"Agnia, di mana makananku?" Ivan baru saja bangun tidur. la merasa lapar karena belum sempat makan tadi malam. Namun, Saat membuka tudung saji tidak ada apa pun. Ivan mulai tersulut emosi dan melempar benda tadi dengan keras. "Pagi bukannya masak malah hilang entah ke mana." Ivan mencari-cari Agnia. "AGNIA! KE MANA KAMU? AGNIA!" Suara Ivan memenuhi penjuru rumah.
Sementara Agnia baru saja pulang. Mendengar suara keras sang suami, wanita tersebut segera menghampiri dengan tergesa-gesa.
"Iya, Mas. Mas lvan butuh sesuatu?"
"Dari mana saja kama? Pagi-Pagi bukannya di rumah malah Kelayapan!" Suara ketus dan riak muka marah tergambar jelas.
"Maaf, Mas. Tadi aku habis bantuin masak Bu Ratna. Beliau dapat pesanan banyak. Jadi---"
"Alah, alasan! Aku nggak butuh penjelasan kamu! Sekarang Pergi beli makanan. Aku lapar !"
"Ini mas, aku udah bawain nasi uduk buat Mas Ivan." Agnia menyodorkan sebungkus nasi uduk.
Dengan cepat Ivan menyambar pemberian sang istri. "Nah gini dari tadi." Tanpa berkata-kata apa pun lvan pergi.
Agnia mengembuskan napas lelah. Lelah melihat kelakuan Ivan yang setiap hari selalu marah-marah. Ia mengelus perutnya yang membuncit (karena mengandung).
"Kamu jangan. sedih ya Sayang. Ayah kamu cuma lapar tadi bawaannya emosi. Nanti kalau ayah udah kenyang. Pasti dia nggak marah-marah lagi kok."
Agnia berusaha menghibur calon anaknya dan dirinya sendiri. Bohong kalau ia tidak merasa sedih. Namun, di keadaan seperti ini tak baik untuk berpikir buruk. Agnia mengusap air mata yang sempat menetes.
"Jangan menangis Agnia. Kamu kuat! Ingat, jangan banyak pikiran. Kamu sedang hamil." Berusaha mensugesti diri sendiri. Berharap pikiran-pikiran negatif lenyap dari pikirannya. Ia tersenyum kecil sebelum masuk ke dalam rumah. Dilihatnya Ivan lahap memakan nasi uduk tadi.
"Syukurlah Mas Ivan suka. Kalau nggak, dia pasti akan marah-marah lagi," gumam Agnia. Ia bergegas pergi dan segera membereskan rumah.
Banyak pekerjaan yang menunggunya. Ia tak boleh menyerah. Harus tetap semangat demi calon bayi dan untuk kehidupan lebih layak dari sekarang. Kalau ditanya, apa tidak lelah? Pasti lelah. Apalagi tengah mengandung.
Namun, himpitan ekonomi memaksa Agnia bekerja lebih keras dalam keadaan hamil sekali pun. Ia selalu berdoa semoga bayinya sehat selalu.
*****
Menyapu dan mencuci baju sudah selesai Agnia lakukan. Pinggangnya terasa nyeri. Ia duduk sejenak sambil memijat bagian yang sakit. Setelah dirasa lebih baik, wanita tadi masuk ke dalam rumah.
Agnia melihat sang suami yang masih menonton tv setelah sarapan. "Mas, hari ini tidak bekerja?" tanyanya dengan hati-hati. Topik pekerjaan menjadi sensitif bagi Ivan dikarenakan pria itu belum juga bekerja setelah berhenti dari pekerjaannya yang lama (kuli bangunan).
"Kenapa? Nggak suka aku ada di rumah?" Mood Ivan menjadi buruk setelah mendapat pertanyaan tersebut.
"Maaf kalau aku menyakiti perasaan Mas Ivan. Cuma mau nanya aja. Siapa tahu Mas Ivan udah dapet kerja."
"Kalau udah dapet, pasti kerja lah. Kalau masih leyeh-leyeh begini ya artinya belum bekerja. Sudah sana pergi! Orang mau nonton tv malah diganggu." Ivan mengibas-ngibaskan tangannya ke udara.
"Permisi." Mereka berdua mendengar suara seseorang dari arah depan. Agnia meliirk Ivan yang sama sekali tak beranjak dari sofa. Menengok pun tidak. Seperti tak mendengar suara apa pun.
"Iya sebentar." Agnia ke depan dan melihat seorang pria yang membawa rumput pesanan Agnia.
Agnia memiliki dua ekor kambing. Biasanya ia yang mencari rumput, tapi karena kondisinya yang kurang sehat ia terpaksa harus membeli rumput dari tetangga. Bukannya apa-apa, hanya sayang uang yang harus diberikan. Ia bisa mencari rumput secara gratis sendiri.
"Ini pesanannya Neng."
"Iya Pak." Mengambil uang dari saku. "Ini Pak uangnya. Terima kasih ya."
"Iya, sama-sama Neng. Lain kali kalau mau dicarikan rumput, biar saya saja."
Agnia tersenyum kecil. "Iya." Tetangganya yang satu ini memang sering mendapat pesanan rumput atau pun jerami. Kualitasnya pun tergolong bagus dengan harga yang bisa dijangkau. Selain itu, orangnya juga ramah.
Pria tadi melihat ke dalam rumah di mana Ivan tengah asyik menonton tv sambil memakan kripik. Agnia melihat arah pandang tetangganya. "Kalau gitu saya masuk dulu Pak."
Pria tadi segera mengalihkan pandangannya. Segera tersadar bahwa ia terlalu fokus melihat Ivan. "Iya Neng. Kalau gitu saya pamit pergi."
"Iya, Pak."
Pria tadi berjalan pergi sambil bergumam. "Neng Agnia malang sekali nasibnya menikah dengan pria pemalas seperti Ivan. Mana sekarang sedang hamil. Mau diberi makan apa itu anak istrinya? Yah, semoga saja si Ivan cepat sadar."
Bukan rahasia lagi jika Ivan terkenal bermasalah. Pria itu gemas bermain judi dan malas bekerja. Tahu dari mana? Hampir setiap hari Ivan nongkrong di warung kopi selama berjam-jam.
Sementara di lain sisi, Agnia cukup terkejut melihat Ivan yang berada di belakangnya saat membalikkan badan. "Mas Ivan ngagetin aja."
"Pesen rumput ya tadi?"
"Iya. Memangnya kenapa Mas?"
"Nggak apa-apa. Cuma nanya," jawab Ivan. "Sini Mas bawakan. Pasti berat kalau kamu yang ngangkat sendiri. Apalagi sedang hamil." Ivan menyentuh perut Agnia sambil tersenyum simpul.
Tanpa menunggu jawaban dari Agnia, Ivan membawa rumput pesanan dan membawanya ke belakang diikuti oleh Agnia. Agnia senang dengan sikap sang suami. Jarang-jarang Ivan bersikap seperti tadi. Agnia menatap perutnya.
"Apa ibu bilang. Ayah sayang kok sama kita." Tidak ingin sang suami bekerja sendiri, Agnia membantu memberi makan kambing-kambing tersebut.
"Agnia, ada yang Mas mau omongin."
"Ngomong aja Mas. Mau ngomong apa?"
"Mas berencana mau menjual salah-satu kambing kita."
Perkataan Ivan membuat Agnia terkejut. "Kenapa Mas? Memangnya ada kebutuhan mendesak apa?"
"Ya buat makan kita sehari-hari. Mas belum mendapat pekerjaan dan kamu yang lagi hamil. Nggak mungkin Mas membiarkan kamu bekerja terlalu keras. Nanti kalau bayi kita kenapa-napa gimana?"
Agni merasa tersentuh mendengar perkataan Ivan. Ia memikirkan ulang. Benar juga apa kata Ivan. Mereka butuh uang. Sementara pemasukan tidak menentu. Ya meski di satu sisi merasa berat. Rencana dua kambing itu akan dijual untuk biaya melahirkan dan keperluan anak mereka nanti.
"Ya sudah kalau seperti itu. Aku ikut aja."
*****
Agnia terkejut melihat yang ada di depan matanya. Banya barang belanjaan, snack, dan juga makanan seperti gurame goreng, lele goreng, bebek bakar. Ia yang baru saja pulang dari rumah Ratna jelas tak tahu menahu soal makanan dan baju-baju tersebut. "Sudah pulang Agni."
Wanita tadi menoleh ke sumber suara. Ia memasang raut wajah bingung. "Mas, kok di rumah kita ada banyak makanan enak dan baju-baju baru? Dikasih siapa?"
"Beli lah masa dikasih orang." Ivan duudk dan mengambil salah-satu pakaian. Melihatya dengan senyuman. "Gimana di badannya Mas? Bagus kan?"
"Mas dapat dari mana uangnya?" Agnia bertanya dan menghiraukan pertanyaan Ivan. Rasa penasarannya lebih besar ketimbang pertanyaan sang suami.
"Oh, itu. Kan kemarin kita jual salah-satu kambing kita. Jadi, ya, uangnya dari hasil penjualan itu."
Agnia mmebulatkan mata. "Apa? Mas, katanya uangnya dipakai untuk kebutuhan kita?"
"Ya, memang. Makan dan bahan sandang kan juga kebutuhan."
"Tapi Mas, makanan dan baju yang mas beli ini kebanyakan dan harganya juga tergolng cukup mahal. Apa tidak lebih baik kita mmebeli lauk pauk seperti biasa dan pakaian Mas juga masih bagus-bagus di lemari."
Ivan mendengkus. 'Mas bosan makan tahu, tempe, sayur bayam, sambel. Sekali-kali Mas ingin makan enak. Lagi pula hidup itu hanya sekali Agnia. NIkmati saja."
"Tapi ini kebanyakan."
Ivan membanti pakaian yang dibawanya tadi. "Alah! BIlang aja kamu ngga rela uangnya dipakai untuk nyennegin suami!"
"B-bukan begitu Mas Ivan, tapi kan---"
"Stop, stop! Ngomong sama kamu emang nggak ada gunanya!" Dengan keadaan marah, Ivan pergi dari rumah.