Sejak awal melihat Luna, Evans tak bisa berhenti mencuri-curi pandang dari wanita itu. Mulutnya sudah gatal ingin bertanya sesuatu pada Luna.
Dan, begitu pula Luna. Dia sebenarnya tak tahan untuk tidak menoleh ke arah Evans sembari menanyakan apa sebenarnya yang membawa dirinya datang ke sana.
Luna sungguh tak menduga jika Evans akan datang ke panti, entah ini sebuah kebetulan atau memang takdir.
"Setelah kami melihat keadaan panti, sepertinya butuh perbaikan. Dan, ini akan memakan beberapa waktu. Seperti yang sudah diperintahkan nyoya M, maka. Anak panti serta pengurusnya akan dipindahkan ke tempat yang lebih aman selama renovasi," kata anak buah Mery.
Aisyah mengelus dadanya, dia tampak seperti tak rela untuk meninggalkan panti walau untuk sebentar saja.
"Luna, bagaimana menurut kamu?"
Selama Luna ada di sana, Aisyah selalu ingin mendapatkan pendapat dari wanita itu. Sungguh Aisyah sangat menghargai sosok Luna.
Luna tersentak, karena terlalu melamun memikirkan kehadiran Evans dia jadi lupa jika ada hal penting yang Aisyah tanyakan padanya.
"Oh, menurutku, Bu. Kita harus utamakan kenyamanan anak-anak, kasian juga sama yang masih bayi kalau tidak dapat tempat baru untuk mereka tidur," ungkap Luna menyuarakan isi hatinya.
Aisyah menghela napasnya, dia melirik semua anak panti yang memandang ke arahnya menaruh begitu besar harapan pada pundak wanita tua itu.
Pada akhirnya wanita paruh baya itu mengangguk, dan setuju untuk dipindahkan beberapa saat dari panti.
"Baiklah, untuk mengevakuasi semuanya. Saya akan meminta nyonya M untuk mengirimkan mobil lain," ungkap anak buah Mery.
Dia bergerak cepat, agak menjauh dari mereka dan menghubungi majikannya.
"Luna, selama panti direnovasi. Apa kamu tetap bisa bersama kami?" tanya Aisyah, dia menatap Luna penuh harap.
Bukannya apa-apa, dia hanya tak kuasa untuk menanggung semua ini. Mungkin jika ada Luna yang bersama dirinya, dia bisa sedikit tabah menghadapi cobaan.
Luna melirik Evans sekilas, tak ada yang menyadari hal itu. Hingga mata ke duanya bertemu, Evans pun diam melihat ke arah Luna tanpa ekspresi.
Sehingga sulit bagi Luna untuk menebak apa yang sebenarnya tengah dipikir atau dirasakan oleh pria tampan itu.
"Hmmm, iya, Bu. Aku akan ikut dengan kalian," putus Luna bulat.
Luna dan Aisyah pelan-pelan masuk ke dalam panti, membawa pakaian anak panti secukupnya saja. Sebab tak berani terlalu dalam di dalam panti takut gedung kembali roboh.
"Luna, apa kamu tidak apa-apa kalau lama di sini? Bagaimana dengan suami kamu?"
Disela-sela langkah mereka, Aisyah bertanya hal tentang Ekal yang mana itu hanya membuat Luna kembali terpikirkan apa yang sekarang agaknya tengah dilakukan oleh suaminya yang tampan itu.
Sadar jika yang bertanya adalah Aisyah, Luna pun menjawab dengan cepat.
"Aku sudah izin, kok. Bu, Ekal juga tidak masalah kalau aku lama di sini. Dia juga tidak akan marah," dalih Luna.
Aisyah tersenyum lega mendengar itu, dia mengusap lengan Luna dan menuntun Luna agar berjalan lebih hati-hati.
"Kamu beruntung punya suami seperti nak Ekal, dia sangat pengertian rupanya," tambah Aisyah membuat Luna kehilangan senyumnya.
"Aku bernasib sial, karena punya suami seperti dia," batin Luna menyangkal ucapan Aisyah.
Tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan untuk menunggu mobil tambahan yang dikirim oleh Mery, menyesuaikan jumlah anak panti. Maka enam mobil sudah datang untuk membawa mereka.
Satu per satu anak dimasukkan ke mobil, ditempatkan dengan rapi. Saat semuanya sudah masuk ke mobil masing-masing, tinggal satu kursi yang tersisa sementara yang belum mendapatkan tempat adalah Aisyah dan Luna.
"Luna, kamu ikut dengan mobil anak-anak, ya," pinta Aisyah lembut.
Luna jelas menggeleng, tanpa dikasih tahu pun dia tahu jika hanya satu kursi mobil yang tersisa. Luna tak mau dia bisa pergi tapi wanita tua itu tidak.
"Tidak, Bu. Anak-anak butuh, Ibu. Ibu saja, biar aku nanti naik taksi atau angkutan umum lain," tolak Luna halus.
Aisyah sudah membuka mulutnya untuk membalas ucapan Luna, tapi sudah ada suara bariton yang lebih dulu menyela.
"Dia benar, lebih baik pengurus panti yang ikut dengan mobil anak-anak," sela Evans menarik perhatian semua orang. Begitulah juga dengan Michella yang ada di sisinya.
"Loh, bukannya wanita buta ini juga pengurus panti?" tanyanya hati-hati.
"Jangan menyebutnya seperti itu!" tegur Evans tak suka atas nama panggilan yang Michella berikan pada Luna. Itu terkesan kasar walau Luna sebenarnya tak buta.
"Oh, bukan. Luna bukan pengurus panti, dia juga salah satu anak panti. Tapi, dia sudah lama tidak tinggal bersama kami karena sudah menikah. Dia di sini karena berkunjung saja," cakap Aisyah menjelaskan, Michella mengangguk paham.
"Eumm, tapi dalam keadaan ini lebih Luna ikut dengan mobil nyonya M, Dokter," ujar Aisyah masih saja keukeh untuk Luna yang ikut dengan mobil anak buah Mery.
"Tidak perlu khawatir, Nyonya Luna akan ikut dengan mobil saya, Bu."
Keputusan secara sepihak itu menarik Michella untuk menatap Evans dengan keningnya yang berkerut, sadar jika saat ini dia ditatap Evans membalas tatapan wanita di sampingnya.
"Kamu tidak keberatan, kan. Kalau nyonya Luna ikut kita?"
Tahu jika Evans butuh persetujuan Michella membuat Luna mengambil satu kesimpulan tentang hubungan mereka.
Michella melirik Luna sekejap, lantas dia mengangguk dan dirinya berjalan lebih dulu menuju ke mobil Evans.
Setelah keputusan sudah diambil, Aisyah masuk ke mobil yang membawa anak panti dan beberapa bayi. Lalu, Luna berjalan bersampingan dengan Evans.
"Kamu tidak bilang kalau panti yang kamu maksud adalah tempat ini," ujar Evans dengan nada begitu pelan, sehingga hanya Luna yang dapat mendengar suaranya.
"Aku tidak bilang karena tidak pernah menduga kalau Dokter juga akan datang ke panti," balas Luna.
Dari dalam mobil, Michella yang sudah mengambil posisi duduk di jok depan samping kemudi menatap kedatangan Evans dan Luna. Ke duanya tampak berbincang, Michella mengerutkan keningnya karena dia tengah berusaha untuk menebak apa agaknya yang mereka bicarakan dari gerak bibir ke duanya.
Tapi, sayang. Dia tak terlalu ahli dalam hal demikian, hingga saat Evans membuka pintu mobil di belakang Michella berlagak tak peduli dan sibuk memainkan ponselnya.
Tampak Evans yang memutari badan mobil, Michella kembali melirik Luna dari spion dalam dengan tatapan penuh rasa curiga.
"Apa kamu mengenal Evans?" tanya Michella cepat, Luna mengangkat kepalanya kala pertanyaan itu dilontarkan.
Namun, belum sempat Luna menjawabnya Michella lebih dulu kembali fokus pada ponsel sebab Evans sudah masuk ke dalam mobil.
"Oke, kita berangkat sekarang." Dengan itu mobil hitam milik Evans lebih dulu meninggalkan panti, diikuti oleh mobil anak buah mamanya.
***