«PRANGG»
"Bukankah sudah Ayah bilang, tinggalkan impian omong kosong itu!" bentak seorang ayah kepada anak gadisnya.
Anak yang dibentak mencoba menahan isak tangisnya. "Tapi itu mimpiku, Ayah! Aku ingin menjadi tentara, seperti Ibu!"
Sang ayah berdecih. "Dan kau ingin mati karena tertembak peluru, begitu?!"
Sang anak hanya diam sambil mengepalkan tangannya.
Ayah dari gadis itu berbalik. "Kau hanyalah perempuan, cepat buang impian tak berguna itu dan jadilah istri serta ibu yang baik untuk suamimu!" Ia pun pergi meninggalkan anak perempuannya.
Sang gadis langsung menangis dan pergi ke kamarnya.
«BRAKK»
Suara pintu yang ditutup dengan kencang terdengar keras di rumah sederhana itu. Sang gadis berdiri di belakang pintu sambil menutup mulutnya menahan isak tangis yang hampir keluar.
"Hiks... Hiks...". Mau ditahan seperti apapun tak ada gunanya, sebuah isak tangis lolos dari bibir gadis itu. Kakinya merosot, membuatnya terduduk dengan kaki yang ditekuk. Ia membenamkan kepalanya di antara sela-sela kakinya. Tubuhnya gemetar.
"Hiks... Hiks... HUAAA!". Tangisannya tak bisa ditahan lagi, ia menangis dengan kencang.
Gadis itu mengambil sebuah foto yang berada di atas nakas. Foto itu adalah foto dirinya waktu masih kecil dan sang ibu yang sudah tiada. Di foto itu, sang gadis tengah berumur 3 tahun dan ibunya sedang mengenakan seragam TNI baret biru khas Pasukan Perdamaian.
Ibu dari gadis itu adalah salah satu anggota Pasukan Perdamaian atau yang biasa disebut Kontingen Garuda atau Konga. Foto itu adalah kali terakhir dirinya berfoto dengan sang ibu. Sang ibu meninggal dunia karena tertembak peluru saat menjalankan misi di salah satu negara dengan konflik.
Pada saat itu, ayahnya benar-benar sangat terpukul atas kematian istrinya. Sang ayah sebenarnya ingin menjadi anggota TNI, namun fisiknya lemah, dan hal itu membuat sang istri yang menggantikan suaminya.
Sang ayah yang semula keras menjadi semakin keras lagi. Ia ingin putrinya tetap aman dengan melakukan kegiatan rumah tangga seperti halnya wanita-wanita lain. Namun, putrinya benar-benar sangat keras kepala. Putrinya sangat menghormati sang ibu dan ingin menjadi anggota TNI juga.
Tentu saja sang ayah menolaknya dengan keras. Memangnya siapa yang rela anak gadisnya ingin pergi jauh darinya dengan mengemban tugas berbahaya sepertu itu?
"Hiks... Hiks... Ibu.. Hiks...". Gadis itu meremat pigura yang dipegangnya. "Kenapa?... Hiks... Kenapa Ayah selalu menghalangi impianku, Bu?.. Kenapa?... Hiks..."
"Hiks... Apa Ibu tahu, Ayah mulai berubah setelah kematian Ibu.... Ayah bukan lagi sosok yang kukenal... Hiks.. Ayah berbeda, Ibu... Hiks...."
"Seandainya Ibu masih hidup... Hiks... Ayah tak mungkin memiliki sikap berbeda seperti sekarang... Hiks..."
"Ibu.... Kenapa Ibu pergi meninggalkanku?.. Hiks.. Kenapa, Ibu?... Hiks..."
Gadis itu menatap foto ibunya dan mengelusnya dengan lembut. "Ibu... Aku sangat rindu padamu... Aku tak kuat lagi, Ibu... Aku ingin bebas...."
Gadis itu menengadahkan kepalanya menghadap ke langit-langit. "Aku ingin bebas... Seperti Indonesia yang merdeka dari penjajah... Aku ingin kebebasan, Ibu... Hiks..."
Gadis itu mengelap air matanya dengan ujung baju yang ia kenakan. Pandangannya mengarah ke sebuah benda yang berada di atas meja belajarnya. Sebuah dompet berwarna peach dengan motif boneka beruang pemberian dari ibunya. Gadis itu menatap dompetnya lekat-lekat. Sebuah ide muncul.
"Aku tahu ini gila... Tapi, hanya ini satu-satunya cara untukku dapat meraih impianku...". Gadis itu berdiri dan mengambil dompetnya. Ia melihat berapa uang yang ada di dompetnya itu. 200.000 rupiah, masih belum cukup.
Ia mencari-cari buku tabungannya di lemari pakaiannya. Setelah ketemu, dengan cepat ia membukanya. Tiga juta dua ratus ribu rupiah, cukup banyak. Ia pun mengambil cincin, kalung, dan gelang emas serta anting-antingnya yang tak pernah ia pakai.
Ia mengumpulkannya menjadi satu lalu kemudian mencari surat-surat kepemilikan emas. Dari apa yang tertulis di surat-surat itu, total harga keseluruhan perhiasan yang ia miliki sekitar 7 juta rupiah, dan harganya bisa saja naik tahun ini.
Gadis itu langsung memasukkan perhiasan-perhiasan miliknya serta surat-surat itu ke dalam sebuah tas kecil. Tak lupa ia membawa handphone miliknya dan mengambil kunci motornya. Ia memakai jaket serta rok yang panjang dan mengenakan kerudungnya. Ia keluar dari kamarnya menuju garasi.
"Mau kemana?" tanya sang ayah dengan tatapan tajam.
"Beli kuota" balas sang gadis singkat, padat, dan jelas.
"Hm."
Gadis itu tak sepenuhnya berbohong, karena ia memang berniat untuk membeli kuota di samping toko emas. Ia dengan cepat menyalakan motornya dan pergi ke kota untuk menjual emas-emas yang ada.
'Semoga saja perhiasan-perhiasan ini bisa dijual' pikir gadis itu.
.
.
.
.
.
༺♥༻
。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。
꧁ ༺ 🅁🄸🄽🄺🄰_🄼🄰🅂🄰🄼🄸 1207 🄿🅁🄾🄹🄴🄲🅃 ༻ ꧂
『State Association』
Genre: Romance, Nations, Military
꧁ ༺ 🅁🄸🄽🄺🄰_🄼🄰🅂🄰🄼🄸 1207 🄿🅁🄾🄹🄴🄲🅃 ༻ ꧂
。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。
༺♥༻
.
.
.
.
.
Gadis itu duduk sembari menyeruput minuman kekinian yang ada di tangannya. Ia membaca rincian nota yang didapatkannya setelah menjual emas miliknya.
'Ternyata harga emas tahun ini naik... Kupikir harganya sekitar 7 juta, ternyata 10 juta. Alhamdulillah....' batin gadis itu sambil tersenyum.
Gadis itu bangun dari bangku tempatnya duduk dan membuang bungkus minumannya ke tempat sampah. Ia menuju ke motornya, tujuannya kali ini adalah ke toko kuota langganannya.
"Eh, Ani, apa kabar?" sapa penjaga toko kuota itu. Penjaga toko itu adalah seorang lelaki muda berkacamata yang merupakan teman sekelasnya. Lelaki itu menjaga toko milik keluarganya sembari belajar.
"Baik. Oh iya, aku beli kartu yang biasanya, ya" balas gadis yang dipanggil Ani itu.
"Oke" Lelaki itu mengambil satu pak kartu. "Berapa?"
"Ehm..." Gadis itu berpikir sejenak. 'Karena aku mau kabur dari rumah, mending aku beli banyak sekalian. Eh tunggu, nanti kalau dia ngomong ke Ayah bagaimana, dong?'
"Ani? Ani?!" Suara lelaki itu membuat sang gadis keluar dari lamunannya.
"Ah eh, ya?!"
"Kenapa bengong, sih? Jadinya mau berapa?" tanya lelaki itu.
Gadis itu tertawa canggung. "Ahaha... Maaf, maaf... Lagi mikirin yang lain, nih... Jadinya, aku pesan 10, deh. Sekalian sama kartu perdana."
Lelaki itu kaget. "Buset, banyak banget! Mau buat apa?"
"Hehe, cuma buat persediaan. Kau kan tahu sendiri kalau aku ini orangnya mager plus nolep..." balas gadis itu cengengesan.
"Cih, dasar wibu" gumam lelaki itu.
Twitch💢
Perempatan siku-siku muncul di kening gadis itu. "Ohoho, enak aja manggil aku wibu, dasar otaku." Gadis itu tersenyum kesal sembari menarik telinga temannya.
"A-a-ampun... Ampun, Mak Jago...." ringis teman gadis itu.
Sang gadis mendengus. "Makannya cepetan, lelet banget sih, jadi orang" ejeknya.
Tak lama kemudian seluruh kartu kuota itu pun sudah ada di tangan sang gadis.
"Totalnya lima ratus ribu" kata temannya.
Gadis itu memicingkan matanya. "Itu udah diskon, kan?"
"Iya, lah. Kalau belum, harganya itu lima ratus lima puluh ribu, tahu!" balas laki-laki itu dengan ngegas.
"Ya elah, santuy ae" gadis itu menyodorkan uangnya "nih."
Lelaki itu menerima uang yang diberikan dengan tatapan yang tak bisa diartikan.
"Hm? Kenapa?" tanya sang gadis yang hendak pulang.
Lelaki itu terdiam sesaat. "Sebenarnya kau mau kemana?"
Pertanyaan laki-laki itu membuat sang gadis terkejut dan sedikit grogi. "A-apa maksudmu?"
Lelaki itu menatap sang gadis lekat-lekat. "Kau mau pergi ke suatu tempat, bukan? Firasatku mengatakan kalau kau ingin kabur dari sini..."
Gadis itu sedikit panik. 'Da-darimana dia tahu kalau aku ingin kabur? Dia cenayang? Serem, ih...' Gadis itu menenangkan dirinya sendiri. 'Tenanglah, ada 1001 cara untuk mengelak. Kau pasti bisa!'
"Iya, aku ingin pergi dari sini dan kabur dari otaku sepertimu! Dah lah, bye!" Gadis itu langsung ngacir ke motornya dan pergi dari tempat itu.
Sang lelaki menatap kepergian gadis itu dengan tatapan sendu. 'Apa yang terjadi padaku?... Kenapa aku begitu peduli dengan wibu akut sepertinya? Masa aku menyukainya, sih? Haha, mustahil...'
Lelaki itu mengusap wajahnya gusar. 'Tapi, kalau aku tidak suka.... Kenapa aku begitu khawatir padanya? Ini aneh...'
TBC.