Chereads / Balas Dendam Terindah Sang Istri / Chapter 25 - Villa Keluarga Evans

Chapter 25 - Villa Keluarga Evans

Di sana mereka sekarang, sebuah villa mewah milik keluarga Evans. Mery memilih villa itu untuk tempat tinggal anak panti sementara waktu.

Sungguh Mery wanita berhati malaikat, dia bahkan ingin memastikan jika mereka merasa nyaman walau tak sedang di panti.

Satu per satu anak-anak di bawa masuk, bahkan Aisyah ikut masuk. Mobil Evans baru sampai, dia melirik Luna sejenak dari spion dalam, ingin rasanya bicara pada wanita itu lebih lama. Namun, Evans tak punya kesempatan.

Pada akhirnya Evans memilih untuk turun, dia ikut bantu-bantu sebisanya. Luna menghela napas panjang, Evans tak mengajaknya bicara. Itu artinya kehadiran Michella di sana adalah alasan kebungkaman pria itu.

Luna juga ingin ikut turun, namun. Suara Michella menghentikan pergerakan tangan Luna untuk membuka pintu mobil.

"Apa kamu mengenal Evans?"

Pertanyaan yang sama beberapa saat lalu, Michella lontarkan kembali sebab dia belum mendapatkan jawabannya.

Luna yang tak menghadap ke arah Michella mengerutkan keningnya kala mendapatkan pertanyaan sederhana itu. Ingin Luna menjawab apa adanya, namun. Luna takut kejujurannya akan menjadi masalah bagi Evans, akan lebih baik jika Evans juga mendengar pertanyaan ini supaya Luna tahu seperti apa hubungan Evans dan Michella agar Luna tak merusak apa pun itu.

"Emmm, tidak!"

Dengan tegas Luna memilih jawaban palsu itu, setelah memberikan jawaban demikian Luna bergegas membuka pintu mobil yang sejak tadi ingin ia buka. Bahkan langkahnya begitu cepat masuk ke villa, namun. Dengan tetap berpura-pura tak mau menimbulkan kecurigaan di benak orang lain.

Sementara Michella di dalam mobil menyipitkan matanya setelah mendengar jawaban yang dia tak percayai itu.

"Kalau memang tidak, kenapa terlihat akrab?" gumam Michella menaruh rasa curiga.

Ya, Michella curiga pada wanita yang buta itu. Tentu saja Luna adalah wanita buta di mata dunia ini.

Michella lelah terus berpikir, dia ikut turun untuk menyusul yang lain. Serta melihat lagi seperti apa interaksi tak langsung antara Evans dan Luna.

Di dalam villa yang memiliki lantai dua itu semua anak tampak gembira, melihat ada sofa yang begitu empuk. Satu dua anak mulai menunjukkan sifat kekanak-kanakan mereka dengan melompat-lompat di atas sana, tak lupa tawa ria mereka yang mengisi kekosongan di villa membuat seisi villa bergema dengan aura bahagia mereka.

"Eh, anak-anak jangan lompat-lompat di sana. Nak, itu sofanya pasti mahal!" tegur Aisyah dengan wajah serius serta telunjuk yang dia arahkan ke arah wajah anak-anak di sana untuk tidak melakukan kejahilan mereka.

Spontan anak-anak itu langsung duduk dengan sopan dan kepala yang tertunduk, melihat itu Evans tersenyum kecil.

"Tidak apa-apa, Bu. Biarkan saja mereka melakukan sesuka mereka, anggaplah villa ini seperti panti, ya. Mama saya ingin kalian semua nyaman dengan melakukan apa saja tanpa khawatir akan barang-barangnya," ucap Evans membuat Aisyah tersenyum kecil dengan kepala mengangguk.

Setelah kejadian itu, anak-anak disuruh tidur siang. Dan Aisyah menjaga bayi di lantai dua, yang tersisa hanya Evans dan Michella di ruang tengah.

Sadar jika suasana semakin sepi, Evans yang sejak tadi sibuk dengan ponsel mulai celingak-celinguk meneliti sekitar untuk mencari keberadaan seseorang yang ia cari.

Sadar akan pergerakan Evans, Michella menatap pria itu dalam diam.

"Kamu mencari wanita buta itu?" tuduh Michella terus terang.

Mendengar hal tersebut Evans langsung berhenti melihat sekitar, dia menoleh. Tepat di sampingnya Michella memberikan tatapan penuh rasa curiga.

"Tidak," dalih Evans.

"Lalu?"

"Saya sedang mencari di mana keberadaan toilet, ah. Saya baru ingat, mungkin di belakang. Saya ke sana sebentar," izin Evans, tanpa mendengar persetujuan Michella. Pria itu sudah lebih dulu meninggalkan wanita cantik dengan dress merah mudanya di sana seorang diri.

"Bilang saja jika ingin menghindar," tutur Michella dingin setelah kepergian Evans, ya. Michella tahu, Evans tak benar-benar ingin ke toilet.

Sementara itu di dapur, tampak Luna yang sedang sibuk berkutat dengan kegiatan memasaknya. Dia tak perlu pura-pura buta sebab tak ada yang melihatnya memasak membuat Luna bisa berekspresi sesuka hatinya.

Tak sadar jika di belakangnya ada seseorang yang sejak tadi memandangi punggungnya sembari bersedekap dada, yang tak lain dan bukan adalah Evans.

Sudah lebih lima menit dia berdiam diri di sana, memandang Luna layaknya pajangan. Namun, karenanya sepertinya kegiatannya sangat asik. Luna tak sedikitpun menoleh.

Pelan-pelan Evans mendekat, dan saat sudah dapat menjangkau Luna. Dia menepuk bahu wanita itu, membuat Luna yang tengah memotong bawang kaget hingga tangannya tanpa segaja teriris pisau.

"Astaga, awssss...."

"Eh, ada apa?" kaget Evans, padahal dia yang mengagetkan. Tapi, dirinya pun ikut kaget karena Luna meringis.

Cepat-cepat Evans membalik tubuh Luna, Luna memengangi jarinya yang teriris pisau membuat darah segar rembas dari sana.

"Ya ampun, maafkan aku."

Tanpa banyak basa-basi, Evans menarik tangan kiri Luna lantas memasukkan jari telunjuk Luna yang berdarah ke dalam mulutnya.

Mata Luna membesar melihat apa yang Evans lakukan, namun. Tubuhnya malah kaku tak bisa menolak perlakuan spontan Evans.

Evans hisap darah Luna beberapa detik, setelahnya dia melihat apakah pendarahannya sudah berhenti. Dirasa belum cukup Evans kembali menghisap darah Luna.

"Eh...."

Evans melirik Luna dengan cemas, padahal luka demikian hanyalah luka kecil.

"Ayo, cuci dulu jarimu," ajak Evans menarik Luna ke wastafel yang tak jauh dari sana.

"Darahnya? Tidak Dokter buang?" tanya Luna tak yakin, masih mempertahankan ekspresi kagetnya yang nyata.

Evans yang sibuk membasuh jari Luna dengan air keran menggeleng tanpa menoleh.

Luna mengerutkan wajahnya karena merasa hal ini tak benar.

"Tapi, kenapa? Itu, kan. Darah...." ucap Luna hati-hati.

Evans terhenyak, namun. Hanya bertahan beberapa saat, setelahnya dia matikan keran. Menarik tangan Luna mendekati pantry, menyuruhnya duduk dan Evans membuka lemari lain di dekat sana di mana pasti ada kotak P3K.

Dia kembali mendekati Luna, sibuk memberikan pengobatan pada Luna. Sementara wanita itu masih menunggu jawabannya.

"Aku masih menunggu jawaban, Dokter."

"Soal apa?"

"Kenapa darahnya, Dokter. Telan?"

Evans menghela napas panjang, dia melirik Luna sekilas lantas berkata.

"Itu spontan, aku khawatir kamu kenapa-kenapa. Kamu sudah terlalu banyak menanggung luka, tidak akan kubiarkan luka ini ikut absen di dirimu," katanya sekenanya menuruti apa kata hatinya sendiri.

"Tapi, Dokter adalah seorang dokter. Dokter, tau hal tadi tidak dianjurkan?"

"Kadang dokter juga bisa melakukan kesalahan kalau sedang khawatir, sudahlah. Diam sebentar," ujar Evans dingin.

Luna menurut, dia diam seperti yang Evans inginkan sedangkan Luna memandangi wajah Evans dengan intens.

"Jadi, hubungan kalian sedekat ini ?"

Suara itu membuat Evans dan Luna menahan napas, ke duanya saling pandang sebelum pada akhirnya melihat ke sumber suara.

***