sudah ingin pergi namun bingung bagaimana caranya.
"Nanti ke kantin bareng, yuk." Romeo mengatakan hal yang sudah sangat sering ia katakana pada gadis pujaannya itu. "Gue traktir," lanjutnya tetap percaya diri, walau selkalu saja penolakan yang ia dapatkan.
"Em …." Kalimat untuk menolak sudah berada di ujung lidahnya, namun Jasmine masih saja tak bisa mengelurkannya. Apalagi dengan Romeo yang memang menurutnya tak merugikan ia secara finansial atau apa pun.
"Boleh mesen apa pun, kok. Gue bayarin, suer." Anak laki-laki itu masih saja kukuh dan tetap ingin mengajak Jasmine makan bersama di kantin.
Jasmine terlihat canggung dan berkali-kali menunduk dan melihat sekitar. Masih cukup pagi, dan ia yakin dua sahabatnya tersebut tak akan datang pagi jika mereka tak mengatur jadwal berangkat bersama. Hingga akhirnya Jasmine pun menatap penuh sesal pada Romeo, hendak menolak ajakan anak laki-laki itu dengan mengatakan jika ia pergi ke kantin bersama dengan dua sahabatnya.
"Lo tau sendiri, 'kan? Kirana nggak bisa makan kalo ada lo," lanjut Jasmine dengan lirih, merasa sangat bersalah.
Romeo justru mengembangkan senyumnya dengan sangat lebar. "Gue tau, kok," jawabnya dengan sangat enteng.
"Iya. Jadi, sorry ya. Gue nggak bisa ke kantin bareng-"
"Tuh anak ada pelatihan Putra-Putri Pilihan buat festival akhir tahun ini, dia dipilih buat jadi delegasi dari kelasnya," sahut Romeo, memotong ucapan Jasmine begitu saja, namun masih tetap menyuguhkan senyum paling manisnya.
"Hah?" Jasmine melongo sejenak. 'Kok, kemarin-kemarin nggak ada yang ngobrolin ini?' lanjutnya dalam hati. 'Lagian Kirana jadi perwakilan kelas buat Putra-Putri Pilihan?'
Putra-Putri Pilihan adalah acara yang mirip seperti miss universe atau acara sejenisnya dalam negeri. Pada festival tahunan sebagai pengganti acara class meeting, SMA Harapan Negara mengadakan banyak sekali ajang perlombaan yang bisa diikuti oleh anak-anak sekolah, salah satunya adalah lomba Putra-Putri Pilihan yang akan diikuti oleh Kirana.
Jasmine kontan menggeleng pelan. "Ya, kan gue juga bakal makan sama Cindy kalo gitu, 'kan?" Ia masih terus berusaha untuk menolak ajakan Romeo.
Anak laki-laki dengan potongan rambut undercut itu terkekeh pelan. "Lo tau Abiyan dari kelas gue? Nanti istirahat dia mau QTime sama Cindy. Yaa, seperti yang lo tau gimana temen lo itu," jawabnya masih dengan senyum yang sangat manis, yang membuat Jasmine ingin menghantamnya dengan beton 100 kilogram saat ini juga.
"Ya, udah. Gue tunggu ya, ntar gue ke kantin dulu biar lo nggak canggung."
Dengan sangat berat hati, Jasmine mengangguk pelan dan tersenyum paksa menatap Romeo yang mulai berjalan pergi dengan tetap mempertahankan senyumnya yang sok tampan itu.
*****
Kamar Tukang Halu, 21 Juni 2022