Chereads / IPRIT / Chapter 17 - Bab 17. AJIAN SEGARA MACAN DAN CEMPAKA

Chapter 17 - Bab 17. AJIAN SEGARA MACAN DAN CEMPAKA

Sepasang mata itu tiba-tiba menjauh ketakutan, lari terbirit-birit. Ia melihat sinar lebih terang datang hendak mendekatinya. Daripada bermasalah lebih baik lari, begitu pikirnya.

Sinar lebih terang itu tidak lain adalah sepasang mata milik Eyang Wisaka. Binatang itu berlari menyebrangi sungai, lalu mendaki dan duduk di batu datar.

Sepasang mata yang satunya lagi, yang mengawasi Wisaka tidur, ia juga ternyata seekor harimau betina muda. Berlari ke arah yang sama, kemudian bersembunyi di balik semak-semak.

Wisaka terjaga tepat tengah malam, dia pergi dengan Aki ke tempat Batu Belah. Di sana sudah duduk bersila seorang kakek-kakek. Wisaka heran dengan kehadiran kakek-kakek tersebut.

"Siapakah dia, Aki?" tanya Wisaka.

"Eyangmu," jawab Aki.

Wisaka sudah tidak kaget lagi melihat kejadian-kejadian yang mencengangkan terjadi di depan matanya. Pemuda itu sudah mulai terbiasa. Tanpa banyak bicara Wisaka mendekat.

"Eyang," sapanya.

Eyang memberi isyarat kepada Wisaka untuk duduk di depannya. Wisaka duduk, Sang Eyang mulai mentransfer ilmunya melalui punggung Wisaka yang telanjang. Saat itu hutan diselimuti cahaya bulan. Terangnya sampai menyinari tempat Wisaka menerima ilmu.

Eyang menurunkan ilmu Ajian Senggara Macan. Satu ajian yang bisa mengeluarkan suara seperti auman harimau, sehingga musuh akan ciut nyalinya. Eyang juga menurunkan mantra-mantra untuk membuat orang kahimengan (kebingungan).

"Munggang mali-munggang mali, munggang mali ratek peujit, peujit sia dibeulit-beulit, tulang sia ditumpang-tumpang, tutunggangan sabda kahimengan, (ah himeng, himeng, himeng."

"Hapalkan itu!" suruh Eyang.

"Baiklah, Eyang," ujar Wisaka.

Ketika mereka sedang serius berlatih, tiba-tiba Eyang membentak seseorang.

"Keluar!" hardik Eyang.

Dari balik semak-semak, melangkah gontai seekor harimau. Harimau itu menunduk, lalu memandang Wisaka dengan sayu. Wisaka seperti mengenalinya. Dilihatnya kaki harimau tersebut gosong menghitam. Wisaka terperanjat.

"Sari, kaukah itu?" terka Wisaka kaget.

Sekilas harimau tersebut melihat ke arah Wisaka, kemudian secepat kilat ia melompat ke rimbunan pepohonan kemudian berlari menembus dinginnya malam. Rupanya ia memang Sari yang dulu pernah bertarung dengan Wisaka. Tadinya Wisaka akan mengejar Sari, tapi Eyang mencegahnya.

"Biarkan saja, Wisaka," ujarnya.

Wisaka kembali berlatih sampai malam menjelang pagi. Eyang menyuruh mereka kembali ke gubuk. Orang tua itu juga bilang, tongkat Faruq sudah ada pengisinya, seekor harimau yang siap kapan saja dipanggil.

Menjelang siang Wisaka kembali melanjutkan perjalanan. Langkah semakin ringan karena ilmu Wisaka sudah bertambah.

******

Sepeninggalan Wisaka kampung terasa mencekam. Lewat magrib suasana sunyi senyap. Tak ada lagi orang ramai sekedar menikmati cahaya bulan. Dulu, biasanya orang- orang bercengkrama di halaman rumah sambil menikmati kopi dan penganan ala kadarnya, berupa rebusan ubi atau kacang hasil panen di kebun.

Saat terang bulan, anak-anak ramai bermain, loncat tali, petak umpet, gobak sodor, atau sekedar berlari-lari bersama teman. Kini tiada lagi, senyap, hanya kegelapan malam yang sesekali ditingkah suara anjing hutan yang melolong dari arah hutan.

Semua menjadi bahan pikiran Cempaka. Cempaka gadis calon istri Wisaka itu tidur terlentang di kasur. Dia kalut dengan keadaan kampung yang kian mencekam. Hidup selalu dalam ketakutan.

"Semoga kau berhasil, Kakang," bisiknya penuh harapan. Cempaka berharap penuh kepada Wisaka, bisa menuntaskan teror yang dihadapi masyarakat.

Suara jendela kamar yang diketuk perlahan mengagetkan Cempaka. Gadis itu terdiam mendengarkan dengan penuh ketakutan. Sunyi, suara ketukan itu tak ada lagi. Lama menunggu dengan rasa yang tak bisa dijabarkan, antara takut dan penasaran.

"Mungkin aku salah dengar," gumamnya. Dia menarik selimut melewati kepalanya, meringkuk di bawahnya dengan hati yang dag-dig-dug.

"Cempaka."

Suara itu memanggil dari luar jendela. Cempaka memiringkan kepalanya untuk mendengarkan lebih jelas lagi.

"Mirip suara Kang Wisaka, mengapa malam-malam datang ke sini? Apakah dirinya sudah kembali? Tidak biasanya lewat jendela." Batin Cempaka bertanya-tanya.

"Cempaka."

Panggilan itu mengusiknya lagi. Ditegaskan sekali lagi pendengarannya, memang Wisaka yang memanggilnya.

Secepatnya dia menyibakkan selimut, memperbaiki rambutnya, lalu beranjak ke jendela. Saat jendela terbuka Wisaka memang sedang berdiri di luar.

"Kakang!" seru Cempaka tertahan.

"Ssstt, keluarlah," suruh Wisaka.

Cempaka menaiki jendela dan keluar, dia tidak mempunyai prasangka buruk apa pun. Wisaka membantunya, lalu membimbingnya menjauh dari rumah. Mereka duduk di rerumputan tebal.

"Kang, mengapa sudah kembali?" tanya Cempaka penuh keheranan. Gadis itu tertunduk malu, merasa jengah duduk berduaan di tengah sepinya malam. Tangannya sibuk memainkan bunga rumput di tangannya.

"Iya, aku kembali, aku rindu padamu," kata Wisaka sambil menunduk.

Tiba-tiba Cempaka merasa seluruh darah mengalir ke wajahnya, terasa hangat, membuat merah merona mukanya.

"Apakah menuntut ilmunya sudah berhasil, Kang?" Cempaka bertanya lagi.

"Iya, berhasil," jawab Wisaka.

Mereka kembali membisu, menikmati keheningan. Bulan bersinar redup, mengantarkan cahaya remang bagi dua insan yang mengalir cinta di hatinya. Ribuan bintang seperti ikut menyaksikan kebahagiaan mereka.

Wisaka meraih tangan Cempaka, digenggam dan dibawa ke pangkuannya. Cempaka semakin berbunga-bunga hatinya. Cempaka semakin tertunduk.

"Kang," bisiknya.

"Iya, ada apa?" tanya Wisaka.

Cempaka hanya menggeleng, lidahnya mendadak kelu dan tidak bisa berbicara. Sesungguhnya ingin sekali mengungkapkan rasa cintanya yang begitu besar. Tak ingin kehilangan dan berharap segera menikah. Namun, tak satu pun ucapan itu terlontar dari mulutnya. Dia malah sibuk menenangkan suara jantungnya yang kian berdentam.

Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan mendekati mereka.

"Kakang!" seru sosok itu yang ternyata seorang perempuan memakai caping dan penutup muka.

Wisaka dan Cempaka terkejut. Mereka tidak menyangka akan ada orang menyambangi mereka. Mereka berdua bangkit dari duduknya.

"Siapa kau, datang-datang berteriak?" tanya Wisaka.

"Apakah kau lupa kepadaku, Kakang?" perempuan itu balik bertanya sambil melepaskan capingnya.

Wisaka tampak terkejut, dan Cempaka merasa heran dengan perubahan muka Wisaka.

"Siapakah dia, Kakang?" tanya Cempaka.

"Tidak usah bertanya siapa aku!" hardik perempuan itu kepada Cempaka.

Cempaka kaget dibentak perempuan itu. Kemarahannya bangkit, "bukankah dari dulu Wisaka adalah pacarnya? Lantas urusan perempuan itu apa mengganggu kebersamaannya bersama Wisaka?" pikirnya.

"Urusan kamu apa, perempuan asing? Mengapa mendatangi Kakang Wisaka?" tanya Cempaka.

Perempuan itu tidak memperdulikan pertanyaan Cempaka. Ia bergegas menarik tangan Wisaka. Cempaka tidak tinggal diam, dia juga menarik tangan satunya lagi milik Wisaka. Tarik menarik pun terjadi membuat kegaduhan. Rupanya perempuan itu lebih kuat tenaganya menarik Wisaka, Cempaka sempoyongan lalu terjatuh saat tangan Wisaka terlepas.

Wisaka yang kebingungan dalam menentukan sikap, akhirnya turut pergi bersama perempuan itu. Cempaka terduduk sambil memandangi mereka. Dia menjerit histeris.

"Kang ... Kakang, tunggu!" jeritnya.

Cempaka menangis sambil memanggil-manggil Wisaka. Perempuan itu berlari mengejar mereka. Nihil, mereka terlalu cepat berlalu, sehingga Cempaka tak mampu menyusulnya. Cempaka tersedu, menangis.

Cempaka terguling dari tempat tidurnya terjaga. Sejenak dia kebingungan mendapati dirinya sedang menangis, tapi saat teringat kembali mimpinya, Cempaka menghambur membuka jendela. Sejenak kegelapan yang menyambutnya membuatnya tidak bisa melihat apa-apa.

Gadis itu mengerjap-ngerjap agar bisa memandang dalam gelap. Di kejauhan ada satu sosok yang menarik perhatiannya.

"Kang Wisakakah itu?" desisnya penuh tanya.