Hujan deras mengguyur, membasahi sebagian kecil bumi. Di sebuah rumah sederhana tampak Agnia yang mondar-mandir dengan perasaan cemas.
Sang suami tak kunjung kembali sementara hujan masih saja turun dari sore hingga malam menjelang.
"Duh, ke mana ya Mas Ivan? Jangan-jangan dia nggak bisa pulang karena terjebak hujan. Apa dia sudah makan? Tapi Mas Ivan nggak membawa dompet tadi." Agnia merasa bimbang antara harus menyusul Ivan atau tidak. Semakin lama, rasa khawatir kian meninggi.
Tanpa pikir panjang lagi Agnia mengambil payung lalu keluar rumah. Jalanan menjadi licin dan banyak genangan airnya. Ia harus extra waspada jika tak ingin terjadi sesuatu pada bayinya.
Angin dingin berembus, menembus pakaian panjang yang dikenakannya. Udara dingin membuat badannya menggigil dan sedikit pusing. Matanya berkunang-kunang.
Semakin lama rasa pusing tersebut menjadi-jadi. Terlalu terfokus pada rasa sakit, Agnia tak sadar kalau jalannya terburu-buru. Hal itu yang menyebabkan diirnya terpeleset kemudian jatuh tersungkur.
"Akhhh." Rasa nyeri yang hebat terasa di bagian perut. "K-kenapa sakit sekali. Semoga tidak terjadi sesutu pada bayiku." Hendak berdiri, tapi tubuhnya tak kuat dan akhirnya jatuh terduudk. Agnia mulai menangis. Bukan karena rasa sakit tersebut, takut jika anaknya kenapa-napa. "Tt-tolong. Siapa saja tt-tolong ss-saya."
Tak jauh dari tempat Agnia, ada Ratna yang melihat. Ia terkejut. "Agnia." Segera turun dari mobil dan membantu Agnia. "Agnia, kamu kenapa Nak?"
Dengan berat Agnia membuka mata. "Bb-bu Rr-ratna ... tolong ss-selamatkan bayi ss-saya." Pada akhirnya ia menutup mata.
"Pak. Tolong bantu kami." Ratna meminta sang sopir memasukkan Agnia ke dalam mobil.
*****
Kedua mata Agnia terbuka secara perlahan. Sempat merasa silau oleh cahaya yang masuk ke mata. Menutup mata sejenak sampai akhirnya membuka kembali. Rasa pusing dan sakit dirasakaannya.
"Aku, ada di mana ini?" Melihat sekeliling. Ia berada di rumah sakit. "Kenapa aku ada di sini?" Satu persatu kilasan memori mulai masuk ke dalam otak Agnia. Ia membulatkan mata. "Bayiku." Tangannya menyentuh perut yang kini rata.
Deg.
Perasaan tak enak menggerogoti hati serta pikiran. "D-di mana bayiku?' Tangan yang berada di bagian perut gemetar. "Apa bayiku tidak selamat?" Air mata kesedihan menetes di wajah lelah Agnia.
Ceklek.
Pintu terbuka. Ternyata Ratna yang membuka. "Nak Agnia." Segera dihampiri wanita yang berada di ranjang rumah sakit. "Bagaimana keadaan Nak Agnia? Sebentar ya, saya pangggilkan dokter."
"Tunggu Bu Ratna." Agnia mencekal lengan Ratna. "Bb-bayi saya, dd-dimana bayi saya? Dia ... selamat kan?" Dengan suara lirih serta terbata-bata Agnia bertanya.
Seketika raut kesedihan tergambar jelas di wajah Ratna. Ia menatap Agnia. Jelas sekali bila Agnia ingin mendapat jawaban bahwa bayinya baik-baik saja. Namun kenyataan berkata lain.
"Maaf, Nak. Bayimu ... tidak selamat."
Seketika tangan Agnia melepas tangan Ratna. Ia menggeleng kuat. Air mata kembali menetes, kali ini semakin banyak.
"Bu Ratna pasti bohong kan? Bayi saya pasti baik-baik saja. Mungkin sedang dalam perawatan. Iya, kan? Di mana ruangan bayi saya? Ayo kita lihat."
Ratna menahan tubuh Agnia agar tidak bangun. Melihat respon Agnia, ia jadi ikut menangis. Ratna segera menghapus air matanya. Ia tak boleh sedih. Bagaimana cara menghibur Agnia kalau ia ikutan bersedih.
"Nak Agnia, dengarka Ibu. Anakmu ... Anakmu memang tidak selamat, Nak."
Agnia menggeleng kembali. "Tidak! Ibu jangan bohong!" Pandangannya mengabur. Kepalanya mendadak begitu pusing. sayup-sayup mendengar suara Ratna yang memanggil namanya sebelum kedua mata tersebut kembali menutup.
*****
Beberapa hari telah berlalu sejak kabar duka tersebut. Kabut kesedian masih begitu pekat mengelilingi jiwa dan pikiran Agnia.
Dielusnya salah-satu pakaian untuk calon anaknya yang ia rajut sendiri. Air mata kembali meleleh. Tangannya bergetar, mengusap sebuah nama yang tertera di pakaian tersebut.
"Adelia, kenapa kamu pergi begitu cepat Nak? Ibu mau peluk, gendong, dan membesarkan kamu layaknya orang tua pada umumnya." Dengan penuh kasih sayang Agnia mencium benda itu.
Ratna yang berada di samping Agnia bisa merasakan kesedihan mantan calon ibu itu. Mengusap-usap pundak Agnia. "Sudah, Nak Agnia. Saya tahu sangat berat bagi kamu untuk melepas Adelia, tapi kamu harus kuat. Adelia pasti merasa sedih melihat ibunya seperti ini."
Agnia menatap Ratna. "Kenapa Adelia yang harus menanggung kecerobohan saya, Bu? Dia bahkan belum sempat melihat dunia, tapi Tuhan malah mengambilnya." Agna terisak sambil memeluk pakaian anaknya.
Ratna memmeluk Agnia. "Jangan salahkan dirimu, Nak. Semua yang terjadi itu sudah takdir. Ikhlaskan Adelia dan kuatkan dirimu.'
Agnia membelas pelukan Ratna. "Apa saya bukan calon ibu yang baik sehingga Tuhan mengambilnya? Saya sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik bagi Adelia, tapi kenapa Tuhan tidak adil pada saya?"
"Saya sudah bilang, jangan salahkan dirimu atau pun Tuhan Nak. Tuhan pasti merencanakan hal yang baik di masa mendatang. Percaya saja. Harus kuat ya."
"Saya rasanya tidak tahu harus berbuat apa, Bu Ratna."
"Menangis lah Nak. Menangis sepuasnya untuk kali ini saja." Mendengar perkataan Ratna entah kenapa mmebuat AGnia semakin menangis.
*****
Semenjak kehilangan anaknya, Agnia seakan enggan melakukan apa pun. Ia merasa jika separuh hidupnya ikut terbawa.
Sering kali ia melamun kemudian menangisi hidupnya. Benar apa kata orang. Kehilangan anak merupakan pukulan terbesar. Agnia kembali menangis.
Sedangkan di depan pintu terdaat Ratna yang mmebawakan makanan. Ia berdiri dari beberapa menit yang llau. Memanggl Agnia, tapi wanita tersebut tak kunjung datang. Merasa waswas, Ratna masuk.
Benar saja, Agnia sedang menangis di sofa. "Jangan menangis Nak."
"Bagaimana caranya Bu Ratna? Setiap detik rasanya saya ingin menangis."
"Saya tahu perasaan kamu, tapi hidup harus terus berjalan." Ratna mencoba menguatkan. "Ini saya bawakan makanan. Dimakan ya."
Agnia meliirk ke sebuah kantong keresek yang diletakkan di atas meja. "Kenapa Bu Ratna repot-repot?"
"Saya meraa tidak direpotkan kok. Saya senang bisa membantu."
Agnia tersenyum haru. "Terima kasih atas kepedulian Ibu pada Saya."
"Jangan merasa sungkan. Ibu sudah menganggap kamu sebagai anak sendiri. Yuk kita makan. Keburu dingin nanti makanannya."
"Ibu duluan saja. Saya belum lapar."
"Heh, jangan begitu. Telat makan tidak baik bagi kesehatan. Ayo makan. Kita makan sama-sama."
Merasa tak enak hati bila harus menolak, Agnia mengangguk setuju. Dua orang tadi kini menata makanan. "Oiya, Nak Agnia, suamimu kok nggak kelihatan?"
Agnia terdiam. Tangan yang memegang sendok kini diletakkan. Semenjak pertengkaran mereka waktu itu, Agnia belum melihat batang hidung Ivan. Bahkan disaat ia di rumah sakit atau di pemakaman.
Agnia baru sadar jika Ivan pergi tanpa kabar selah menghilang di telan bumi. Terlalu fokus pada rasa duka hingga melupakan sang suami.
"Saya ... tidak tahu."