Matahari mulai menampakkan cahaya nya dan sinarnya telah menyelinap masuk ditengah-tengah dedaunan hijau yang terbentang di sepanjang jalan. Disambut dengan suara burung-burung yang mulai bersahut-sahutan menyambut datangnya pagi. Sungguh nikmat dan karunia yang luar biasa dari Sang illahi yang mana pagi ini masih bisa menghirup udara segar. Suasana di desa memang sangat menyejukkan terutama ketika pagi hari menyapa.
Kediri, menjadi tanah kelahiranku. Salah satu kota kecil yang ada di jawa timur. Atharauf Falah Abdullah, menjadi nama yang disematkan oleh ayah dan ibuku kala itu. Dengan nama itu tentunya orang tua memiliki harapan yang baik untuk anaknya yaitu sebagai anak laki-laki islam yang siap mengabdi menjadi hamba Allah. Aku memang menjadi anak semata wayang dari ayah dan ibu karena dulu ketika usiaku masih 3 tahun, ibu mengalami kecelakaan yang mengakibatkan calon adikku harus dikeluarkan serta diangkat pula rahim ibu yg kala itu untuk menyelamatkan nyawa ibu. Sejak saat itu ayah menjadi extra perhatian kepada kami.
Ayah mempunyai usaha perdagangan kain diluar kota. Usaha ayah tersebut dirintis bersama sahabatnya sewaktu SMA dulu. Memang ayah kala itu sangat pintar dalam hal manajemen dan akuntansi. Sedangkan teman ayah mempunyai banyak kenalan diberbagai perjuru daerah. Ayah yang sering bolak-balik antara Kediri-Surabaya untuk bekerja. Sehingga suatu waktu, ayah ingin mengembangkan usahanya tersebut di kota kami dan Alhamdulillah usaha ayah berjalan baik sehingga usaha ayah dan temannya memiliki 2 cabang, dan ayah tidak terlalu sering ke luar kota.
"Athar, ayo sarapan dulu. Ibu sudah masak nasi goreng spesial untuk kamu" suara ibu membuyarkan sejenak lamunanku sejak tadi yang sudah berdiri didepan jendela kamar.
Sejak aku berumur 9 tahun, aku memang telah dimasukkan ke pondok pesantren oleh orang tua dengan tujuan supaya aku lebih mendalami dalam hal agama. Aku dipondok sekaligus sekolah disana dengan satu lokasi. Teringat dulu saat-saat dimana pertama kali ayah dan ibu mengantarkan aku ke pondok dengan diantarkan linangan air mata, terutama ibu. Peraturan dari pondok 3 bulan pertama tidak boleh dikunjungi oleh orang tuanya dengan tujuan supaya anak lebih dapat cepat mandiri. Kala itu aku yang setiap hari menangis karena rindu ingin bertemu ayah dan ibu. Sampai aku mengurung diri berhari-hari tidak mau melakukan kegiatan apapun di pondok. Tapi para santri, ustadz dan kyai sangatlah sabar. Aku sampai digendong oleh mas-mas santri disana supaya mau ke masjid. Lambat laun aku mulai terbiasa dengan keadaan karena saat itu yang ada dipikiranku cuma satu, yakni tidak akan membuat ayah dan ibu kecewa terhadapku. Setelah 3 bulan berlalu, aku dikunjungi oleh ayah dan ibu. Saat-saat itulah saat yang paling membahagiakan bisa bertemu lagi dengan mereka. Aku menumpahkan tangisku dipangkuan ibu karena saking rindunya.
Menjelang menghadapi ujian kelas 3 Madrasah Aliyah atau setara dengan SMA aku dipanggil oleh Romo Kyai dan mengatakan akan mengantarkan aku untuk pulang.
"Mohon maaf pak kyai, sekiranya pak kyai berkenan memberitahukan ada masalah apa dirumah?".
Kemudian pak kyai memberitahu bahwa ayah telah meninggal karena kecelakaan. Disaat itulah hati dan jiwaku hancur luluh lantah, kaki seakan tak mampu menompang tubuh ini. Aku jatuh dan menangis membayangkan wajah ayah yang jarang aku temui sekarang malah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku pulang diantar oleh Romo Kyai dan Ibu Nyai. Selama diperjalanan aku hanya membayangkan senyuman diwajah ayah ketika aku lulus dari pondok nanti. Tapi kenyataan berkata lain. Aku hanya bisa terus meneteskan air mata. Sesampainya dirumah aku berusaha menyeka air mataku. Ku lihat ayah sudah terbaring dilantai dengan kain menutupi badannya. Aku mendekati jenazahnya dan memeluk tubuh ayah yang telah terbujur kaku berselimut kain jarit. Ibuku menangis sambil dipeluk oleh bibi.
Sekuat tenaga aku menahan tangisku supaya ibu tidak bertambah sedih. Aku harus terlihat kuat dihadapan ibu. Aku harus bisa menguatkan ibu meskipun hatiku juga telah hancur dan rapuh. Aku juga harus siap dan kuat saat memandikan jenazah ayah bersama paman dan kerabat yang lain.
Hhmmm... mengingat kenangan itu kembali tak terasa air mataku menetes.
Sejak saat itu, ibu yang bekerja untuk memenuhi kebutuhanku. Serta dibantu paman untuk mengelola usaha ayah. Selesai pendidikanku pada Madrasah Aliyah aku memutuskan untuk tidak lagi mondok. Meskipun awalnya ibu menolak dan menginginkan aku tetap dipondok tapi aku bersikeras untuk melanjutkan kuliah diluar pondok karena ibu hanya sendiri dirumah dan supaya aku bisa membantu segala pekerjaan ibu di toko. Akhirnya ibupun menyetujuinya.
Kami sudah ada di depan meja makan, sambil menyantap sarapan, aku membuka obrolan dengan ibu.
Ibu nanti ke toko jam berapa?". tanyaku.
"Pamanmu nanti yang kesana, ibu lagi gak enak badan, mau istirahat dulu dirumah ". sahut ibu.
"Periksa ke dokter ya bu... biar Athar izin dulu nanti" kata ku.
"Nggak perlu le, ibu nggak apa-apa. Mungkin ibu cuma kecapek an aja, nanti ibu minum vitamin aja, nanti juga sembuh" jawabnya.
"ya...sudah. kalau ibu nanti butuh apa-apa telpon athar aja ya. ibu istirahat aja nggak usah mengerjakan apa-apa. nanti sepulang ngajar biar athar yang mengerjakan semua".
"Iya Le. Ya sudah cepet berangkat, sudah pukul 07.00 nanti terlambat. Ini bekal kamu sudah ibu siapkan" jawab ibu sambil menyodorkan bekal makanan untuk dibawa ke sekolah.
Ya. Menjadi seorang guru adalah cita-citaku sejak aku masih SD. Ayah pun juga sangat mendukungku. Dulu ketika aku masih kecil, ayah sering mengajakku ke pengajian. Saat itu aku yang juga menyukai dengan pelajaran agama memang sangat antusias ketika guru sedang atau ustadz memberikan pelajarannya. Pak Sulaiman namanya. Salah satu ustadz ku selama di pondok pesantren yang menjadi motivatorku. Setelah ayah tiada aku begitu dekat dengannya. Beliau lah yang sering menasehatiku dalam mencari ilmu.
Meskipun aku sudah tidak di pondok pesantren tapi aku masih sering ikut serta dalam kegiatan apapun dan ikut berperan aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial di pondok pesantren tersebut. Jarak yang lumayan jauh tidak menyurutkan niatku, karena memang pondoknya di kota sebelah. Sedikit demi sedikit aku menimba ilmu di pondok meskipun aku sudah tidak di asrama nya. Aku juga sering ikut pengajian yang diadakan dipondok tersebut setiap hari ahad. Sebenarnya ada tawaran untuk aku mengajar di pondok. Tapi karena jarak yang memakan waktu antara 2,5-3jam, aku dengan berat hati menolaknya. Hanya ibu yang menjadi alasan utama ku. Jika setiap hari pulang pergi rasanya berat. Jika tinggal disana, rasanya ku tidak tega meninggalkan ibu sendirian dirumah. Akhirnya aku memilih tempat yang tidak terlalu jauh dari rumah.
Sedangkan ayah adalah sosok yang aku jadikan panutan. Beliau begitu sabar tapi juga tegas terhadap istri dan anaknya. Setiap sehabis sholat, beliau tidak pernah meninggalkan membaca al-qur'an walaupun paling sedikit cuma satu ayat. Rasanya begitu rindu kala mengingat semua tentang ayah.