Mobil mas Yasa sudah memasuki pekarangan rumah, setelah sampai, aku segera turun dan masuk kedalam rumah. Untuk membersihkan diri yang sudah sangat lengekt, akibat peluh yang bercecer sedari tadi saking lelahnya. Jo ku biarkan saja dimobil, toh ada mas Yasa yang akan mengangkatnya, dan membawanya kekamar untuk di tidurkan.
Saat didalam dan sebelum membersihkan diri, ku pastikan terlebih dahulu. Bahwa Gavriel sudah tidur atau belum. Ku buka pintu kamarnya perlahan, disitu masih ada Bi Ningsih yang mencoba menidurkan Gavriel yang tetlihat sudah mulai terlelap. Ku hampiri Bi Ningsih, hendak bertanya apakah Gavriel sudah makan malam atau tidak, karena biasanya, dia akan sulit untuk mau disuapi, jika tidak denganku.
"Bi, Gavriel sudah makan malam belum? Terus, susunya sudah dikasih?" Ucapku dengan suara yang agak pelan, agar Gavriel tak merasa terganggu dan bangun dari tidurnya.
"Sudah, Nyonya. Tadi saya paksa den Gavriel untuk mau makan, karena Nyonya sedang tidak ada di rumah. Dia menanyakan den Jo terus, Nyonya. Mungkin den Gavriel merasa khawatir dengan den Jo, karena tak ikut pulang bersama tuan dan Nyonya tadi."
Ku abaikan saja Bi Ningsih, karena malas untuk mambahas Jonathan. Sebab dia aku jadi sangat kelelahan seperti ini. Aku berlalu dari hadapan Bi Ningsih menuju kamarku, ku lihat mas Yasa keluar dari kamar Jo dan hendak masuk ke kamar kami juga. Mas Yasa sepertinya sudah tak marah lagi padaku, dari raut wajahnya sudah mulai biasa lagi. Tak seperti tadi, muka ditekuk dengan tatapan yang tajam.
Aku masuk ke kamar mandi, dan mulai membersihkan diri. Sedangkan mas Yasa tengah duduk ditepi ranjang tempat tidur kami. Selesai bebersih, aku keluar dengan rambut yang masih basah. Dengan handuk yang ku lilitkan pada rambutku, mas Yasa belum juga tidur dan memainkan ponselnya. Aku teringat, kami belum makan malam sejak tadi sampai di rumah, karena harus mencari Jonathan.
"Mas, kamu mau makan gak? Biar ku hangatkan dulu makannya, aku juga laper dari tadi belum makan apa-apa."
"Nggk, aku capek. Mau mandi, setelah itu istirahat. Kamu kalau mau makan, makan saja jangan menungguku."
Uh, kesal sekali aku pada mas Yasa. Menjawab, bukannya melihat pada orang yang diajak bicara, malah tetap fokus sama ponselnya. Apa sih yang dia lakukan malam-malam begini, apa iya soal perusahaan? Sampai tak tau waktu begini.
Aku berjalan menuju lantai bawah, untuk mengambil ponselku yang ada didalam tas. Karena sejak tadi pula, aku tak membawanya saat mencari Jo. Saat ku buka, banyak sekali panggilan masuk dan pesan dari Ningrum. Ada apa ya! Sampai dia mengirim spam chat dan panggilan berkali-kali.
[Sekar, apakah Jonathan sudah ketemu?]
[Aku merasa bersalah, gara-gara terlalu asik mengobrol denganku dan mas Pras, kamu jadi kehilangan Jo]
[Jika belum ketemu, aku dan Pras akan membantu kalian mencarinya. Kebetulan Vio sudah tidur, biar nanti ku suruh pembantuku untuk menemaninya]
[Bagaimana, Sekar. Apakah Jo sudah ketemu?]
Astaga, bagaiamana bisa Ningrum tau kalau Jo hilang? Apa mas Yasa yang ngasih tau Pras kalau Jo hilang, pantas saja mas Yasa sibuk dengan ponselnya terus. Huh, dasar mas Yasa. Sebegitu khawatirnya dia pada Jo hingga harus memberi tahu Ningrum dan Pras. Aku kan merasa tidak enak jika begini, mereka merasa kalau Jo hilang karena mereka. Padahal, Jo hilang karena ulahnya sendiri.
[Sudah ketemu, Ningrum. Kamu tak perlu khawatir, dia bersama satpam tadi Mall, jadi tidak hilang terlalu jauh dari Mall]
Tak ada balasan dari Ningrum, pesan yang ku kirim juga hanya centang satu. Mungkin mas Yasa sudah memberitahu Pras, kalau Jo sudah ketemu.
***
Esok harinya, aku mengurus Gavriel untuk keperluan sekolahnya. Saat ini, dia masih TK. Jadi aku masih mengantarnya, teman-teman Gavriel juga diantar oleh ibunya masing-masing. Aku dan para ibu-ibu sering kali berkumpul, karena kami berasal dari kalangan sosialita. Sekolah Gavriel pun, bukan sekolah seperti anak biasanya. Tapi sekolah elite.
Hari ini Gavriel akan menghadapi ujian kelululsan, dan ditahun ajaran baru ini. Dia akan masuk SD. Aku dan para Ibu lainnya, sepakat ingin menunggu anak-anak disalon. Karena jika ujian seperti ini, biasanya anak-anak tak boleh diganggu dan para orang tua tidak dibolehkan menunggu didepan kelas.
"Bi Ningsih, kalau sudah selesai. Bawa Gavriel kesini ya! Jangan lupa, tas sama buku untuk hari ini, dibereskan juga." Ucapku pada Bi Ningsih yang pada saat itu menuju kamar Gavriel.
"Baik, Nyonya."
Aku kembali ke kamar untuk menyiapkan keperluan mas Yasa pergi ke kantor. Setelah itu, aku dan mas Yasa dan juga anak-anak akan berkumpul dimeja makan untuk sarapan. Gavriel dan Jonathan akan diantar oleh Joko, supir pribadi di rumah ini. Sedangkan, mas Yasa pergi ke kantor mengendarai mobil sendiri.
Selesai menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan, aku dan mas Yasa pun turun kebawah. Begiti pula Gavriel yang ditemani oleh Bi Ningsih. Sedangkan Jonathan, belum juga keluar dari kamarnya. Tumben saja anak itu begitu lama hari ini, biasanya dia paling rajin dan orang pertama yang sampai dimeja makan.
"Jo mana, Bi? Tumben dia belum turun juga, apa Bibi sudah mengeceknya di kamar?" Mas Yasa menanyakan Jo pada Bi Ningsih, karena sampai detik ini juga dia belum turun dari kamarnya.
Aku membuatkan roti selai untuk Gavriel dan mas Yasa, sedangkan Bi Maria menyiapkan susu untuk Jo dan Gavriel. Tanpa mau memperdulikan soal Jonathan yang tak kunjung turum dari kamarnya.
"Mmm ... Den Jo sepertinya demam tuan, tadi saya lihat dia belum juga bangun. Saat saya cek tubuhnya sedikit hangat. Jadi saya tidak membangunkannya."
"Demam? Sudah diberi obat penurun panas gak, Bi?"
"Belum tuan, karena tadi saya menyiapkan keperluan den Gavriel terlebih dahulu. Jadi, belum sempat diberi obat."
"Hari ini, bukannya dia ujian kenaikan kelas ya, Ma?"
Mas Yasa mengalihkan pembicaraan padaku, Dan menanyakan soal ujian kenaikan kelas untuk Jo.
"Kalau Gavriel sih iya, kalau Jo, aku gak tau, Mas. Belum sempet nanya."
"Kamu gimana sih, Ma. Bukannya membantu Jo menyiapkan keperluan untuk ujian jauh-jauh hari. Ini malah belum tau."
"Ya, aku kan sibuk sama Gavriel, Mas. Urusan butik juga tak sedikit, mana sempet bantuin Jo buat nyiapin ujian jauh-jauh hari."
Mas Yasa hanya bisa menggeleng mendengar ucapanku, Jo sudah besar. Jadi dia bisa mengurus keperluan sendiri. Tak perlu aku.
"Bi, setelah ini Jo diberi obat sama anter makanan ke kamarnya. Jangan lupa susunya juga, kalau sampai siang nanti belum turun juga. Biar Nyonya yang antar dia ke rumah sakit, buat periksa kedokter. Mungkin dia demam, gara-gara semalam masuk angin saat tidur dipos satpam."
"Baik, Tuan."
Bi Ningsih berlalu dari hadapan kami. Menyiapkan makanan dan susu untuk Jo. Aku merasa keberatan, saat harus mengantar Jo ke rumah sakit. Karena hari ini aku sudah memiliki janji dengan para ibu-ibu ke salon.
"Kenapa harus aku sih, Mas. Yang nganter Jo ke rumah sakit. Kamu kan tau sendiri, kalau hari ini aku sudah ada janji dengan ibu-ibu Tk untuk pergi ke salon. Setelah itu, aku mau ke butik." Mas Yasa menatapku tajam.
"Batalkan, kesehatan Jo lebih penting dari pada ke salon. Untuk urusan butik, bisa dilakukan kapan saja. Lagi pula, penyebab Jo sakit itu, kamu. Karena lalai menjaganya, hingga tadi malam, dia harus tidur dipos satpam dan mengalami demam. Dia harus ikut ujian kenaikan kelas, jadi kamu harus bertanggung jawab penuh selama dia sakit" Lagi-lagi mas Yasa mengungkit masalah Jo yang hilang, dan dia menyalahkan aku juga karena Jo demam.
Dengan terpaksa aku harus menuruti kemauan mas Yasa, jika tidak, dia akan bertambah marah padaku. Tapi, aku punya ide lain. Ku undang saja dokter kesini, biar tak perlu membatalkan acaraku hanya karena mengurus Jo. Setelah itu, aku akan meminta Bi Ningsih untuk menjaga Jo.