Chereads / IPRIT / Chapter 26 - Bab 26. WISAKA MATI?

Chapter 26 - Bab 26. WISAKA MATI?

Wisaka kaget mendengarnya, dia segera bangun dan duduk sambil menoleh ke kiri-kanan. Pemuda itu melihat seorang kakek sedang duduk bersila di pojok goa. Wisaka mengamati caranya duduk, kakek itu duduk dengan alas kulit macan tetapi melayang di atas batu.

'Ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna,' pikir Wisaka. Dia segera menjawab salam sang kakek. "Waalaikumsalam, Kek, bukankah Kakek Eyang Astamaya?" tanya Wisaka.

"Benar sekali, anak muda, siapa namamu?"

"Wisaka, Kek," jawab Wisaka.

Wisaka kemudian menceritakan mengapa dirinya sampai ke goa Eyang Astamaya ini. Dia menceritakan misteri kematian-kematian sahabatnya itu menjelang pernikahan mereka. Eyang Astamaya diam mendengarkan. Wisaka juga menceritakan tentang perjumpaannya dengan binatang aneh yang belum pernah dilihat sebelumnya.

"Kalau benar itu yang kau lihat, binatang itu adalah Iprit yang sedang menyamar. Makhluk itu sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, dan selalu bereinkarnasi. Menjaga kelangsungan hidupnya dengan mengisap darah pengantin. Bukan tak mungkin ia menyamar menjadi seseorang dari salah satu orang yang kau kenal," kata Eyang Astamaya.

"Benarkah begitu, Eyang?"

"Iya, kau bisa mempelajari ilmu-ilmu yang sudah diukir di dinding goa. Siapa tahu nanti berguna untuk menghadapi iblis terkutuk itu, mereka adalah sepasang iblis. Kalau diibaratkan kehidupan manusia, mereka seperti pasangan suami-istri, mereka menginginkan kehidupan abadi," ujar Eyang Astamaya.

"Abadi bagaimana, Eyang?" tanya Wisaka

"Mereka mempunyai semacam target pencapaian, berapa puluh pengantin yang harus menjadi korban, baru mereka kembali ke kehidupannya, abadi serta mulia di hadapan para iblis pengikutnya," jelas Eyang Astamaya.

"Pu pu puluh, Eyang?" tanya Wisaka terbata.. Tergagap saking kaget mendengar kata puluhan pengantin.

"Iya, puluhan pengantin untuk menjadi tumbal keabadian mereka," ujar Eyang Astamaya.

Wisaka terdiam, pikirannya jauh menerawang. Teringat dengan kampung halaman yang begitu terancam bahaya. Bagaimana kalau iblis keparat itu mengambil lagi korban? Wisaka tampak gelisah.

"Tidak usah khawatir, Wisaka, iblis Iprit itu akan mengambil korban tepat sepuluh purnama setelah korbannya yang terakhir," jelas Eyang Astamaya.

"Benarkah itu, Eyang?" tanya Wisaka.

"Benar, iblis itu sudah hidup ribuan tahun. Namun, tetap tampak muda karena pengaruh ilmunya. Kau harus bisa menumpasnya sebelum ia menjadi lebih kuat. Sebelum mencapai keabadian ia masih bisa dikalahkan tetapi kalau sudah mencapai tahap itu, jangan harapkan kau bisa membuatnya binasa," ujar Eyang Astamaya.

"Bisakah aku mengalahkannya, Eyang?"

Eyang Astamaya menganggukkan kepalanya, kemudian memejamkan mata merapal mantra. Perlahan-lahan batu tempat duduk Eyang Astamaya bergeser melayang ke tengah gua, mengitari Wisaka.

Pada awalnya berputar pelan, kemudian semakin lama semakin kencang. Wisaka melihat Eyang Astamaya menjadi banyak, sehingga tidak bisa membedakan mana yang asli, mana bayangan. Wisaka pening kepalanya dan ambruk. Eyang Astamaya tertawa melihat keadaan Wisaka.

Perputaran Eyang Astamaya semakin pelan dan berhenti, kemudian dia bersiap melakukan sesuatu. Masih tetap duduk bersila, tangan bersedekap di atas dada. Hawa dalam goa yang tadinya sumpek dan pengap perlahan sejuk dan berubah warna menjadi jingga seperti waktu senja hari. Ada angin semilir yang keluar dari sela-sela tangan Eyang Astamaya. Semakin lama semakin kencang dan mampu menerbangkan debu-debu dan kerikil-kerikil kecil.

Wisaka melihat tangan Eyang Astamaya berubah menjadi jingga, persis warna matahari yang akan tenggelam di ufuk barat. Pemuda itu memperhatikan dengan harap-harap cemas. Bukankah Wisaka belum cukup mengenal kakek satu ini? Wisaka takut kalau tiba-tiba Eyang Astamaya menyerangnya.

Asap jingga nampak bergulung-gulung keluar dari sela-sela telapak tangan Eyang Astamaya yang bersedekap. Semakin lama semakin pekat. Bau seperti belerang menyeruak memenuhi ruangan. Wisaka menahan napas.

Eyang Astamaya tiba-tiba membuka telapak tangannya, kemudian mendorong kekuatannya ke arah Wisaka. Wisaka kaget, kemudian terlempar jauh. Dia melihat badannya hancur berkeping-keping.

"Apakah aku sudah mati kini?" pikir Wisaka.

Wisaka berlari ke arah Eyang Astamaya, tetapi anehnya dia masih bisa melihat jasadnya yang sudah hancur. Wisaka memperhatikan dirinya sendiri, bergantian kemudian melihat jasadnya. Wisaka merentangkan tangannya.

"Ajaib, benar-benar ajaib, mengapa aku masih bisa melihat hancurnya tubuhku, apakah seperti ini keadaan orang yang sudah mati?' Wisaka bertanya dalam hati. 'Aku tak boleh mati dulu, aku tak boleh mati dulu.'

Wisaka sibuk mencubit dirinya sendiri tetapi tidak merasakan apa pun. Wisaka panik, dia melihat ke arah Eyang Astamaya. Kakek tersebut tertawa terbahak-bahak. Wisaka mendekatinya, mengguncang-guncang tubuhnya.

"Eyang, mengapa kau membunuhku?!" Wisaka berteriak-teriak. Wisaka terus mengguncang-guncang tubuh Eyang Astamaya.

"Hey, Kakang, ada apa kau berteriak-teriak?" tanya Faruq. Dia terbangun karena guncangan tangan Wisaka.

Wisaka membuka matanya. Mendapati dirinya tengah berdiri di samping Faruq yang terbangun. Faruq terheran-heran memandangnya. Wisaka juga kaget dengan dirinya sendiri.

"Katakan Faruq, apakah aku masih hidup?" tanya Wisaka dengan wajah pucat pasi.

"Lho, ini masih bisa bicara, tentu saja masih hidup," jawab Faruq. "Memang ada apa, Kang?"

"Eyang Astamaya menyerangku sampai tubuhku hancur berkeping-keping," jawab Wisaka dengan suara bergetar. Dia masih ketakutan, tubuhnya menggigil.

"Kapan, di mana?" tanya Faruq. Pemuda tambun itu melihat sekeliling, tidak ada siapa pun selain Galuh dan Onet.

"Di situ," kata Wisaka sambil menunjuk ke tengah-tengah goa.

Wisaka kemudian menceritakan pertemuannya barusan dengan Eyang Astamaya. Kakek itu memperlihatkan sebuah ilmu tingkat tinggi dan menghantam dirinya dan tak mampu mengelak lagi.

"Kemudian aku lihat, ilmu itu membuat badanku tidak berbentuk lagi alias hancur," ujar Wisaka sambil mencubit tangannya. Dia masih tak percaya kalau dirinya masih bisa hidup setelah tubuhnya hancur.

"Itu mimpi, Kang," kata Faruq.

"Tapi begitu nyata," ujar Wisaka.

"Mungkin itu cara Eyang Astamaya mengajari dirimu, Kang," kata Faruq lagi.

Wisaka diam, masih membayangkan begitu hebatnya efek dari pukulan tersebut. Masih terlihat olehnya tiba-tiba cuaca berubah seperti senja hari. Pukulan dari jurus tersebut juga berwarna jingga. Jurus apakah itu gerangan? Wisaka tidak sempat menanyakannya tadi.

"Sudahlah, ini masih malam, ayo tidur lagi," ajak Faruq.

"Tidurlah duluan, nanti aku nyusul," ujar Wisaka.

Wisaka melangkah mendekati dinding. Dia mengamati satu persatu gambar yang terukir di sana. Tatapannya terpaku kepada gambar Eyang Astamaya, posisinya sama seperti dalam mimpinya tadi. Dia membaca sesuatu di atas ukiran tersebut.

"Jurus Matahari Terbenam," desis Wisaka. "Pantas saja cuaca redup seperti senja hari. Sebaiknya besok saja aku pelajari."

Wisaka kembali ke sisi Faruq, kemudian tidur terlentang menatap langit-langit goa. Nampak olehnya rasi bintang Orion atau waluku. Di kampungnya kalau sudah terlihat bintang itu, berarti saatnya menanam padi di sawah. Wisaka kembali teringat dengan kampungnya. Teringat kembali dengan kekasihnya, Cempaka.

Perlahan-lahan bintang itu semakin kabur dari penglihatannya. Wisaka terlelap tidur, kedua tangannya dipakainya untuk menyangga kepalanya. Belum lama dia terlelap. Suara ketawa terkekeh-kekeh mengganggunya.

"Tampakkan wujudmu!" seru Wisaka sambil bangkit.