Astamaya menundukkan kepalanya. Dia merasa bingung karena sesungguhnya tidak mencintai Gayatri, hanya menganggap Gayatri sebagai adik angkatnya, tidak lebih.
"Guru, saya … saya…." jawab Astamaya ragu-ragu. Dia ingin berterus-terang tetapi takut gurunya akan marah kalau dia menolak Gayatri untuk menjadi istrinya.
"Baiklah ... aku mengerti, aku beri waktu 3 hari untuk memikirkannya," jawab gurunya.
Astamaya berlalu dari hadapan gurunya. Gayatri diam-diam mengintip dari celah-celah dinding biliknya. Gadis semampai itu kecewa mendengar jawaban Astamaya. Entah mengapa dia merasa pemuda gagah itu tidak mencintainya.
Gayatri menangis diam-diam. Rasa yang tiba-tiba berubah ini tak rela kalau harus kehilangan tempat berlabuhnya. Gadis itu menyesali takdir yang mesti bersama-sama dari kecil sehingga Astamaya menganggapnya sebagai adik saja. Air matanya mengalir di pipi mulusnya. Dadanya sesak menahan haru, yang tiba-tiba meminta untuk dilampiaskan. Bulir-bulir bening itu mengalir, sampai pemiliknya tertidur membawa serta kecewanya.
Sementara Astamaya bingung sendiri dalam hatinya. Dia mencintai Untari, tetapi dia juga berhutang budi kepada gurunya. Astamaya teringat kalau sepekan yang lalu berjanji akan menemui Untari di suatu tempat. Besok dirinya akan menemui Untari dengan sebuah keputusan.
Di sebuah goa, seorang gadis dengan tutup kepala selendang bersulam benang emas mengulum senyum di bibirnya yang merah. Dia membayangkan besok akan bertemu dengan pujaan hatinya.
**
Matahari yang belum muncul sepenuhnya mengiringi langkah Astamaya meninggalkan gubuk gurunya. Berkali-kali dia berbalik ke belakang melihat padepokan itu, sebelum kemudian melesat cepat ke suatu tempat.
Sungai itu beriak-riak dengan sinar mentari pagi yang jatuh seperti berlian berkelap-kelip. Seorang wanita tengah berlatih ilmu pedang di pinggirnya. Mengayunkan pedangnya dengan badan sedikit melayang, menebas dengan gerakan lembut tetapi mematikan. Ia terus berlatih tanpa menyadari seseorang mengintipnya dari balik sebuah batu.
Sebuah pukulan jarak jauh menghajar telak tangan yang memegang pedang, sehingga pedang mencelat jauh. Seseorang menangkapnya sambil tertawa.
"Hahaha ... hahaha, cuma segitu kemampuanmu Upik Nan Rancak," kata lelaki itu sambil bersedekap.
"Namaku Untari, Pedang Setan, aku benci bila kau selalu menyebutku begitu," jawab wanita itu keras. Wanita itu ternyata Untari.
"Hahaha ... hahaha, ayo kita pulang ke tanah Minang, untuk apa berkelana di tanah Jawa ini?" ajaknya sekaligus bertanya.
"Bukan urusanmu! Pulanglah sana, berikan pedangku sekarang!" jawab Untari tegas.
"Tidak, aku mau mengajakmu serta!" teriaknya. Dia melesat mendekati Untari yang tak sempat menghindar lagi. Lelaki itu menotok urat leher Untari sehingga Untari berdiri kaku. Si Pedang Setan bersiap akan menggendong Untari untuk dibawa kabur.
Sebuah bayangan melesat ke arah mereka, merebut Untari dan melepaskan totokannya. Begitu terbebas Untari bersiap untuk menyerang.
"Gelarmu saja Setan, tetapi menghadapi wanita kau berbuat licik, Kisanak," kata seorang pemuda dengan tahi lalat di bawah mata kirinya.
"Senang sekali rupanya kau ikut campur urusan orang, cepat katakan siapa namamu, bedebah?" tanya Pedang Setan kasar.
"Aku Astamaya, aku tidak cari perkara denganmu, cepat tinggalkan wanita itu!" jawab Astamaya.
"Jauh-jauh aku datang untuk menjemput calon istriku, seenaknya kau menyuruhku pergi, ciaaat ... terimalah hadiah dariku!" teriak Pedang Setan.
Satu gempuran melesat menerjang Astamaya, tapi dengan mudah bisa dihindarinya. Dia melancarkan serangan balik. Angin kencang menderu ke arah tangan Pedang Setan yang memegang pedang milik Untari. Pedang itu lepas dan melayang, Untari secepatnya bergerak mengambilnya.
"Kakang pakai ini!" teriaknya sambil melemparkan pedang ke arah Astamaya.
Pedang setan limbung karena serangan itu. Cepat-cepat lelaki itu mengokohkan kuda-kudanya. Mencabut pedang dari balik punggungnya. Namun, sepertinya ilmunya masih di bawah Astamaya, terbukti dengan beberapa jurus saja pedang setan tersungkur kemudian terkapar dengan luka dalam cukup parah.
"Ayo, Untari, kita pergi dari sini," ajak Astamaya sambil menyodorkan pedang milik Untari.
Mereka berdua melesat pergi ke goa tempat tinggal Untari. Goa itu cukup tersembunyi, cukup aman sebagai tempat berlindung dari serangan binatang buas.
"Untari, Guru menyuruhku untuk menikahi Gayatri," kata Astamaya sesaat setelah mereka sampai di goa.
"Apa!? Lalu ...?" Untari begitu kaget.
Astamaya tidak berkata apa pun. Untari gelisah melihat Astamaya diam saja. Gadis itu mempermainkan jari-jarinya yang mendadak terasa dingin. Mengepal-ngepalnya dengan gugup, pikirnya hari ini terakhir melihat Astamaya.
"Ayo!" ajak Astamaya sambil menarik tangan Untari.
"Ke mana?" tanya Untari keheranan.
"Kita cari orang yang bisa menikahkan kita," kata Astamaya dengan yakin.
**
Gayatri berdiri di halaman, memandang ke arah jalan setapak yang menuju pondoknya. Namun, sampai matahari terbenam yang ditunggunya tak juga muncul. Gayatri menunduk sedih, dengan langkah gontai dia masuk ke biliknya. Perasaan kecewa, marah, sedih, campur aduk dalam hatinya.
Sehari, dua hari, sebulan, Gayatri menantikan sang pujaan hati. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak menunggu lagi. Hatinya patah bagaikan ranting kering tersapu angin.
Sementara itu di tempat yang berbeda, sepasang pengantin baru tengah berbahagia. Mereka mempunyai piaraan seekor rusa atau kijang, yang diberi nama Galuh. Mereka bahagia hidup bersama di goa itu. Sampai suatu hari, mereka menyaksikan matahari terbenam dari atas goa. Warna lembayung senja, kemerahan jatuh di rambut Untari. Laksana nyala api membakar rambut panjang Untari yang berkibar.
"Bagaimana kalau kita menciptakan sebuah jurus dengan kekuatan matahari terbenam," kata Astamaya.
"Aku setuju, Uda," sahut Untari antusias. Sesuai bahasa Minang, dia memanggil Astamaya dengan panggilan Uda.
"Ayo, Uda, salurkan energi matahari terbenam ini ke tanganmu!" teriak Untari. Untari menyedot energi yang jatuh dari cahaya matahari di pangkuannya, kemudian menyalurkan kepada Astamaya yang duduk bersila. Begitu seterusnya sampai matahari benar-benar tenggelam.
"Ayo kita masuk, malam mulai turun," kata Astamaya.
Mereka berjalan beriringan ke dalam goa. Setiap hari mereka berlatih sampai tercipta jurus Matahari Terbenam. Jurus dahsyat yang begitu mematikan di masanya. Lantas mereka juga menciptakan jurus Kijang Menembus Kabut. Begitu pula dengan jurus Tanduk Kijang Mengorek Telinga.
**
Segerombolan orang berpakaian hitam mengendap-endap di belakang pondok sebuah padepokan. Mereka akan melakukan serangan. Gayatri yang melihat pergerakan itu segera bertindak.
"Ayah, ada sekelompok orang dibalik batu besar itu," kata Gayatri sambil menunjuk halaman belakang pondok.
"Eyang Wisesa, keluar kau!" Belum sempat Ayahnya Gayatri menjawab, di luar sudah terdengar teriakan memanggil namanya.
Eyang Wisesa keluar. Di luar nampak orang-orang berpakaian hitam dan bertopeng warna-warni sudah berjejer bersiap menyerang.
"Serahkan kitab kuno ilmu Pedang Geni, kepada kami, atau kubakar tempat tinggalmu!"
"Bakar!"
"Bakar!"
Teriakan-teriakan sadis menggema. Eyang Wisesa tidak gentar. Dia berjalan tenang ke tengah halaman.
"Dari mana engkau, Kisanak, datang-datang bukannya memberi salam, malah membuat gaduh dengan berteriak?"
"Kamu tidak perlu tahu siapa kami, kakek
tua?" jawab orang bertopeng merah dengan keras.
"Setan Topeng Merah Arya, tidak baik berteriak kepada orang tua," kata Eyang Wisesa.
Deg! Hati pendekar yang berjuluk setan topeng merah terkejut mendengar namanya disebut. "Mengapa orang tua ini tahu nama asliku," pikirnya.