Chereads / Dendam Anak Pungut / Chapter 4 - Bab 4 Gavriel Berulah

Chapter 4 - Bab 4 Gavriel Berulah

Mama berlalu begitu saja, diikuti dengan keluarga Om Pras. Papa membeli tiket untuk dua keluarga. Mereka memilih untuk bermain di kolam renang anak, agar tak susah menjaganya. Apalagi takut nantinya diantara kami ada yang tenggelam jika memilih area dewasa.

Gavriel, Viola dan juga aku berganti pakaian yang sudah papa sewa tadi. Gavriel dibantu oleh Mama, begitu pula dengam Viola yang dibantu mommynya. Sejak tadi dia tak berbicara sedikit pun, dia benar-benar anak yang pemalu.

"Kamu harus jaga Gavriel dan Viola ya, Jo. Jangan sampai mereka tenggelam. Terus temani mereka, jangan asik main sendirian." Mama memperingati aku sebelum bermain menuju kolam.

"Iya, Ma." Jawabku singkat.

Kami semua berjalan menuju kolam, Mama mulai menurunkan Gavriel dari gendongannya. Aku menuntun Gavriel dan Viola untuk menuju tengah kolam, karena memang tak terlalu dalam. Kolam ini hanya mencapai lututku, sedangkan untuk Gavriel dan Viola sampai titik pusar mereka.

Gavriel asik bermain air, sedangkan Viola terlihat malu-malu untuk bergabung dengan Gavriel. Aku menuntunnya mendekati Gavriel yang tetap asik bermain air tanpa memperdulikan Viola.

"Gavriel, hati-hati ya! Airnya kena muka Viola, nanti dia bisa kelilipan." Gavriel tak mengindahkan ucapanku, sikap usilnya mulai lagi. Dia semakin mencipratkan air ditangannya pada Viola.

Hal itu juga dilakukan oleh Viola pada Gavriel. Mereka tampak asik bermain berdua, tanpa saling menyakiti. Akan tetapi, Gavriel mulai tak terkendali dengan permainannya pada Viola. Dia mulai kewalahan melawan Gavriel, hingga saat Viola lengah, air berhasil mengenai matanya. Ia menguceknya dengan pelan. Namun, tetap saja Gavriel tak berhenti meski Vioala sudah tak mencipratkan air pada wajahnya. Kuhampiri Viola, yang terus mengucek matanya.

"Sudah Gavriel, mata Viola perih. Sudah ya," Gavriel tak mengindahkan ucapanku, dia tetap asik tanpa mau berhenti. Begitulah dia, selama membuat hatinya senang, dia tak akan berhenti meski sudah disuruh untuk berhenti.

"Gavriel, Sudah cukup! Apa kamu tidak dengar apa yang mas Jo katakan?" Ku keraskan suaraku, hingga membuat Gavriel ketakutan. Ia mulai mengeluarkan air matanya, sebelum pada akhirnya menangis dengan keras. Hingga membuat Papa dan Mama terlihat khawatir dari kejauhan. Papa dan Mama menghampiriku, dan menanyakan apa yang terjadi.

Mama sudah mulai geram lagi padaku, padahal tadi nada suaranya sudah seperti biasa tanpa nada marah. Aku mulai takut, jika Mama akan memarahiku lagi. Aku takut dia memberikan hukuman lagi padaku, karena membuat Gavriel menangis.

"Kenapa, Sayang? Kok nangis. Gavriel takut ya!" Tanya Papa pada Gavriel yang masih menangis sesegukan. Aku hanya menunduk takut Papa juga akan marah padaku, jika tau aku tadi memarahi Gavriel.

"Kamu apakan lagi adikmu, hah." Mama menjewerku hingga telingaku berdengung, dan sakit yang kurasa. Cubitannya cukup keras, hingga aku tak bisa melepasnya dengan mudah.

Papa hanya melihat tanpa membantuku melepas cubitan Mama ataupun membelaku. Papa masih terlihat menenangkan Gavriel yang tetap menangis.

"Tidak aku apa-apakan, Ma. Tadi, aku hanya memarahi dia sedikit, karena membuat mata Viola jadi perih. Tapi, Gavriel tak mau mendengarku, makanya ku marahi dia, Ma. Tolong lepaskan tangan Mama. Telingaku sakit, Ma..." Aku merengek pada Mama, walaupun aku sudah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Mama tetap juga tak mau melepaskan jewerannya pada telingaku.

"Berani sekali kamu memarahi adikmu, hingga ia menangis seperti ini! Harusnya kamu halangi saja agar air cipratan dari Gavriel tak mengenai Viola, bukan dengan memarahinya.

"Ma, sudah. Jangan dijewer lagi. Kasian itu Jonathan, telinganya sampai merah begitu." Kini Papa tak tinggal diam dengan perbuatan Mama padaku. Mengapa tak dari tadi, telingaku benar-benar panas rasanya.

Mama melepaskan jewerannya dari telingaku, setelah mendengar kata-kata Papa. Ku pegangi telinga yang masih sakit dan panas. Om Pras dan Tante Ningrum juga menghampiri kami, untuk memastikan keadaan Viola yang baik-baik saja.

"Ada apa, Yasa. Kenapa Gavriel menagis?" Tanya Om Pras pada Papa yang sudah menggendong Gavriel.

"Semuanya baik-baik saja, Pras. Tadi, Jonathan hanya memarahi Gavriel sedikit. Mungkin dia takut, jadi menangis."

"Oh begitu, ku kira kenapa tadi. Viola, kamu baik-baik saja kan, Sayang?"

"Iya, Dad. Tadi Gavriel nakal sama Viola. Makanya, Mas Jo marahin dia." Viola menjelaskan tentang perkara tadi, syukurlah setidaknya ada yang membelaku. Meski dia hanya anak-anak.

"Sudah, gak papa. Gavriel tidak sengaja. Ayo, sekarang kita beli ice cream kesukaan Viola, ya!"

Om Pras kemudian mengangkat tubuh Viola dari dalam air dan menggendongnya. Kami pun naik ke permukan untuk membeli beberapa snack, aku dan Gavriel dibelikan ice cream juga oleh Papa. Dan tak lupa beberapa snack sebagai pengganjal perut, Viola dan Gavriel makan dengan disuapi oleh Mama dan Tante Ningrum. Enak sekali hidup mereka, penuh kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tua.

"Mas Jo, sini duduk sama Vio. Kita makan sama-sama." Tante Ningrum melihat ke arahku yang asik makan snack sendiri tanpa ditemani oleh Papa dan Mama. Dia pun menyuruh Viola menghampiriku dan mengajakku mendekat pada tante Ningrum.

"Jo, jangan duduk sendirian ya! Gabung sama Papa Mamamu, atau dengan kami. Biar tidak hilang atau diculik orang." Tante Ningrum begitu perhatian padaku, begitu pula dengan Viola. Aku senang, dengan adanya mereka aku tidak merasa kesepian lagi.

***

Hari ini begitu melelahkan, tapi aku senang. Karena memiliki teman baru. Yaitu Viola, dia dekat denganku. Karena aku berusaha melindunginya tadi. Aku juga tak merasa kesepian lagi, karena tante Ningrum selalu memperhatikan aku. Tak jarang, dia juga menuntunku. Aku merasa memiliki Ibu baru yang begitu menyayangiku.

Selepas dari Waterpark, kami berlanjut menuju Mall. Untuk bermain disana, sekaligus mengisi perut untuk makan siang. Mama dan Tante Ningrum sedang asik membeli beberapa pakaian dan aksesoris untuk wanita. Sedangkan, aku dan Papa juga Om Pras menunggu di sebuah restoran. Jika harus ikut berkeliling Mall pasti sangat melelahkan.

"Gavriel itu mirip sekali denganmu, Yasa. Sepertinya, dia juga akan menuruni bakatmu." Om Pras memecah keheningan diantara kami.

Gavriel memang mirip dengan Papa, namun ada campuran dari bentuk wajahnya dengan Mama. Yaitu matanya, sangat mirip dengan Mama. Aku saja yang anak mereka, tak memiliki kemiripan apapun dengan Papa dan Mama. Tak jarang, orang-orang akan menganggap bahwa aku bukan anak kandung Papa dan Mama. Meskipun sangat jelas, secara agama dan negara aku memang darah daging mereka.

"Bisa saja kamu, Pras. Gavriel memang sangat mirip denganku. Dia benar-benar putra kebanggaanku, makanya istriku sangat protektif padanya." Kata-kata Papa membuatku sedih, dia mengatakan Gavriel adalah putra kebanggaannya. Tapi tak mengatakan, aku juga putra yang ia banggakan.

Mama dan Tante Ningrum sudah terlihat dari kejauhan. Sepertinya, mereka sudah selesai belanja. Gavriel dan Viola berjalan beriringan. Bahkan berpegangan tangan, sambil membawa mainan yang mereka beli. Aku berharap Mama juga akan membelikan aku mainan, setelah sekian lama aku tak pernah dibelikan mainan apapun oleh Mama.

"Kenapa belum pesan makanan?" Tanya Tante Ningrum, yang sudah sampai dimeja tempat kami duduk dan menunggu.

"Kami ini nunggu kalian dong, Mom. Masak iya, makan duluan. Lebih enak makan dengan pasangan masing-masing, iya kan, Yasa?" Om Pras meminta pendapat Papa sambil tersenyum.

"Oh, tentu. Makanya kami menunggu kaliam untuk makan."

Mama dan Tante Ningrum, saling menatap dan tersenyum mendengar ucapan Om Pras dan Papa tadi. Viola dan Gavriel duduk berdampingan, sepertinya mereka sudah berbaikan. Dan menjadi teman kembali.

Kami menikmati makanan yang telah kami pesan masing-masing. Para orang tua asik mengobrolkan sesuatu hal yang aku tak mengerti, sedangkan Gavriel dan Viola sibuk memainkan mainan mereka bersama. Ternyata dugaanku salah, Mama tak membelikan aku maianan apapun. Tak jarang, mereka tetlihat tertawa bersama. Hanya aku saja yang tampak tak memiliki teman untuk diajak bicara. Lagi-lagi aku merasa kespian, andai aku sudah dewasa. Mungkin, aku akan ikut nimbrung pembicaraan Om Pras dan Papa.

Aku berpamitan pada Mama untuk ke toilet sebentar. Karena, Papa masih asik berbincang dengan Om Pras.

"Ma, Jo mau pipis dulu ke toilet."

"Ya sudah sana, jangan lama-lama."

"Loh, kenapa tak ditemani saja sekar?" Tante Ningrum merasa heran pada Mama. Karena membiarkan aku sendirian ke toilet. Meskipun usiaku sudah 8 tahun, tetap saja aku butuh pengawasan dari orang tua.

"Gak papa, Ningrum. Jo sangat mengenal tempat ini kok."

Lagi-lagi Mama mengatakan hal yang sama seperti tadi pagi, aku segera berlalu dari hadapan mereka. Karena aku sudah tak tahan lagi menahan rasa ingin pipisku.