Keadaan di atas meja itu hening, dua orang yang awalnya memutuskan makan di sana. Tidak benar-benar menikmati makanan yang terhidang di atas meja, malah asik dengan kebungkaman masing-masing seperti bibir mereka tergembok secara tak kasat mata.
Hingga suara ribut-ribut dari meja sebelah karena seorang wanita dengan perut buncit yang sepertinya tengah mengandung datang menyiram wajah sepasang insan yang ada di meja sebelah.
Adegan itu menarik perhatian Evans dan Michella, tak hanya mereka. Bahkan seluruh pelanggan restoran menyaksikan kejadian itu dan sesekali mereka berisik karena wanita yang tengah mengandung itu marah-marah bahkan menjambak rambut wanita seksi yang ada di sebelah suaminya.
Ya, jika menguping dari ucapan wanita hamil itu dia diselingkuhi, sebenarnya mereka tak menguping hanya saja wanita itu yang bicara dengan nada membentak.
Drama berhenti disaat wanita hamil tersebut pergi dengan emosinya yang membara juga tangisan di saat yang bersamaan.
Suasana di sana semakin canggung.
"Sepertinya memang hal demikian yang harus dilakukan seorang wanita jika pasangannya selingkuh." Michella bermonolog tanpa dia sadar ucapannya dapat didengar oleh Evans yang baru saja ingin menyuapkan makanan ke mulutnya.
Pergerakannya berubah dengan dia meletakkan sendok dengan makanan yang tak jadi pria itu telan, dia menarik napas sejenak. Sebelum akhirnya mengangkat kepala untuk menatap Michella yang rupanya sejak tadi sibuk mengaduk-aduk makanannya dengan tatapan tak minat.
"Ada yang ingin kamu katakan?" tegur Evans pelan, dia sudah mulai bosan dengan kebungkaman di antara mereka.
Michella mengangkat satu sudut bibirnya menciptakan sebuah senyum miring yang sulit untuk dijelaskan apa artinya itu.
Michella meletakkan sendok dan garpunya ke pinggiran piring lantas melipat ke dua tangannya di atas meja, matanya yang indah dibingkai dengan kelopak seindah teratai itu membalas tatapan Evans.
"Menurutmu apa aku harus melakukan hal seperti tadi? Menyiram minuman dingin ke wajahmu dan wanita buta itu?" tanya Michella bernada rendah dengan senyuman tipis membuat matanya menyipit, seakan pertanyaannya adalah sebuah lelucon.
Mendengar itu Evans mendengkus, dia seperti lelah dengan ucapan Michella barusan. Pria itu buang muka, dengan kepala yang menggeleng kecil lantas Evans menjawab.
"Kamu wanita terhormat, tidak mungkin kamu bisa melakukan hal begitu."
Michella tertawa renyah, seakan tawa itu sudah ia tahan sejak tadi. Dia menjilat bibir bawahnya yang dipoles oleh lipstik mahal menambah kesan seksi pada wanita berpenampilan anggun itu.
"Kamu sangat mengenalku...." puji Michella, membuat kening Evans berkerut.
Kontan saja Evans menatap Michella lagi, seakan menanyakan apa maksudnya barusan.
"Kamu tau kenapa kamu bisa sangat mengenalku?"
Tatapan ke duanya terkunci, hanya dalam sekejap tawa Michella lenyap bagai tak pernah singgah menghiasi wajahnya. Sedangkan Evans tanpa berkedip menatap Michella menunggu kelanjutan kalimat wanita di depannya.
"Itu karena aku membiarkan kamu mengenalku, mangkanya kamu tau banyak tentangku. Tapi, aku? Aku tidak tau banyak tentang kamu, tau apa alasannya?" pancing Michella membahas sesuatu yang sudah jelas tak Evans suka, terbukti dari gelagat pria itu yang mulai mengeratkan rahangnya.
Evans enggan untuk menatap Michella lagi, berharap dengan itu Michella akan berhenti bicara.
"Itu karena kamu tidak memberikan aku kesempatan untuk mengenal kamu, DOKTER...." tekan Michella pada akhir kalimatnya.
Evans mengepalkan tangannya menahan agar dirinya tetap tenang.
Mata Michella menyipit kala tak sedikitpun Evans mau menatap dirinya.
"Seperti itu dia menyebutmu, bukan? Bagaimana rasanya? Apa menyenangkan berduaan dengan wanita buta?"
"Berhenti, Michella! Apa yang sebenarnya tengah kamu maksud? Jika, bicara tolong yang jelas. Dan, untuk apa kamu membawa-bawa Nyonya Luna dalam perbincangan ini?" tegur Evans, masih dengan nada yang rendah. Dia kini sudah kembali memandang ke arah wanita yang membuat dirinya hampir frustasi karena sikapnya itu.
"Kamu tidak akan mungkin mau mendengarkan aku bicara selama ini jika pembahasan itu sendiri tidak menyinggung wanita buta itu, kan?" tuding Michella lagi.
Evans memejamkan matanya, tak tahan dengan semua kalimat yang semakin membuat darahnya mendidih terlebih Michella terus menyebut Luna dengan sebutan serendah itu.
Alhasil Evans bangkit, dia merogoh sakunya mengambil dompet kulit berwarna coklat tua itu, lantas mengeluarkan salah satu ATM yang berjejer di dalam dompet.
"Lebih baik saya pergi, kamu sepertinya butuh waktu untuk menjernihkan pikiranmu. Gunakan ini untuk membayar semuanya, pulanglah dengan taksi atau suruh sopirmu menjemput! Saya sibuk setelah ini," tutur Evans, dia melangkah begitu saja dari sana meninggalkan atm-nya di atas meja.
Mata Michella tak melirik sedikit pun ke arah Evans, bahkan wanita itu sangat tenang. Kepalanya lurus ke depan memandangi interior restoran yang indah. Persekian detik berikutnya matanya turun ke arah ATM.
Wajahnya yang datar menunjukkan jika dia adalah wanita yang pandai menyembunyikan segala perasaan yang bergemuruh dalam dirinya, padahal baru saja dia dan Evans kembali berselisih paham.
Siapa wanita yang akan bersikap setenang ini, jika bukan Michella.
Wanita itu ikut bangkit dari duduknya, setelah yakin jika mobil Evans benar-benar meninggalkan restoran. Dia mendekati kursi di mana tadi Evans duduk, dan mengambil kartu ATM Evans.
"Baiklah jika seperti ini permainan yang kini kamu inginkan, aku akan ikuti. Seperti biasa...."
Kakinya yang jenjang nan mulus itu menuju kasir untuk melakukan pembayaran, walau makanannya tak ia telan sedikit pun. Tetap saja dia harus membayar.
***
Evans kembali ke rumah, dia ingin menikmati malam ini dengan tidur nyenyak di atas kasur empuknya sebelum masa liburnya selesai.
"Bagaimana hari ini, Evans?"
Langkah Evans yang hampir menaiki anak tangga jadi terjeda karena suara lembut yang berasal dari ruang tengah itu tertangkap oleh indera pendengarannya.
"Biasa-biasa saja, Ma."
Mery segaja menunggu putranya pulang dengan duduk di sofa bersama piyamanya yang terbuat dari sutra itu.
"Sungguh?"
"Hmmmm."
"Kamu sudah berkunjung ke panti? Sudah memastikan mereka semua nyaman di villa?" tambah Mery, sebanyak kalimat yang Mery lontarkan maka sebanyak itu kakinya melangkah kian mendekati putranya yang setia mematung di depan anak tangga.
"Lalu, bagaimana dengan Michella? Apa kamu mengabiskan waktu dengannya? Sudah membuat kenangan yang berharga dengan wanita itu?"
Mata Evans terangkat, kala mamanya sudah berdiri di hadapannya bahkan tinggi mereka kini sejajar. Sebab Mery yang pendek menaiki dua anak tangga untuk bisa melihat secara jelas wajah Evans yang tampan.
Evans membuang muka setelah pertanyaan itu dilontarkan, tangannya yang kekar mengusap wajahnya dengan kasar.
"Hmmm, menurutku begitu."
"Apa meninggalkan Michella seorang diri di restoran dan menyuruhnya pulang dengan taksi adalah kenangan yang berharga menurutmu?"
Sudah Evans duga, mamanya pasti akan tahu perihal ini. Tentu saja karena Michella yang mengadu.
"Dia mengadu?"
"Iya, memangnya kenapa kalau dia mengadu ke Mama? Wajar saja, kan? Mama ini adalah calon mertuanya, dia tunangan kamu. Coba kamu pikirkan apa pantas kamu meninggalkan tunanganmu seorang diri di restoran?" hardik Mery kesal, dia tidak habis pikir kenapa Evans bisa meninggalkan Michella.
Ya, Michella adalah tunangan Evans. Mereka sudah menjalin ikatan itu sejak enam tahun terakhir.
***