Tak terasa Agnia sdah bekerja selama dua minggu. Selama itu pula tidak ada hal yang membuatnya merasa kesulitan. Sepertinya keberuntungna mulai berpihak pada Agnia.
"Dulu sewaktu sama Mas Ivan aku selalu saja kesusahan dan sedih. Sekarang hidupku jauh lebih tenang." Agnia bersyukur untuk hidupnya yang baru.
"Agnia" Seorang pegawai wanita menghampiri. "Tolong antarkan pesanan ke ruangan vip ya. Perutku rasanya mules. Sepertinya aku diare." Ia memegangi daerah perut. "Tolong ya, Agnia."
"Iya."
"Oiya, aku lupa mau mau ngasih tahu. Pelanggan di ruangan vip itu orang penting. Jaga kelakuanmu dan jangan buat beliau tidak nyaman atau kita akan terkena masalah nanti."
Agnia mengangguk. "Iya, aku paham."
"Ya sudah kalau gitu aku pergi dulu." Wanita tadi pergi dengan terburu-buru.
Agnia mengembuskan napas. Ia mengambil pesanan dan menuju ruangan vip. Ada sekitar lima ruangan vip di restoran tersebut dan itu letaknya di lantai dua. KIni Agnia telah sampai. Diketuk lah pintu yang ada di depannya.
Tok tok tok.
Beberapa saat kemudian terdengar suara dari dalam. "Masuk!"
Agnia masuk. Jujur saja ia merasa cukup grogi berhadapan dengan orang yang katanya penting.
Agnia sebisa mungkin menutupi rasa groginya. "Silakan dinikmati Tuan-tuan." Ia tersenyum ke arah keduanya. "Kalau begitu, saya permisi dulu."
"Tunggu." Salah-satu pria yang Agnia perkiraan berusia setengah abad itu menahannya. Dia juga memegang pergelangan tangan Agnia.
Merasa risih Agnia mencoba melepaskan. Untungnya si pria mau melepaskan. "Ada apa ya Pak?" Berusaha untuk bersikap profesional di tengah perasaan risih dan juga tak enak.
Bagaimana tidak, pria paruh baya tersebut sedari tadi terus menatapnya seolah-olah Agnia adalah sebuah mangsa kecil nan lemah yang kapan saja bisa diterkam.
"Temani kami di sini sebentar saja. Aku akan memberimu uang tips lebih nanti. Ayo duduk di sini." Ia menepuk tempat di sebelahnya yang kosong.
"Tapi Pak sa---"
"Apa kamu mau mengecewakan pelanggan vip? Aku rasa kamu akan mendapat masalah Nona." Jelas sekali dari perkataan si pria setengah abad itu merupakan ancaman dan Agnia tak bisa berbuat apa pun selain duduk diam dan berdoa tidak terjadi apa-apa padanya. Karena sepertinya ia tahu niat si pria. Semoga saja perasaannya salah.
"Saya permisi ke tolet sebentar," ujar pria yang satunya, yang berumur lebih muda. Agnia rasa pria tersebut hanya tua beberapa tahun di atasnya.
"Oh silakan Pak Dirga. Saya akan menunggu di sini."
Perasaan Agnia semakin waswas tatkala mereka benar-benar hanya berdua saja. Sebisa mungkin ia tak menatap ke samping. Terllau horor jika dilihat.
"Ekhem." Pria tadi berdehem. "Siapa namamu cantik? Sepertinya kamu pegawai baru di sini. Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya."
"Saya memang pegawai baru. Baru beberapa minggu di sini."
"Oh, pantes. Ternyata pegawai baru toh." Ia mengangguk. "Namaku Prapta. Siapa namamu Cantik?"
"Agnia."
"Agnia. Namanya yang cantik, secantik orangnya." Prapta tersnyum lebar. Ia memegang sekilas dagu Agnia. "Sebaiknya kita bicara santai saja pakai aku-kamu biar terkesan lebih dekat." Dengan perlahan, tapi pasti, Prapta merangkul pundak Agnia. "Nanti malam kamu ada acara? Kalau nggak, aku mau ajak kamu jalan-jalan. Kita shopping sepuasnya. Bagaimana?" Prapta sengaja mengeluarkan beberapa kartu agar Agnia terpancing untuk menerima.
Agnia melepas tangan Prapta dari pundaknya. Ia menjawab, "Maaf, saya ada banyak urusan. Saya tidak bisa."
"Begitu ya." Wajah Prapta sengaja dibuat sesedih dan sekecewa mungkin. "Padahal kalau kita shopping, kamu bisa beli perhiasan seperti emas dan berlian. Yakin menolak nih?"
"Iya, Pak. Saya yakin. Mungkin Bapak bisa mengajak yag lain untuk pergi bersama."
"Tapi saya cuma maunya sama kamu saja. Itu masalahnya." Tangan Prapta kembali beraksi. Kini bukan di pundak, melainkan berpindah ke paha. Ia juga mengelus lembut.
Agnia merasa merinding dan sangat kaget dengan perlakuan kurang ajar Prapta padanya. Sponta wanita tersebut berdiri.
"Maaf Pak. Saya memang hanya pegawai baru di sini, tapi bukan berarti Bapak bisa menyentuh saya seenaknya." Agnia berkata tegas. Tak ingin Prapta bertindak lebih jauh lagi.
Prapta ikut berdiri. Ia cukup tersinggung dengan perkataan terus terang Agnia. Selama ini tidak ada yang pernah berani padanya, terlebih pelayan.
"Hei, tenang Agnia. Saya hanya menyentuh paha kamu. Jangan bertingkah seolah-olah wanita suci. Saya yakin kamu pernah disentuh oleh pria lain kan? Mengaku saja."
"Saya bukan seperti yang Anda kira dan tolong enyahkan pikiran kotor itu di pikiran Anda."
"Ayolah Agnia, jangan jual mahal seperti itu. Aku tahu kamu hanya mengetes saja kan? Seorang Prapta sangat hapal dengan wanita modelan begitu. Lagi pula kita hanya berdua di sini. KIta bisa bebas melakukan apa pun. Pak DIrga juga belum kembali. Jadi, ayo lakukan sebelum dia kembali." Prapta tersenyum penuh arti. Ia mendekat ke arah Agnia.
Tanpa pria itu duga, Agnia justru membalas dengan menyiramkan jus ke Prapta. "Anda jangan kurang ajar ya! Saya di sini bekerja bukan mau obral diri!" Agnia menatap sengit.
Untuk sejenak Prapta terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Belum pernah ada seorang pun yang menyiramkan jus ke wajahnya, apalagi itu adalah seorang wanita yang bahkan levelnya jauh di bawah.
Dengan kasar Prapta mengusap wajahnya. Beralih menatap tajam Agnia. Ia melakukan serangan balik dengan mencekik. "Wanita kurang ajar! Berani-beraninya kamu berlaku kasar padaku! Ingat kelasmu. Kamu hanya pelayan yang bahkan bisa aku beli!"
Agnia memegangi tangan Prapta yang mencekik lehernya. "Jika ss-saya wanita kelas bawah, llau kk-kenapa Anda mau menggoda ss-saya? Jadi, siapa yang rendah di sini, Pak Prapta?"
Cengkeraman di leher Agnia semakin menguat. Wanita itu mulai kesusahan bernapas dan terbatuk-batuk. "Wanita rendah sepertimu memang pantas mati!"
BUGH!
Sebuah pukulan diterima Prapta dari arah samping. Ia yang kaget akhirya melepaskan cengkeramannya dan melihat siapa orang yang berani menghajarnya. "Pak Dirga. Kenapa Anda memukul saya?"
"Sudah tahu jawabannya dan masih bertanya? Anda tadi hendak melakukan percobaan pembunuhan kepada seorang wanita. Seharusnya Anda malu dengan umur yang sudah tua."
"Kurang ajar!" Prapta tak terima dihina. Ia melayangkan tinju, tapi berhasil ditahan oleh Dirga.
Keduanya cekcok dan beradu fisik. Prapta melontarkan kata-kata kasar nan kotornya untuk Dirga dan Agnia. Sementara Agnia tidak tahu harus berbuat apa. Kepala sangat pusing.
Namun sekuat tenaga ia mencoba menuju pintu guna mencari pertolongan. Beruntung ia langsung bertemu dengan orang prang pegawai pria yang sedang lewat.
"Tolong. Ada dua orang sedang berkelahi." Mereka kaget dan segera masuk untuk melerai. Agnia masuk ke dalam rungan. Setiap langkah membuat rasa pusing semakin menjadi-jadi ditambah dengan rasa sakit bekas cekikan Prapta. Akhirnya Agnia tak kuat dan berakhir pingsan.