Agnia termenung, memandangi rintik hujan dari balik jendela rumah. Masih teringat jelas di pikiran tentang semua perkataan Ivan padanya.
Sejenak Agnia berpikir, apakah ia adalah ibu yang kejam? Seorang calon ibu yang membuat sang anak meninggal dunia? Pertanyaan tersebut terus terngiang-ngiang di kepala.
Agnia menutup mata sejenak. Berharap pikiran buruk segera pergi. Namun bayangan malam itu terus terlintas di dalam otaknya.
"Aku harus bagaimana Tuhan? Apa yang harus aku lakukan? Tunjukkan jalanmu," ujar Agnia dengan suara lirih.
Ivan tak kunjung pulang. Lagi lagi rasa resah selalu melanda. "Ke mana Mas Ivan biasanya pergi?"
Ada satu tempat yang biasa Ivan datangi. Agnia menuju ke sana sekarang. Semoga ia bisa menemukan sang suami agar bisa menyelesaikan masalah di antara mereka berdua. Ia tak ingin berlarut-larut dan semua bisa makin kacau.
Kini, sampailah Agnia di sebuah kedai kopi. Masuk ke dalam, tapi tak melihat Ivan. "Mungkin Mas Ivan pergi ke tempat lain."
Baru beberapa langkah keluar dari kedai kopi tadi, netranya menangkap sosok Ivan yang berjalan bersama seorang teman dengan sesekali tertawa. "Mas Ivan." Panggilan Agnia tak bisa didengar Ivan. Agnia mengikuti ke mana mereka pergi. Hingga sampailah di gang kecil.
"Gimana nasib istri lo nanti?" tanya teman Evan yang berkepala plontos.
Agnia mengurungkan niat untuk menghampiri mereka. Lebih penasaran apa yang sedang kedua pria tersebut bicarakan, terlebih ia mendengar namanya disebut.
Ivan mengangkat bahu. "Entah lah. Tuh wanita nggak guna juga. Udah miskin, eh keguguran pula."
"Lah hartanya yang dulu ke mana?"
"Ya ada sedikit kayaknya. Agnia keukeuh mau hidup mandiri tanpa bantuan keluarga. Padahal kan enak disokong keluarga, tinggal minta. Nggak usah repot-repot kerja."
"Gagal deh lo morotin harta si Agnia Agnia itu."
"Ya gitu deh. Makanya gue males pulang ke rumah. Nggak ada duit, nggak ada makanan enak. Apes-apes."
Si kepala plontos tertawa kecil. Ia menepuk pundak Ivan. "Sabar Bro. Setidaknya akan lo udah dapet keperawanan si Agnia."
"Yo'i."
"Eh, Bro, ngomong-ngomong si Agnia nggak tahu kan kalau lo cuma pura-pura cinta sama dia?"
Ivan menggeleng. "Ya enggak lah. Wanita bodoh macam Agnia mana paham. Bisanya cuma mewek doang." Keduanya pun tertawa.
"Terus rencana lo gimana? Lanjut atau bubar?"
"Bubar lah. Bentar lagi Agnia bakal gue ceraiin kok. Lagian gue juga udah punya mangsa baru. Mangsa yang ini jauh lebih unggul dibanding Agnia. Uangnya lebih banyak."
"Oiya? Kerja apa emangnya?"
"Punya pabrik percetakan buku tulis. Janda anak tiga."
"Tumben-tumbenan lo mau sama janda. Biasanya inceran lo kan yang masih gadis, perawan ting-ting."
"Bosen gue sama yang gadis mulu. Sekali-kali sama janda. Katanya janda lebih berpengalaman."
"Wih mantep. Panutan nih temen gue yang satu ini."
"Oh, jelas," jawab Ivan dengan rasa bangga. "Yuk lah kita ke tempat karaoke." Kedua orang tadi akhirnya pergi dengan rasa tawa.
Sementara Agnia mendengar semua di balik dinding. Ia tak mempercayai pendengarannya. "Jadi selama ini Mas Ivan ...."
Agnia menutup mulut agar tidak terdengar isakannya. Ia pergi dengan hati yang hancur berkeping-keping.
*****
Agnia tidak langsung pulang ke rumah. Ia pergi mengikuti langkah kakinya. Mengembuskan napas.
"Tuhan, kenapa nasibku seperti ini? Apa dengan mengambil anakku itu tidak cukup?"
Agnia berjalan ke arah danau yang ada di taman. Hari sudah gelap gulita. Tidak ada siapa pun di sekitar sana. Agnia berhenti beberapa langkah di depan danau. Ia melihat pantulan bulan. Malam ini langit tapak terang, berbeda sekali dengan sore tadi.
Langkah Agnia semakin mendekat. Tinggal selamgkah lagi dan .... seseorang menarik tangannya menjauh dari danau. Menoleh pada orang yang menghentikannya.
"Lepaskan tangan saya."
"Apa yang Anda lakukan? Anda mau mencoba bunuh diri?"
"Memangnya kenapa? Apa urusan Anda? Saya mau melakukan apa pun, itu hak saya!" Agnia tak terima dihentikan begitu saja.
"Memang, itu hak anda melakukan apa pun, tapi anda salah jika meakukannya di sini. Di tempat yang sering dikunjung oleh mereka yang ingin menghabiskan waktu bersama keluarga. Anda mau menodai tempat ini? Sebaiknya Anda lakukan di rumah."
"Baiklah kalau begitu."
"Tunggu," ujar wanita asing tersebut. "Saya tidak tahu masalah apa yang menimpa Anda hingga memutuskan untuk mengkhiri hidup, tapi yang pasti anda kalah. Anda kalah dalam permainan ini dan hal yang membuat Anda sampai seperti ini lah yang menang. Anda berakhir menjadi mayat, tapi dia tetap tertawa seperti biasa serta melanjutkana hidup. Bayangkan anda di alam baka, sementara dia dipenuhi oleh kebahagian." Kemudian wanita asing itu pergi.
*****
Agnia kembali ke rumah. Ia masih memikirkan kata-kata wanita asing di danau tadi. "Aku kalah, Mas Ivan menang. Aku menderita, Mas Ivan bahagia. Aku mati, Mas Ivan hidup bahagia dengan wanit lain. Aku meratapi nasib, Mas Ivan membuka lembaran baru. Aku kalah dalam hal apa pun." Agnia menatap foto pernikahannya.
Prank.
Bunyi pecahan kaca terdengar. Netranya menatap foto yang kini teronggok tak berguna di lantai. "Aku membencimu Mas Ivan! Sangat membencimu! Aku mencintaimu dengan tulus, tapi kamu malah mengkhianatiku. Memangnya apa salahku padamu? Selama ini aku berusaha menjadi istri yang baik. Apa itu semua masih kurang?" Agnia mengusap air matanya. Ia ke depan, mengecek apa Ivan sudah pulang. "Untuk apa dia pulang? Tidak ada artinya berada di sini."
Beberapa menit kemudian Ivan masuk ke dalam rumah. Ia melihat Agnia yang menatap tembok dengan pandangan kosong. Melihat hal itu, Ivan merinding. "Wanita ini memang sudah gila," gumamnya.
"Kenapa baru pulang Mas Ivan?" tanya Agnia saat Ivan akan melewatinya.
Ivan memejamkan mata. Enggan rasanya menjawab pertanyaan Agnia. "Iya. Mas ingin mengambil barang-barang."
"Untuk apa? Mas ingin pergi lagi? Berapa lama Mas Ivan akan pergi?" Agnia membalikkan badan, menatap datar sang suami. "Biar aku memberi saran Mas. Daripada Mas Ivan pulang pergi, lebih baik Mas Ivan pergi saja. Pergi yang jauh hingga kita tidak bisa bertemu lagi.
Ivan menaikkan alisnya. "Apa maksudmu Agnia? Jadi, kamu mengusir Mas dari sini?" Amarah dalam diri Ivan berkobar.
"Bukannya Mas sering pergi tanpa kabar? Jadi sekalian saja pergi untuk selama-lamanya."
Ivan melangkah dan mencengkeram lengan Agnia. "Jadi kamu mau aku mati? Begitu?"
"Aku tidak bilang begitu. Mas yang bilang."
"Kenapa kamu tiba-tiba berubah? Oh, Mas tahu, gara-gara anak kita yang meninggal kan? Kamu mau nyalahin Mas? Padahal kamu yang salah atau kamu sudah gila karena ditinggal mati anak kita?"
PLAK
Tamparan keras mendarat di pipi Ivan. Sontak pria itu melepaskan cengkeramannya. Ivan murka dan hendak menampar balik Agnia, tapi tidak jadi.
"Kenapa diam? Ayo tampar aku Mas? Jika Mas menamparku, Mas hanya seorang pecundang."
"AGNIA!"
"APA?! Daripada Mas di sini, lebih baik pergi. Tidak ada bedanya Mas ada di rumah atau tidak!"
"Baik, jika itu maumu. Mas akan pergi dari hidupmu. Tapi ingat Agnia, jangan sampai kamu memohon-mohon untuk kembali padaku!"
Agnia tertawa. "Oh ya? Kita lihat, siapa yang akan memohon ke siapa!"
"Sialan!"