Hanya suara nyamuk yang melintas di atas kepala mereka mengisi kekosongan dua orang yang baru saja terjebak dalam situasi yang mengejutkan.
Evans melirik ke atas kepala Luna, melihat begitu banyak nyamuk yang berterbangan di atas kepala Luna, Evans reflek bangkit dan memukul nyamuk-nyamuk sialan dengan suara bising di sana membuat Luna hanya bisa membuang napas pasrah.
"Dokter, langsung saja. Kenapa, Dokter. Memelukku? Dan, kenapa datang ke sini di tengah malam begini?" tanya Luna ingin tahu langsung pada inti kedatangan Evans yang mendadak bahkan sangat mengejutkan bagi Luna sendiri.
Evans tak lagi sibuk dengan nyamuk-nyamuk yang haus akan darah manusia, pria itu menjauh dari Luna. Membelakangi Luna sebab tak ingin Luna melihat wajahnya yang gugup saat ini.
Sungguh Evans tak tahu harus memberikan alasan apapun, sebab dia belum menyusun kata-kata dengan benar.
"Eummm aku tadi...." Evans menggantung kalimatnya membuat Luna tak sabar.
"Iya tadi kenapa?" desak Luna dari belakang.
Evans mengusap wajahnya, menghilangkan keringat yang mulai mengucur dari wajahnya. Sial karena gugup dia jadi keringat dingin.
"Sial, kenapa harus panas sekali hari ini," gerutunya kelewatan kesal.
Kening Luna mengkerut mendengar itu, sebab dia tak merasa demikian. Bahkan malam ini sangat sejuk, Luna menggeleng tak habis pikir. Karena Evans tak kunjung menjawabnya, jadilah Luna yang mendekat. Bahkan dia berdiri di depan Evans. Membuat pria itu menelan salivanya beberapa kali.
"Jangan berusaha mengalihkan pembicaraan, ya!" pesan Luna dengan mata jernihnya yang menatap Evans penuh peringatan.
Evans tenggelam dalam manik seindah bulan itu, perlahan perasaannya tenang kala menatap manik Luna yang tak memancarkan rasa sakit.
"Kamu baik-baik saja?"
"Hah?" Luna cengoh sebab tak paham ke mana arah pembicaraan Evans.
"Jawab saja," ujar Evans tak ingin dibantah.
"Hmmm, aku baik-baik saja. Memangnya ada apa?"
"Kapan terakhir kali kamu menangis?"
Luna menutup rapat bibirnya, saat bicara Evans hanya fokus pada manik Luna dengan ekspresinya yang sulit diartikan. Sementara Luna semakin merasa bodoh karena pertanyaan Evans kian tak jelas.
"Saat di taman rumah sakit."
Evans mengangguk, dia menurunkan pandangannya. Lega mendengar itu.
"Syukurlah jika kamu memang baik-baik saja. Aku ke sini hanya ingin memastikan itu, ya. Sudah, tidurlah dengan nyenyak. Aku pulang dulu, selamat malam," pamit Evans begitu saja dengan tak jelas di mata Luna.
Evans masuk ke mobil, dan benar-benar pergi dari villa meninggalkan banyak tanda tanya dalam benak Luna.
"Kenapa dia sebenarnya?"
***
Di tempat itu, Evans dengan ponsel di tangannya tengah mendapatkan informasi seputar keberadaan Sania dan Ekal. Rahang Evans mengeras saat tahu jika pria sialan itu sebenarnya tidak melakukan perjalanan bisnis, tapi malah jalan-jalan dengan kekasih gelapnya yang kurang ajar plus bodoh.
Pagi-pagi Evans sudah kehilangan moodnya karena harus mengetahui hal ini, sebenarnya dia tidak akan tahu jika dirinya tak mencari tahu. Ya, tadi malam setelah pulang dari villa. Dia meminta orangnya untuk mencari informasi seputar keberadaan Sania dan Ekal.
Lantas paginya dia mendapatkan informasi itu.
"Luna sedang khawatir tentang kondisi anak-anak panti, tapi di sana. Suaminya yang brengsek ini malah asik dengan selingkuhannya," ucap Evans tak habis pikir.
Dia menyuar rambutnya ke belakang, rambut yang masih acak-acakan itu membuat dirinya tampak dua kali lipat lebih tempat dari pada saat rambutnya rapi.
"Luna tidak boleh tau tentang ini, walau dia marah pada mereka. Tapi, dia juga masih menaruh hati pada suaminya. Sedikit banyaknya dia pasti akan sakit hati, tidak! Lebih baik Luna tidak tau," putus Evans setelah menimbang-nimbang semua konsekuensinya. Dan, jelas Evans akan mengutamakan Luna dan perasaan wanita itu.
Suara ketukan dari luar menarik perhatian Evans, dilirik pintu bercat putih gading itu.
"Evans....?" panggil Mery dari luar, Evans menghela napasnya. Karena kejadian tadi malam Evans jadi tak enak pada mamanya itu.
Evans meletakkan ponselnya begitu saja ke atas kasur, lantas bangkit sembari mengusap wajahnya sekali. Dia buka pintu, dan wajah pertama yang ia lihat adalah milik mamanya.
Seakan tak pernah terjadi apa pun di antara mereka, Mery melemparkan senyum manisnya yang selalu ia berikan pada sang putra kesayangan.
"Pagi, Nak. Ayo sarapan!" ajak Mery girang, kening Evans berkerut karena sikap Mery yang santai.
Tidakkah seharusnya Mery memasang wajah cemberut, atau paling tidak Mery berhenti bicara dan peduli pada Evans beberapa saat.
Baiklah, respon Mery yang ini sebenarnya jauh lebih mengerikan dari pada saat wanita itu harus mendiamkan Evans sehabis kejadian kemarin malam.
"Mama, tidak marah kepadaku?" tanya Evans hati-hati, Mery cemberut dengan sedikit senyuman, dia lantas mengusap lengan Evans sembari berkata.
"Kenapa harus marah? Soal kemarin, sudahlah lupakan saja. Ini hari terakhir kamu libur, kan? Lebih baik kita habiskan waktu ini dengan gembira dari pada mengingat kejadian tidak mengenakan itu," usul Mery terdengar sangat manis.
Melihat tak ada tanda-tanda kemarahan pada ibu sambungnya, dan setelah tahu jika Mery hanya ingin lebih mengabiskan waktu yang berharga dengan dirinya, Evans ikut terseret lega mendengar penuturan mamanya yang sangat bijak.
"Ya, sudah. Aku basuh wajah sebentar, setelah itu aku akan langsung turun," katanya.
Mery manggut-manggut paham, dia meninggalkan kamar Evans menuju bawah masih dengan senyumannya yang menghiasi wajah anggunya itu.
Mood Evans mendadak baik, dia tak bisa berhenti tersenyum karena perselisihananya dengan sang mama tak akan menjadi panjang karena mamanya sendiri sudah bicara demikian.
Beberapa menit berselang, Evans selesai dengan urusan seputar membasuh wajah. Dia lantas mendekati cermin besar di kamarnya itu, mengusap wajahnya yang basah sekali, dan sedikit menyuar rambutnya agar tampak sedikit tapi.
Setelah dirasa cukup, dia akhirnya keluar menuju meja makan.
Sampainya Evans di anak tangga, langkahnya yang tadi cepat. Mendadak jadi melambat, sebab dia mendengar suara tawa dari ruang makan, kening Evans berkerut kala sadar suara tawa itu tak hanya milik mamanya.
"Apa ada tamu?" gumamnya penasaran, menyingkirkan rasa penasaran yang terlalu mendominasi akhirnya Evans mempercepat langkahnya lagi untuk tahu siapa agaknya orang yang tertawa di sana bersama sang mama.
Baru saja kakinya menginjak ruang makan, tepatnya di ambang pintu Evans berhenti karena di meja yang biasa sunyi itu kini beberapa kursi diisi oleh orang-orang yang tidak ia duga akan datang.
Wanita cantik dengan jepit rambut indah terbuat dari mutiara itu sadar akan kehadiran Evans, dia adalah Michella menoleh ke arah Evans.
Senyum yang tadi menghiasi wajah Michella menghilang begitu saja, mata ke duanya terkunci beberapa saat.
"Evans sudah datang," cakap Michella tanpa mengalihkan pandangannya dari pria yang sudah resmi menjadi tunangannya itu.
Kontan saja tiga orang lainnya ikut melihat ke arah mata Michella tertuju, di meja itu ada Mery, dan papanya juga mama Michella yang tampak berbinar.
"Sini, Evans! Tante Dewi dan Michella mau membahas sesuatu atas undangan Mama," aku Mery membuat Evans melirik ke arah mamanya, dari tatapannya seakan Evans bertanya apa maksud mamanya ini.
Walau dirinya tak paham dengan situasi ini, Evans tetap mendekati meja makan. Dia duduk di seberang Michella dan Dewi, memilih untuk duduk di antara mama dan papanya.
"Mau membahas apa?" tanya Evans dengan wajahnya yang serius.
"Ohhh, hahahaha. Ternyata benar kata Michella, semenjak kamu menjadi dokter ahli bedah kamu jadi kaku, ya. Evans...." seru Dewi dengan tawa yang renyah.
Dia menutup mulutnya dengan jemari lentiknya yang terdapat beberapa cincin berlian melingkar, menandakan jika wanita paruh baya itu berasal dari keluarga kaya.
Evans hanya tersenyum paksa untuk menanggapi hal demikian.
"Ma, Evans penasaran tentang maksud kedatangan kita ke sini," tegur Michella cepat sebab mamanya hanya bertele-tele.
Dewi mengangguk, dia menghentikan tawanya yang kini hanya menyisakan senyum-senyum manis.
"Jadi, Tante dan Michella ke sini atas undangan mamamu. Katanya karena kamu sekarang sedang libur, ada baiknya untuk menentukan tanggal pernikahan kalian," tutur Dewi kontan membuat Evans yang kala itu menenguk air putih jadi tersedak dengan matanya yang terbelalak.
***