Chereads / Dendam Anak Pungut / Chapter 6 - Bab 6 (Pov Sekar) Jonathan Hilang

Chapter 6 - Bab 6 (Pov Sekar) Jonathan Hilang

Hari ini berlalu begitu saja, menghabiskan waktu dengan teman lama membuatku sangat bahagia. Apalagi, sudah sangat lama kami tak berjumpa, dan berbagi pengalaman hidup yang kami alami setelah tamat SMA.

Aku dan Ningrum dulu bersekolah di SMA yang sama, begitu pula dengan Mas Yasa dan juga Pras. Bahkan kami satu kelas, hingga pada akhirnya, saat lulus SMA Ningrum harus pindah ke Kalimantan. Karena kedua orang tuanya membangun bisnis disana, dan akan menetap disana. Pras adalah pria yang sejak dulu mengejar cinta Ningrum, sejak kelas XI SMA. Namun, selalu Ningrum tolak karena Pras adalah tipe pria yang cepat bosan. Pacaran dengan satu wanita, satu bulan kemudian putus. Akan tetapi, lain halnya dengan Ningrum. Pras seakan-akan dimabuk cinta, hingga ia rela mengejar Ningrum ke Kalimantan. Aku tak pernah tau kabar mereka sejak saat itu.

Sedangkan aku dan mas Yasa menjalin hubungan saat kami berada di Universitas yang sama, meski dengan jurusan yang berbeda. Mas Yasa berada pada jurusan bisnis dan manajemen, sedangkan aku dijurusan tata boga. Aku memang suka memasak sejak SMA. Sehingga, saat kuliah aku memutuskan untuk mengambil jurusan tersebut. Aku dan mas Yasa dekat seiring berjalannya waktu, karena kami merupakan alumni dari sekolah yang sama. Hubungan kami begitu dekat, dan aku pun merasa nyaman dengan mas Yasa. Begitupun sebaliknya.

Setelah tamat kuliah dan melakukan wisuda bersama, kami memutuskan untuk menikah. Mas Yasa terlahir dari orang berada, begitu juga dengan aku. Orang tua kami sama-sama menyetujui hubungan kami, karena status sosial kami sama. Saat menikah dengan mas Yasa, mertuaku memberikan fasilitas yang begitu lengkap kepada kami. Bahkan mas Yasa diberikan salah satu perusahaan untuk dikelola sendiri, saat itu memang belum maju seperti saat ini. Akan tetapi, lambat laun perusahaan itu berkembang pesat. Dan menjadikan hidup kami lebih baik setiap tahunnya. Bahkan, saat ini sudah banyak cabang dari perusahaan yang dikelola oleh mas Yasa, hingga memiliki cabang dibeberapa daerah Indonesia, yaitu Bandung, Bekasi dan pusatnya di Jakarta.

Aku sendiri memiliki butik Fashion yang cukup terkenal. Butik itu aku dapatkan dari kedua orang tuaku sebagai hadiah pernikahanku dan mas Yasa. Saat ini, butikku sudah memiliki cabang dibeberapa daerah dikota ini. Hal yang membuatku bersedih adalah, meskipun aku dan mas Yasa hidup dengan bergelimang harta yang kami miliki. Namun, kebahagiaan itu terasa kurang lengkap tanpa adanya seorang anak ditengah keluarga kecil kami.

Meski sudah menikah selama 3 tahun, aku tak kunjung hamil. Hal yang sangat aku damba-dambakan selama beberapa tahun pernikahan kami. Mertuaku dan orang tuaku juga sering menanyakan perihal anak padaku dan mas Yasa, karena mereka sudah tak sabar ingin menggendong seorang cucu dariku dan mas Yasa. Hingga pada suatu ketika, saat aku dan mas Yasa pulang dari luar negeri untuk mencari alternatif pengobatan yang dapat kami lakukan untuk segera mendapatkan seorang anak, kami menemukan seorang bayi yang diletakkan didepan pintu gerbang rumah.

Aku dan mas Yasa memungutnya. Entah siapa yang tega membuang bayi yang usianya belum genap satu bulan ini, hal itu ku ketahui saat melihat tubuhnya yang masih sangat kecil dan merah. Mungkin hanya beberapa minggu dilahirkan, kemudian orang tuanya dengan tega membuangnya.

Awalnya, aku ingin membawa anak itu ke Panti Asuhan. Namun, mas Yasa berinisiatif untuk mengadopsi anak itu karena tak tega. Apalagi, saat itu kami belum juga memiliki seorang anak. Aku menolak, karena bayi tersebut tidak tau keturunan dari orang baik-baik atau tidak, mas Yasa terus meyakinkan aku bahwa bayi itu tetaplah seorang anak yang tak berdosa, hingga harus menanggung dosa kedua orang tuanya yang telah tega membuangnya.

Aku pun menyetujui permintaan mas Yasa. Meski, orang tuaku juga tak menginginkan bayi itu. Lain halnya dengan mertuaku, yang merasa iba pada bayi yang kami temukan itu sama hal dengan mas Yasa. Aku dan mas Yasa merawatnya dengan penuh kasih sayang, kami memberi nama bayi itu Jonathan Abiyasa. Hingga pada saat bayi itu berumur 2 tahun, ternyata Tuhan menitipkan amanahnya padaku dan mas Yasa. Aku sangat senang, kala mendengar aku hamil 8 minggu. Mas Yasa sangat menjagaku kala itu, bahkan aku tak dibolehkan untuk mengunjungi butik selama 7 bulan penuh, hingga aku melahirkan Gavriel.

Jonathan, anak yang ku pungut didepan rumah itu mulai jarang ku pedulikan. Karena, aku tak mau kandunganku bermasalah hanya karena terlalu lelah merawatnya. Mas Yasa menyewa seorang baby sitter untuk mengurusi Jonathan yang masih berusia 2 tahun. Sebenarnya, aku sudah menyuruh mas Yasa untuk menitipkannya pada Panti Asuhan, karena aku sudah hamil dan sebentar lagi melahirkan. Tapi, mas Yasa tidak mau, karena terlanjur menyayangi anak itu seperti anak sendiri. Terpaksa ku turuti saja maunya, toh ada baby sitter yang mengurusnya, jadi aku merasa tidak akan kerepotan.

***

Di Mall tadi, Gavriel sudah terlihat dekat dengan Viola. Aku bersyukur karena dia sudah mulai mau berteman dengan Vioala, yang awalnya Gavriel tak mau berteman dengan Viola karena dia seorang perempuan, Gavriel selalu merasa jika berteman dengan perempuan hanya akan membuatnya bosan. Sifat cengeng yang dimiliki anak perempuan memang membuat Gavriel tak suka jika berteman dengan perempuan.

Saking asiknya berbincang dengan Pras dan Ningrum, aku jadi terlupa akan sesuatu. Namun, sampai di rumah aku tak bisa mengingatnya. Mas Yasa juga terlalu asik dengan Pras tadi di Mall, karena memang sudah bertahun-tahun aku dan mas Yasa tak bertemu dengan mereka. Jelas hal itu membuat kami lupa waktu, meski sudah sore tetap saja asik mengobrol.

Sesampainya di rumah, ku panggil Bi Ningsih untuk mengurus Gavriel. Karena aku sangat lelah hari ini, aku dan mas Yasa duduk di sofa ruang keluarga untuk melepas lelah setelah seharian menghabiskan waktu bersama Pras dan Ningrum.

"Bi, tolong mandikan Gavriel ya! Terus setelah itu, baju yang sudah dipakai segera diletakkan dimesin cuci. Jangan taruh di kamar Gavriel. Kalau sudah selesai bawa Gavriel kesini, aku mau suapin dia buat makan malam," ku perintahkan salah satu ART yang bertugas mengurus keperluan Gavriel.

"Sekalian panggilkan Jonathan kemari ya, Bi." Ucap mas Yasa pada Bi Ningsih yang hampir berlalu dari hadapan kami. Mas Yasa sibuk dengan ponselnya, begitulah dia. Meski akhir pekan banyak hal yang harus diurusi.

"Bukannya den Jo tidak pulang bersama Tuan ya! Saya belum melihat dia sama sekali sejak Nyonya dan Tuan datang tadi."

Perkataan Bi Ningsih menyadarkan aku akan sesuatu, hal yang ku lupakan tadi adalah Jonathan. Dia pamit padaku sewaktu di Mall untuk ke toilet. Namun, karena saking asiknya bersama Ningrum aku jadi terlupa kalau dia belum juga datang dari toilet. Mas Yasa menoleh kearahku, menandakan bahwa dia akan menayakan soal Jo padaku.

"Bukankah Jo tadi sama kamu?" Tanya mas Yasa dengan nada yang agak marah padaku.

"Iya, Mas. Tapi, aku lupa kalau dia pamit mau ke toilet padaku saat di Mall tadi. Aku terlalu asik ngobrol sama Ningrum, lagi pula aku juga menjaga Gavriel wakti itu. Kamu juga, gak merhatiin Jo. Malah asik sendiri sama Pras."

"Kenapa kamu gak temenin dia, Sekar. Dia masih bocah 8 tahun, tapi kamu malah membiarkan dia pergi ke toilet sendirian." Kini mas Yasa benar-benar marah padaku. Meski semua ini, tak sepenuhnya salahku.

"Ya, kan kita udah sering ke Mall disana, Mas. Dan pastinya Jo sudah sangat hafal dengan tempat disana, makanya ku biarkan dia sendirian ke toilet. Kamu sih, sudah ku bilang tadi pagi, Jo gak usah ikut. Tetap saja diajak, kalau sudah begini kan, aku juga yang disalahin. Aku mana sanggup menjaga dua anak sekaligus."