Chereads / IPRIT / Chapter 39 - Bab 39. HANTU SAPU

Chapter 39 - Bab 39. HANTU SAPU

Wisaka memperhatikan dan bertanya kepada dirinya sendiri. Mereka dengan cepat mendapat padi berkarung-karung dan yang aneh panen di malam hari. Wisaka yang keheranan tetap mengintip para penduduk itu.

Penduduk kegirangan, mendapat hasil panen yang melimpah ruah. Mereka menyimpan padinya di lumbung. Setelah semua rapi, mereka masuk kembali ke dalam rumah. Perkampungan kembali sepi.

Setelah semua sepi Wisaka mencoba keluar. Dia berniat mengintip salah satu rumah penduduk. Wisaka curiga mereka bukan manusia. Akan tetapi Wisaka tidak punya bukti juga kalau mereka itu siluman. Pemuda itu berjalan di kesunyian malam. Dirinya merasa beberapa pasang mata mengawasi dari kegelapan. Wisaka membalikkan badannya, ternyata hanya beberapa ekor tikus yang memperhatikannya.

"Duh, kamu ya tikus, bikin hati deg-degan saja, kirain ada orang yang mengikuti," kata Wisaka kepada tikus yang melihat kepadanya.

Wisaka berjingkat-jingkat menghampiri sebuah rumah warga. Laki-laki itu mengintip ke dalam rumah dari bolongan kecil dinding bilik. Dia tidak melihat ada manusia di dalam, hanya beberapa ekor tikus yang sedang memakan sesuatu. Mencoba mengintip lagi ke rumah lainnya, sama saja dia tidak melihat pemilik rumah, hanya tikus-tikus kecil berlarian.

"Banyak amat tikus di kampung ini," Wisaka bergumam.

Wisaka kembali lagi ke pondoknya, kemudian tidur lagi. Saat pagi hari Wisaka dan Faruq berpamitan kepada Pak Min, berterima kasih dan berniat meneruskan perjalanan.

"Ya sudah, ini oleh-oleh dari kami," kata Pak Min.

Wisaka menolak oleh-oleh dari ketua kampung itu, karena oleh-olehnya berupa berkarung-karung padi. Bagaimana bisa membawa padi sebanyak itu?

"Tidak usah, Pak, kami sedang dalam perjalanan. Mana mungkin membawa beban sebanyak itu," ujar Wisaka menolak secara halus.

Pak Min menunjukkan jalan menuju arah keluar dari kampung tersebut. Wisaka dan Faruq mengikutinya. Setelah agak jauh mereka penasaran. Sebelum berbelok arah mereka kemudian menengok ke belakang. Aneh, tidak ada perkampungan terlihat di belakang mereka. Terlihat hanya beberapa ekor tikus yang memandangi kepergian mereka. Wisaka dan Faruq kaget melihatnya.

"Duuh, apalagi ini, apakah semalam kita menginap di kampung tikus?" tanya Faruq sambil bergidik.

"Entahlah," jawab Wisaka sambil mengangkat bahu.

Wisaka Faruq dan Onet menyusuri jalan yang tadi ditunjukkan oleh ketua kampung. Setelah melewati padang rumput, mereka kembali memasuki hutan, mendaki sebuah gunung, tempat di mana Kyai Abdullah tinggal. Sesuatu yang bergerak di semak-semak telah menarik perhatian Faruq. Berjalanlah dia mengendap-endap.

"Hap ... lihatlah apa yang aku tangkap," kata Faruq.

"Uk uk uk ek ek ...." Kata Onet sambil bertepuk tangan.

Seekor kelinci hutan menggelepar di tangan Faruq, dia memegang telinga kelinci itu, kemudian mengacungkannya.

"Ahahaha ... hahaha, kita pesta malam ini, nanti kita bakar!" serunya riang.

Beberapa kali mereka beristirahat, sampai tak terasa malam pun tiba. Wisaka terpaksa mencari tempat bermalam, karena perjalanan masih jauh untuk mencapai puncak gunung.

Faruq mengumpulkan kayu bakar, membuat api unggun untuk menghangatkan badan serta membuat kelinci panggang. Bulan sudah tak lagi menampakkan diri, karena tanggal sudah tua. Sekeliling gelap gulita.

"Dingin sekali malam ini, Kang," kata Faruq sambil memeluk lututnya. Dia sedang membolak-balik panggangan. Harum aroma daging panggang menguar ke mana-mana.

"Iya, tumben nih," ujar Wisaka.

Onet duduk di cabang pohon, di atas mereka sambil terkantuk-kantuk. Hangatnya api unggun tak mampu melawan dinginnya angin malam ini. Entah mengapa, sepertinya ada yang tidak beres dengan cuaca kali ini.

"Dinginnya tidak biasa, Kang," ujar Faruq. Tubuhnya tiba-tiba merinding begitu saja. Entah keanehan apalagi ini? Pertanyaan itu melintas di hatinya.

Sreeet ... sret ... sret

Bunyi seperti orang sedang menyapu memakai sapu lidi terdengar. Aura malam yang tadinya biasa saja mulai berubah. Bunyi binatang-binatang malam pun seperti berhenti sejenak. Sepi ... yang terdengar hanya suara sapu lidi tersebut.

Wisaka diam terpaku, entah apa yang mesti dilakukan. Tidak mungkin dia main hantam saja membasmi mereka. Kalau tidak mengganggu keselamatan, maka Wisaka akan membiarkan mereka lewat atau berlaku sesuka hati.

Sreeet ... sret ... sret.

Bunyi itu kian mendominasi, beberapa pohon nampak bergerak seperti ada orang lewat. Bunyi ranting patah terdengar seolah-olah ada yang menginjaknya. Aroma mistis kian terasa. Satu langkah terdengar disertai bunyi sapu lidi.

Wisaka dan Faruq mencoba mengabaikannya. Namun, langkah itu semakin terdengar mendekatinya mereka. Mereka terdiam tetapi mata mereka saling pandang. Hati sudah mulai kebat-kebit lagi.

"Hantu apa lagi ini?" tanya Faruq hampir tak terdengar.

Wisaka menggelengkan kepalanya. Dia nampak waspada bila hantu itu tiba-tiba menyerangnya. Ditunggu tetapi tidak muncul juga. Akhirnya Faruq membagi daging panggangnya dengan Wisaka. Mereka pun makan dengan nikmat.

Angin dingin kembali terasa berhembus, Wisaka merasa angin ini bukan angin sembarangan. Angin yang berkekuatan mistis. Mereka berhenti mengunyah dan saling pandang.

Sreeet ... sret ... sret.

Kembali suara itu terdengar kembali, begitu dekat. Angin dingin semakin kencang berhembus. Tiba-tiba dari balik sebuah pohon besar muncul sesosok wanita dengan rambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya. Ia membawa sapu lidi dengan gagang kayu yang panjang.

"Ss--si--apa engkau?" tanya Faruq gugup. Mulutnya melongo, dia bergeser mendekati Wisaka.

Hihihi hihihi hihihi hihihi ....

Lengkingan tawa terdengar begitu menyeramkan di tengah suasana sepi malam, apalagi ini tengah malam.

"Ada yang bisa kami bantu, Nyai?" tanya Wisaka berusaha tetap tenang.

"Sa sa sate ... sa sa sate." Suara hantu tergagap-gagap.

"Kami tidak punya sate, Nyai?" jawab Faruq.

Sosok putih itu menunjuk kelinci panggang yang sedang mereka makan dengan tangan kanannya, tangan kirinya tetap memegang sapu.

"Aduh kok celamitan sih, aku aja belum kenyang, Nyai," kata Faruq kesal karena makanannya diminta.

"Huss," sergah Wisaka kepada Faruq.

Faruq cemberut, dia tidak rela daging panggangnya dibagi. Sosok putih itu tetap menadahkan tangannya kepada Faruq. Faruq bergeming. Tiba-tiba tangan hantu itu bergerak. Tangannya memanjang dan terus memanjang sampai mencapai tempat Faruq duduk.

"Iyya ... iya, ini! Pergi sana!" seru Faruq.

Hantu itu menerima daging panggang dari Faruq. Sepotong besar daging kelinci berpindah tangan. Faruq melihatnya dengan sedih, batal dia makan enak. Melihat itu Wisaka cepat membagi daging panggangnya kepada Faruq.

"Cepat habiskan," suruh Wisaka.

Dengan cepat Faruq menghabiskannya, tinggal sisa tulang belulangnya. Hantu itu senang setelah mendapatkan apa yang diminta..Cepat sekali daging itu dimasukkan ke dalam mulutnya, lalu lenyap tanpa dikunyah.

"Ssaa sa te." Ia berkata lagi sambil mengulurkan tangannya kembali ke arah Faruq. Faruq sodorkan tulang belulang itu, dengan cepat ia memakannya lagi, kemudian mengulurkan kembali tangannya. Begitu terus sampai Faruq ketakutan.

"Gimana ini, Kang?" tanya Faruq. Dia merasa diteror oleh mahluk itu. Faruq berlari menjauh, tetapi hantu itu tetap menadahkan tangan.

Wisaka juga bingung harus bagaimana, sudah tidak ada daging di tangan mereka. Wisaka kemudian ada akal.