Dalam perjalanannya, Wisaka menyusuri jalan kecil yang berbatu-batu besar. Kadangkala terlihat seperti ada gua di baliknya.
Panas terik memaksa Wisaka untuk berteduh. Beristirahat sejenak di bawah rindangnya pohon. Tiba-tiba dia melihat satu pergerakan di kejauhan. Wisaka menegakkan punggungnya, kemudian mengucek matanya.
"Makhluk itu ada di sini?" kata Wisaka.
Wisaka sekali lagi menajamkan pandangannya. Dia juga menyuruh Faruq untuk ikut memperhatikan.
"Lihatlah Faruq, apa yang bergerak itu?" Wisaka bertanya kepada Faruq, matanya tak lepas dari sosok nun jauh di sana.
"Mana?" Faruq balik bertanya.
Kemudian pemuda itu mengikuti pandangan Wisaka, sama kagetnya dengan Wisaka.
"Binatang apa itu?" tanya Faruq sambil menghentikan kunyahannya. Tadi dia bersama Onet mencari jambu biji dan dapat beberapa buah.
"Ek ek ek ek." Onet ikut-ikutan bersuara.
Wisaka tidak bisa menjawab karena pandangannya juga tidak begitu jelas.
"Ayo kita ke sana," ajak Wisaka.
"Apakah tidak berbahaya?" tanya Faruq.
"Kita awasi saja dari jarak dekat," jawab Wisaka.
Wisaka, Faruq dan Onet cepat-cepat berjalan untuk melihat mahluk itu dari dekat. Jarak yang cukup jauh membuat mereka terengah-engah. Makhluk itu berjalan sendirian, sepertinya ia tengah mencari makanan.
Ia tidak menyadari kehadiran Wisaka. Tangannya tampak repot dengan buah jambu klutuk hutan. Makhluk itu persis seperti yang ada di gambar Wisaka, badan berbulu coklat tebal, wajah mengerucut seperti ular.
"Apakah ia sendirian?" tanya Faruq pelan.
"Sssttt, jangan berisik, lihatlah," jawab Wisaka.
Makhluk yang entah bisa digolongkan binatang atau tidak itu berjalan ke satu tempat, nampaklah pemandangan yang tidak lazim. Satu lagi mahluk tengah mengikat kayu bakar, sepertinya mereka sepasang suami-istri.
Wisaka melihat sang istri yang membawa jambu klutuk itu berkata sesuatu pada suaminya. Suaminya menengadah lalu mengangguk. Karena jarak yang cukup jauh, Wisaka tak dapat menangkap percakapan mereka.
"Apakah mereka berbicara pakai bahasa manusia, Kang?" tanya Faruq.
Wisaka hanya menggeleng, sambil terus mengawasi. Makhluk itu berjalan beriringan semakin masuk ke dalam hutan. Semakin cepat mereka berjalan sehingga Faruq merasa kewalahan mengejarnya, dia ketinggalan oleh Wisaka.
"Kang, tunggu!" serunya.
Wisaka menoleh mendengar seruan Faruq, makhluk itu mendengar ada suara manusia. Mereka semakin mempercepat langkahnya dan menghilang di balik batu-batu besar.
"Aduh, mengapa kamu berisik sekali?" Wisaka bertanya, hatinya dongkol karena kehilangan jejak.
"Aku takut, Kang," ujar Faruq.
"Badan doang yang gede, nyali mah kecil," kata Wisaka sambil pandangan mencari-cari ke sekelilingnya.
"Itu binatang atau manusia, Kang?" Faruq mengempaskan bokongnya di batu datar sembari bertanya.
"Entahlah, tapi dia makan buah-buahan dan membawa kayu bakar," Wisaka menjawab sambil berpikir.
"Iya, masa binatang bisa nyalain api, Kang," ujar Faruq.
Sementara Onet sibuk mengunyah di atas pohon. Ia memandangi Wisaka dan Faruq.
"Iya makanya, kalau manusia mengapa badan dan mukanya seperti itu," tandas Wisaka.
"Itu juga, makanannya kok jambu klutuk. Hihihi, setidaknya kalau mereka binatang, makanannya adalah daging mentah yang mereka buru," kata Faruq sambil terkikik.
"Eh, malah ketawa, disamperin aja terkencing-kencing kau," kata Wisaka.
"Lucu aja, masa makan jambu klutuk," jawab Faruq.
"Ya, harusnya seperti itu, makan daging, tapi kalau masalah makanan bisa saja mereka tergolong orang utan, biasa makan buah-buahan, tapi orang utan buat apa mengumpulkan kayu?"
"Iya, ya, apa gak kita cari mereka, Kang? Siapa tahu mereka masih sekitar sini," ajak Faruq.
"Sekarang kita biarkan saja, takut ilmu kita belum sanggup untuk menaklukan mereka, dan itu bisa menggagalkan rencana kita," jawab Wisaka.
Faruq terdiam mendengar kata-kata Wisaka. Dia juga mengakui kalau mereka sampai kalah, buyar sudah rencana mereka menolong orang kampung.
"Aku lihat sikap mereka, kok sepertinya jinak ya?"
"Coba sana samperin, jinak apa enggak?" ejek Wisaka.
"Iya, maksudnya mereka tidak buas seperti dalam gambaran cerita saat Kakang melihat korbannya dulu," timpal Faruq. "Aku membayangkan mereka begitu beringas, memakan mangsanya mentah-mentah," sambung Faruq.
"Kok mereka ada di sini, ini tempat jauh sekali kan, kita saja sudah mengembara berminggu-minggu, kok mereka bisa menebar teror di kampung kita?" ujar Wisaka heran.
"Mungkin mereka bisa berjalan secepat angin," jawab Faruq.
"Benarkah?" tanya Wisaka tak yakin.
"Bisa saja kan, atau mereka bisa terbang, atau mereka naik binatang lain, atau ... apalagi ya?" Faruq pura-pura berpikir keras.
"Ehh, apa kau bilang, naik binatang lain? Bisa saja mereka berubah menjadi binatang yang lain, kan," kata Wisaka.
"Bisa saja, jadi singa misalnya, harimau, kucing, burung, atau ular," Faruq menyebutkan nama-nama binatang.
"Memang kalau berubah jadi ular bisa secepat itu mencapai kampung kita dari sini?" tanya Wisaka.
Faruq kembali diam, mereka berhenti membahas tentang binatang itu. Hari semakin sore, harus secepatnya mencari tempat nyaman untuk menginap, akhirnya mereka mencari tempat bermalam di sekitar situ.
Mereka mengumpulkan kayu bakar untuk membuat api unggun. Faruq bercerita tentang masa kecilnya yang penuh kenakalan khas anak kecil.
"Aku sering nyolong mangga tetangga dulu, Bang. Main perang-perangan, pedangnya pake kayu, lawanku kena pukul di tangannya lalu menangis dan pulang," Faruq bercerita dengan antusias, sesekali dia terkekeh geli.
Wisaka ikut tertawa, dia juga dulu permainannya sama seperti itu. Lucu kalau ingat masa kecil.
"Ada lagi, dulu aku suka seorang anak perempuan, namanya Siti, aku dan Siti saling menyukai, tapi karena suatu hari kami berbeda pendapat, kami akhirnya menjauh," kata Faruq lagi.
"Beda pendapat apa?" Wisaka bertanya.
"Suatu hari aku pergi mencari mangga. Dapatlah mangga yang bagus-bagus dan besar, dapat tiga biji. Aku kasih satu temanku yang masih mentah, yang mateng-mateng buat Siti, tapi apa yang terjadi, Siti tidak suka mangga mateng, sukanya yang mentah, akhirnya dia ngambek. Lama, sampai gede jarang bertegur sapa lagi," Faruq bercerita dengan penuh perasaan.
"Halah, segitunya pake ngambek segala," kata Wisaka sambil terkekeh. "Kamu suka ya sama Siti?" tebak Wisaka.
Faruq tergelak, dia melemparkan kerikil ke arah api unggun, bunga api memercik ke atas, membentuk kristal-kristal merah yang indah. Onet cuma memperhatikan dari atas pohon.
"Apa sih?" Kata Faruq mencoba mengelak. Wajahnya bersemu merah karena malu, rupanya Faruq memang menyukai teman masa kecilnya itu.
Wisaka terus menggoda Faruq, Faruq hanya tersipu-sipu seperti bujangan desa lagi jatuh cinta. Malam merangkak, akhirnya mereka terlelap dengan impian masing-masing.
Wisaka mendapati dirinya sedang berjalan bersama Leli. Tiba-tiba Leli mengaduh kesakitan. Dia memegangi perutnya yang buncit karena hamil. Wisaka panik.
"Tolong, apakah ada orang?"
Sepi, tak ada yang menyahut. Akhirnya Wisaka membopong tubuh Leli dan membawanya ke rumah.
"Sakit, Kakang," kata Leli lirih.
"Sabar," kata Wisaka sambil berlari.
Sampai di rumah, Wisaka membaringkan Leli. Tidak ada siapapun di rumah, Wisaka kembali panik. Pemuda itu keluar dan berlari kesana-kemari mencari pertolongan. Sepi sekali kampung ini, tidak ada orang yang lewat atau pintu yang terbuka.
"Tolong ... tolong!" seru Wisaka. Berulang-ulang dia ucapkan itu.
"Kang, bangun ... bangun." Faruq mengguncang-guncang tubuh Wisaka.
Wisaka kaget, lantas duduk termenung memikirkan mimpinya.
"Mimpi apa, Kang?" tanya Faruq.
"Leli, apakah ia akan melahirkan?" Wisaka malah balik bertanya.
"Ini baru berapa minggu?" tanya Faruq keheranan.
"Dunia mereka tidak seperti dunia kita," jawab Wisaka.
Faruq mengangguk-angguk, walaupun hatinya tidak mengerti.
Tanpa mereka sadari, dua pasang mata mengawasi mereka. Mata merah yang berkilat, tampak dari rumpun di belakang mereka. Seperti siap menerkam saat mereka tertidur.