"Ada apa?" tanya Wisaka sambil mendekat.
"Itu ...." Faruq menunjuk sesuatu.
"Ooh, sarang ular," kata Wisaka. "Waspada! Takut induknya ada di sekitar sini!" suruh Wisaka. "Ayo, kita menjauh, biarkan tidak usah diganggu," sambung Wisaka lagi.
Mereka kemudian berpencar, melakukan pencarian kembali. Tetap saja tidak ada jenazah di atas goa. Wisaka bingung, ilmu Lorong Waktu itu jelas sekali kalau jasad Badrun itu di tendang A'mir ke daerah sini, tetapi mengapa tidak ditemukan? Wisaka tak habis pikir.
Sementara itu satu makhluk tak kasat mata cekikikan melihat Wisaka dan Faruq kebingungan. Dengan nakalnya ia sudah mengubah penglihatan mereka.
"Rasain, aku kerjain engkau, Manusia," katanya sambil tertawa.
Lamat-lamat suara tawa itu terdengar oleh Wisaka. Dengan ilmunya, Wisaka akhirnya menyadari ada suatu makhluk yang mempermainkannya.
"Keluar kau!" bentak Wisaka.
Faruq kaget mendengar bentakan Wisaka, pemuda itu celingukan mencari siapa yang dibentak. Nihil, tak ada siapa dipun selain Galuh dan Onet serta dirinya.
"Eh, Kang, siapa yang kau bentak?" tanya Faruq.
"Keluar! Atau mukamu terlalu buruk untuk muncul di hadapanku, atau mukamu akan meleleh terkena sinar matahari?" Kembali Wisaka berteriak tanpa memperdulikan pertanyaan Faruq.
Tiba-tiba bau busuk datang menyengat, satu makhluk menyeramkan berdiri di hadapan Wisaka. Bermuka merah, bertanduk dan berambut jingkrak sekasar ijuk. Ia menyeringai ke arah Wisaka.
"Siapa kau?!" tanya Wisaka keras.
Hantu itu tidak menjawab, ia malah melepaskan kepalanya sendiri dan menjinjingnya. Faruq bergidik melihatnya, bulu kuduknya meremang karena takut. Wisaka ingat dengan hantu yang bertemperamen begitu.
Faruq seperti mau pingsan rasanya saking takutnya. Baru saja terlepas dari hantu tanpa kepala, eh ini harus melihat lagi hantu yang menjinjing kepalanya sendiri. Benar-benar hari yang sial, pikirnya.
"Hey kamu Jurig Jarian, Hantu Bakekok, kamu yang menyembunyikan jasad Badrun?" tanya Wisaka lagi.
Kepala hantu itu seperti tertawa, ia kembali memasang kepalanya. Sedetik kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha ... hahaha."
"Cepat kembalikan jasad Badrun! Kalau tidak bersiaplah kau, jangan salahkan aku jika engkau tidak bisa menemukan kepalamu lagi!" ancam Wisaka.
Hantu itu bergeming, sepertinya ia tidak mau menuruti perintah Wisaka. Terpaksa Wisaka memamerkan sedikit kekuatannya agar hantu itu takut.
Blaaar.
Sebuah pohon runtuh karena terpotong di tengah akibat hantaman Wisaka. Hantu itu terkejut dan refleks memegang lehernya. Rupanya ia merasa takut kalau lehernya putus selamanya.
Wusss.
Tiba-tiba mahluk itu menghilang, mungkin takut lehernya di tebang oleh Wisaka. Faruq melirik kiri-kanan mencarinya, berjalan kian kemari. Akan tetapi tidak ada bekasnya di mana pun. Wisaka tidak mudah begitu saja percaya, ia tahu iblis itu banyak tipu daya. Entah apa yang Jurig Jarian itu rencanakan dengan menghilang.
"Perlihatkan wujudmu! Agar mudah bagiku melemparkan kepalamu biar berpisah selamanya dari tubuhmu!" teriak Wisaka.
Kembali iblis itu memperlihatkan wujudnya. Ia tertawa sambil berjalan membuat bergetar atap gua ini. Wisaka khawatir atap gua runtuh dan mengubur semua peninggalan Eyang Astamaya.
"Berhenti!" Wisaka kembali berteriak. "Aku akan mengampunimu, asalkan kau mengembalikan jasad Badrun yang kau sembunyikan!"
Wisaka kemudian mengerahkan kekuatan di kedua tangannya. Hawa panas berubah sejuk seperti senja hari. Cuaca berubah temaram berwarna jingga. Demi melihat kekuatan yang akan Wisaka keluarkan, iblis itu segera bersujud memohon ampun. Ia berjanji akan mengembalikan jasad Badrun.
Wisaka tidak jadi melancarkan pukulannya, dia menarik kembali serangannya. Wisaka menatap tajam Jurig Jarian itu, kemudian membentaknya.
"Pergi!"
Iblis itu pergi dan menghilang, meninggalkan hawa busuk yang menyengat.
"Kang! Lihat ini!" teriak Faruq tiba-tiba.
Wisaka berlari memburu tempat di mana Faruq berada. Faruq menunjuk tempat yang tadi dipenuhi anak ular, ternyata sekarang terbujur sesosok mayat tanpa kepala. Mayat itu hampir tinggal tulang-tulang saja. Wisaka dan Faruq masih mencari kepalanya yang terpisah. Beruntung, tidak jauh dari situ mereka menemukannya.
Wisaka menguburkan jasad dan kepala itu dibarengi dengan doa-doa sebisanya. Wisaka sedih mengingat nasib Badrun yang sangat tragis. Mungkin dia adalah korban pertama dari sepasang Iprit tersebut.
Wisaka teringat kembali dengan temannya yang telah menjadi korban dari sepasang Iprit itu. Pemuda itu harus secepatnya menemui Kyai Abdullah. Di saat mereka akan meneruskan perjalanan, kendala muncul. Galuh tidak mau ikut dengan mereka, ia malah kembali ke goa.
Wisaka, Faruq dan Onet menyusulnya. Galuh masuk ke dalam goa, lalu berbaring di atas batu. Galuh memandang ke arah mereka dengan tatapan sayu. Wisaka mendekatinya, kemudian mengusap punggungnya.
"Apakah kamu tidak mau ikut dengan kami, Galuh?"
Galuh hanya memandang Wisaka, kemudian menunduk, nampak matanya seperti berembun. Galuh menangis rupanya, mungkin ia sedih harus berpisah dengan mereka. Onet melompat ke arah Galuh.
"Uk uk uk uk ... ek ek ek," katanya. Sepertinya mengucapkan selamat berpisah.
Sekali lagi Wisaka memandang ke sekeliling goa, mengeja kembali satu demi satu jurus yang terdapat di dinding goa. Memastikan semuanya sudah ia pelajari. Tidak lupa dia juga menutup kembali lobang yang terdapat di atas goa.
Batu bergeser, meninggalkan debu-debu yang berjatuhan. Goa kembali gelap dan pengap seperti dulu saat pertama Wisaka datang memasukinya. Faruq membereskan semua barang bawaannya. Tak lupa mengusap-usap punggung Galuh sebelum pergi.
"Galuh, aku pasti datang kembali," kata Faruq.
"Iya, setelah selesai segala urusan, aku pasti datang menjengukmu," imbuh Wisaka.
Suasana hening, Galuh hanya mendongakkan kepalanya. Ia terlihat sangat sedih, tetapi tidak bisa meninggalkan goa yang sudah menjadi amanat buatnya. Ia akan tetap tinggal di gua sampai tutup usia.
Wisaka, Faruq dan Onet berjalan beriringan keluar mulut goa, sesekali menengok ke arah Galuh yang cuma kelihatan permatanya bersinar di kegelapan. Faruq mengusap air matanya, Onet terdiam di pundak Wisaka. Sekali lagi mereka membalikkan badan dan melambaikan tangan ke arah Galuh.
Dengan berat hati mereka meninggalkan Galuh sendirian. Berjalan memasuki hutan yang kian rimbun. Semakin lama semakin rapat pepohonan besar-besar. Ocehan satwa liar terdengar. Suara burung, suara kera, suara ayam hutan terdengar riuh. Demi mendengar suara ayam hutan, Faruq berniat berburu.
"Kang, aku ingin berburu ayam hutan itu," kata Faruq.
"Mana?" tanya Wisaka.
"Dengerin, bunyinya sebelah sana," kata Faruq sambil menajamkan telinganya. "Ayo, Onet, kita berburu," ajak Faruq.
Faruq berjalan mengendap-endap, dia ingin menangkap hidup-hidup ayam hutan itu. Ayam jantan yang bagus warnanya itu, sepertinya tidak menyadari adanya bahaya yang mengancamnya. Asyik saja memperdengarkan suaranya yang merdu.
"Kukukuruyuk ... kukukuruyuk."
Happp.
Faruq meloncat menangkap ayam itu. Badan Faruq yang gempal menindih ayam yang berhasil ditangkap. Dia senang sekali, kemudian melompat-lompat kegirangan. Faruq memamerkan hasil tangkapannya kepada Wisaka.
"Lihatlah, Kang! Aku berhasil menangk--"
"Ssst ...." Wisaka menempelkan telunjuk ke bibirnya sendiri.
"Ada apa?" tanya Faruq sambil berbisik.
Wisaka diam tidak menjawab. Wisaka yang kini perasaannya sudah peka merasa ada beberapa pasang mata yang mengawasinya. Namun, mereka tidak berani mendekati Wisaka.
"Siapakah mereka," bisik Wisaka. Hampir tidak terdengar seolah-olah dia berkata kepada dirinya sendiri.