Chereads / IPRIT / Chapter 16 - Bab 16. LELUHUR WISAKA

Chapter 16 - Bab 16. LELUHUR WISAKA

"Ya, apakah Nenekmu tidak bercerita tentang Eyang Buyutmu?" tanya Kakek yang berjuluk kuncen atau juru kunci itu.

"Tidak, tapi sepertinya dulu ketika masih kecil, aku pernah diceritakan dongeng tentang harimau yang menikahi manusia," jawab Wisaka.

"Itu bukan dongeng, cerita itu adalah kenyataan yang terjadi kepada eyang buyutmu, panggil saja aku Aki," ujar Kakek.

"Benarkah itu, Aki?"

"Ya, seperti itulah kenyataannya. Eyang ini Buyutmu, kemarilah." Aki melambaikan tangannya ke arah rimbunan pohon.

Jleng.

Seekor harimau besar melompat, lalu terdiam di bawah tangga gubuk. Wisaka dan Faruq mengkeret. Aki menyuruh mereka untuk turun menemuinya.

Wisaka kemudian turun. Harimau itu menjilati tangannya. Wisaka mengusap-usap leher harimau tersebut. Faruq mengambil tangan harimau seolah-olah bersalaman.

"Aku, Faruq, teman Wisaka," katanya sok dekat, padahal hatinya takut bukan kepalang. Baru kali ini dia bertemu dengan harimau.

Wisaka dan Faruq naik lagi ke atas gubuk, harimau tetap di bawah gubuk. Lantas Aki bercerita tentang leluhur Wisaka, sesuai yang dia dengarkan saat berinteraksi dengan harimau siluman penghuni hutan ini. Mereka sewaktu-waktu dapat menjadi manusia.

Aki mulai bercerita :

"Zaman dahulu di mana siluman masih selalu ngerecoki hidup manusia. Eyangmu yang masih bujangan berladang di hutan, karena hari hujan Eyang membuat perapian di bawah gubuk.

Tiba-tiba entah darimana datangnya, segerombolan gadis-gadis yang bajunya basah datang mengelilingi perapian tersebut. Karena basah, karembong (selendang) mereka kaitkan ke tiang gubuk.

Mereka mengobrol sambil sesekali tertawa riang. Eyangmu mengintip dari balik dinding gubuk. Cantik-cantik, pikirnya. Dari suara ngidungnya yang bindeng, Eyangmu tahu kalau itu para siluman harimau.

"Apa yang paling membuatmu takut?" Tiba-tiba salah satu dari mereka mengajukan pertanyaan.

"Aku takut dengan senjata kujang," jawab gadis berbaju merah.

"Apa kujang itu, Ki?" tanya Wisaka menyela.

"Kujang adalah senjata tradisional khas Sunda yang berfilosofi dan berakar kepada budaya dan pertanian. Bentuknya seperti clurit dengan bilah pisau yang berbentuk sabit. Berasal dari kata Ujang yang berarti manusia. Kalau sekarang Ujang itu sebutan untuk anak laki-laki dalam bahasa Sunda. Selain senjata untuk berperang pada zaman kerajaan dan juga alat pertanian, senjata kujang juga mengandung mitologi dan falsafah. Falsafahnya adalah janji untuk meneruskan perjuangan nenek moyang. Lambang ketajaman dan kekuatan serta keberanian.

Bentuknya yang unik, seperti pulau Jawa, menurut kisah, melambangkan cita-cita Raja Padjadjaran yang ingin menyatukan pulau Jawa. Tiga buah bolongan pada mata pisau melambangkan Trimurti pada ajaran agama Hindu.

Setelah datang penyebaran Islam, tiga bolongan tersebut berganti menjadi lima bolongan. Sesuai dengan rukun Islam. Seiring berjalannya waktu senjata itu sekarang tidak lagi berfungsi sebagai alat pertanian, tetapi sebagai senjata yang sakral dan bertuah.

Dulu Eyangmu sejak masih muda gemar sekali bertapa, untuk mendapatkan benda-benda berharga."

"Benda berharga gimana, Aki," sela Wisaka.

"Eyangmu itu karena ilmunya tinggi, ia bisa tahu ada barang berharga di suatu tempat. Ia akan bertapa untuk mendapatkannya, seperti besi kuning, intan, emas, termasuk senjata kujang itu," jelas Aki panjang lebar.

"Kembali ke gadis-gadis cantik yang tengah mengobrol di bawah gubuk dekat perapian, mereka menyebutkan benda-benda yang paling menakutkan menurut mereka masing-masing.

Kebetulan Eyang kamu mempunyai senjata itu. Dia mengambil salah satu karembong milik gadis-gadis itu, kebetulan yang warna merah yang tersampir di tiang gubuk, dekat dengannya. Kemudian Eyang kamu menjatuhkan benda pusaka tersebut.

Berhamburanlah gadis-gadis itu sambil menyambar karembong masing-masing. Mereka lari ketakutan melihat senjata tersebut. Pemilik karembong merah menangis sesenggukan karena ditinggalkan oleh teman-temannya. Eyang kamu kemudian turun dan menyapanya.

"Siapa namamu, Nyai?"

Gadis itu hanya menggelengkan kepala.

"Baiklah kamu aku kasih nama, Nasibah. Kita akan menikah dan hidup bersama di gubuk ini."

"Mereka akhirnya menikah, dan sampai sekarang keturunannya masih ada, termasuk kau, Wisaka," ujar Aki.

Wisaka hanya manggut-manggut, sesungguhnya hatinya bingung, masa iya dia keturunan harimau. Untuk menghargai leluhurnya dia hanya mengiyakan saja. Pertanyaan demi pertanyaan disimpan dalam hati.

"Eyangmu menitipkan ini untukmu," Aki kembali berkata sambil mengambil bungkusan dari atas.

"Jadi sebenarnya, engkau ke sini karena dipanggil oleh Eyangmu, bukan karena tersesat, tidakkah tadi engkau seperti mendengar auman harimau?" tanya Aki.

"Iya, Ki, tadi saat ada persimpangan, aku mendengar suara harimau, tiba-tiba langkah membawa kami kemari," terang Wisaka.

Aki membuka bungkusan, terlihat senjata kujang, terbuat dari besi dengan kualitas bagus, gagangnya dari tanduk yang licin mengkilat, terdapat empat bolongan di atas dan satu bolongan di bawah, persis seperti yang Aki ceritakan tadi, lima bolongan, filosofi tentang Islam.

"Ini senjata bertuah, bisa untuk melindungi diri dari musuh-musuh, nanti jam dua belas malam, Eyangmu akan memberikan sedikit bekal kepadamu," jelas Aki.

"Bekal apa, Aki?" tanya Wisaka.

"Ilmu lah, masa iya dibekalin nasi, ya kan, Ki," tukas Faruq yang dari tadi cuma menyimak.

"Eyang, sampai jumpa di Batu Belah," kata Aki kepada harimau.

Harimau itu lantas pergi dan melompat ke dalam hutan, terdengar aumannya menggetarkan.

"Di manakah Batu Belah itu, Aki?" tanya Wisaka.

"Nyebrang sungai yang tadi, waktu kamu nyari kepiting itu, naik ke atas bukitnya," jelas Aki.

"Memang batunya belah, apa gimana itu, Ki?" tanya Faruq ingin tahu.

"Iya, itu batu ada sejarahnya juga, di saat Raden Kian Santang memberikan dakwahnya tentang Islam, Prabu Siliwangi tidak terima, beliau menggebrak batu di depannya, terbelahlah batu tersebut, maka dinamakan, Batu Belah," jelas Aki.

"Anu, Ki, mau bertanya lagi," ucap Faruq malu-malu.

"Mau tanya apa?"

"Mengenai pohon kaboa, benarkah itu penjelmaan dari prajurit Kerajaan Padjajaran?" tanya Faruq.

Onet yang duduk terkantuk-kantuk, tiba-tiba terjatuh ke pangkuan Faruq, Faruq kaget bukan kepalang, refleks dia membuang Onet ke bawah gubuk.

"Sialan kau Onet, aku kira harimau jatuh ke pangkuanku," umpatnya dengan wajah pucat. "Kalau wanita cantik sih, tidak aku lemparkan," sambungnya.

Wisaka dan Aki tertawa melihat kekonyolan mereka, Onet cepat-cepat melompat kembali ke tiang gubuk. Melanjutkan kembali tidurnya.

"Ya, memang pohon kaboa dipercaya sebagian orang seperti itu. Mempunyai keajaiban mistis sebagai penjaga bagi pemilik batang kaboa tersebut. Pohon itu menurut legenda, saat dulu prajurit Kerajaan Padjadjaran itu terpecah menjadi dua kubu, satu pengikut Raden Kian Santang, satu lagi pengikut Prabu Siliwangi.

Raden Kian Santang saat itu berucap, siapa yang mengikuti dirinya akan menjadi manusia, dan yang mengikuti Prabu Siliwangi akan menjadi pohon dan harimau. Pengikut Prabu Siliwangi lalu benar-benar menjadi pohon kaboa dan harimau. Dulu harimau jadi-jadian banyak berkeliaran di sini.

Kaboa itu sendiri berasal dari kata, boa-boa, saat Raden Kian Santang pulang dari tanah Arab, lalu ingin mencoba kesaktian ayahnya, dia mengejarnya ayahnya itu dari Cirebon sampai Santolo, lalu menyelam dan timbul di Laut Sancang ini. Sampai di Sancang ini Raden Kian Santang tidak menemukan Prabu Siliwangi, ia hanya melihat kayu tegak di pinggir pantai.

"Boa-boa, ieu Prabu Siliwangi (mungkin ini Prabu Siliwangi," pikirnya.

"Sejak saat itu, pohon itu dinamakan dengan kaboa."

"Ayo sekarang tidur, nanti malam kamu harus berlatih," kata Aki kepada Wisaka.

Wisaka akhirnya tidur dengan pulasnya. Sepasang mata mengawasi dari balik pekatnya malam. Sepasang mata yang bersinar dan menyiratkan luka hati sekaligus dendam di dalamnya.

"Kakang Wisaka," desisnya.