Chereads / Kangen - Ku Akan Datang / Chapter 6 - Kangen - Ku Akan Datang (Bag. 6)

Chapter 6 - Kangen - Ku Akan Datang (Bag. 6)

Prayoga memperbaiki posisi berdiri. Kedua kaki dijejak-jejakkan agar pijakannya kuat. Kepala didongakkan. Ia melihat sebuah sela di dinding tebing sebelah atas. Lalu satu kaki dinaikkan sebagai pijakan. Dengan tarikan napas dalam-dalam,Prayoga langsung mengangkat tubuh.

"Ooops!"

Desah napas yang ditahan itu menguar saat tangan yang menggapai ke atas berhasil meraih sebuah sela di dinding tebing itu. Bagai lepas dari sebuah beban berat, Prayoga mengembuskan napas kencang sambil satu tangan yang lain dengan cepat masuk ke dalam kantung.

Sebuah piton kembali diambil dan ditancapkan ke sela tebing. Sambil terus berpegangan, tangan Prayoga yang lain mengambil hammer dan memakukan piton keras-keras agar kencang tertancap. Hammer kemudian dimasukkan dan sebuah deskender diambil. Dengan tetap merapatkan tubuh ke dinding tebing, ia mengaitkan deskender itu ke piton. Kini, karamantel ditarik dan diselipkan ke sela deskender.

Sret ... sret ...!

Karamantel pun ditarik kencang untuk memastikan telah terpasang aman. Prayoga kembali mendongak dan melihat ke bawah. Rangga dan Bisma semakin terlihat kecil. Lelah semakin terasa, terutama di bahu dan leher. Punggungnya yang tidak tertutup pakaian, seakan terbakar oleh panas matahari.

"Rangga, monitor? Rangga, monitor?"

Prayoga berhenti sesaat dan memanggil melalui melalui sambungan suara. Sambil bergantungan di dinding tebing dengan ditahan karamantel, ia menyeka keringat yang membasahi wajah. Hari yang semakin tinggi, semakin menaikkan suhu di sekitar Shiprock. Sungguh, survey lokasi pemanjatan kali ini di tebing Shiprock, telah menjadi pengalaman yang luar biasa bagi Prayoga.

"Monitor, Bang! Monitor! Ganti!"

Tiba-tiba terdengar suara Rangga yang bergegas menjawab dari ujung sambungan suara. Prayoga yang sedang memerhatikan dinding tebing karang Shiprock, tersentak kaget. Dengan bergelantungan di karamantel, ia memperbaiki helm agar corong suara berada di depan mulut. Lalu, satu tangan terjulur ke dinding tebing untuk berpegangan.

"Ini aku lanjutin aja, ya. Gila, cuacanya ekstrim banget gini! Panasnya luar biasa!"

Prayoga berkata sambil memandangi kulit tangan yang memegangi dinding tebing, yang basah berkeringat. Didongakkan kepala melihat atas tebing yang berbayang karena terik matahari.

Lalu katanya kemudian, "Aku terusin aja ini sampe ke puncak. Kalo gak nyampe, anggap ini cuma survey. Besok aku ulangi, langsung manjat untuk eksebisinya sekalian."

"Artinya sekarang gak jadi turun pakai wing suit ya, Bang?"

Terdengar suara Bisma yang ikut bicara. Kedua orang itu bergantian berkomunikasi dengan Prayoga.

"Liat ini dulu, Bisma. Kalo ini nyampe, ini akan aku anggap sebagai eksebisi. Artinya, turun pake wing suit-nya aku batalin aja. Gak nyangka kalo cuaca seekstrim gini lho!" jawab Prayoga kemudian.

Dari ujung sambungan suara, Bisma mengikuti keputusan Prayoga. Dikatakannya, asalkan pemanjatan berjalan dengan selamat dan mereka semua dapat kembali ke Indonesia, itu sudah cukup baik. Memang tim pemanjatan itu tidak menyangka akan cuaca ekstrim dan medan berbahaya yang dihadapi. Yang dilakukan Prayoga sekarang adalah keputusan untuk menyiasati kondisi yang tidak seperti mereka harapkan.

"Aku lanjut lagi, Bisma-Rangga!"

Prayoga pun kembali menghimpun tenaga dan fokus untuk melanjutkan pemanjatan. Teriknya udara saat berada di dinding tebing Shiprock, tidak menghentikan usahanya untuk menaklukkan dan mencapai puncak.

---

"Nyampe Rangga-Bisma! Aku udah nyampe di puncak. Sekarang sedang memperbaiki karamantel agar tidak terbelit di bawah."

Dari atas tebing Shiprock, Prayoga langsung menghubungi tim ofisialnya. Kini ia dapat melihat seluruh kawasan perbukitan kering San Juan, New Mexco. Seperti yang telah dibicarakan dengan Bisma, kalau pemanjatan itu berjalan dengan baik dan sampai di puncak maka akan dimasukkan sebagai eksebisi. Beruntung semua hambatan teratasi dan ia telah mencapai puncak tebing karang Shiprock dengan selamat.

Prayoga menikmati pemandangan dari puncak tebing Shiprock sambil melepas lelah. Dalam perjalanan turun nanti, Prayoga mengatakan ke tim ofisial, akan bisa lebih santai. Sebenarnya menurut rencana, ia akan turun dengan menggunakan wing suit tetapi jalur pemanjatan yang ekstrim itutidak memungkinkan tenaganya untuk menggunakan perlengkapan itu saat naik tadi. Setelah tiba di puncak, Prayoga pun memutuskan untuk menggunakan momen survey pemanjatan itu yang dicatat dalam track record-nya, seperti dalam pembicaraan terakhir dengan Bisma dan Rangga.

Tebing-tebing lain dan bukit yang telah menjadi padang pasir, membuat kawasan ini terlihat mengerikan. Teriknya udara membuat tebing dan bukit di kejauhan itu berbayang-bayang. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Prayoga mengabadikan pemandangan dari atas tebing Shiprock dengan kamera di helm-nya. Saat sedang memotret, tiba-tiba Rangga memanggil melalui sambungan suara.

"Bang Yoga, monitor! Bang Yoga, monitor!"

"Ya, Rangga. Monitor, Rangga," jawab Prayoga cepat.

"Dari radio, pengawas cuaca New Mexico mengabarkan akan ada badai tornado di kawasan San Juan, Bang. Angin bergerak cepat dari arah Barat Laut. Dalam waktu singkat katanya, angin yang berpotensi jadi tornado itu akan mencapai Shiprock!"

Suara Rangga yang terdengar seperti berteriak itu, menyiratkan kecemasan yang luar biasa. Prayoga meluaskan pandang ke segala penjuru. Matanya mengawasi langit di kejauhan. Terlihat awan yang menggumpal, bergulung-gulung di sebelah Barat. Dari awan telah keluar pusaran angin kecil yang terjulur hingga ke tanah. Pusaran angin itu bergerak cepat dan berubah besar. Menghisap semua yang dilewati. Pohon, batu dan apa saja yang dilewatinya, tertarik dan ikut tergulung di dalam pusaran angin itu. Mendengar suara bergemuruh dari kejauhan itu, Prayoga tercekat. Ia berdiri diam menatap.

"Wah, iya benar. Ada pergerakan awan di sebelah Barat, Rangga. Dari awan itu keluar tornado. Aku gak bisa turun cepat, sebelum awannya sampe di sini!"

Kini giliran Prayoga yang berubah panik. Ia tidak tahu harus berbuat apa, kecuali hanya menatap gumpalan awan yang datang itu. Sejenak ia terdiam menatap kejauhan.

"Trus, gimana Abang di atas sana?" tanya Rangga dengan suara cemas.

Prayoga mendongak ke langit. Hanya dalam sesaat, cuaca cepat sekali berubah. Langit pun berubah gelap. Angin berembus menjadi lebih kencang.

---

Bersambung