Lelaki gagah itu mengulurkan tangannya ke arah Kamilia. Wanita itu menyambutnya disertai senyuman.
"Kamilia. Namamu Hendra?" tanya Kamilia.
"Iya, mengapa?"
"Tunggu, ya! Kamilia membuka layar ponselnya. Dia mencari sesuatu di galeri foto. Dia pandangi lama, kemudian pindah memandang ke arah Hendra. Tidak ada kemiripan sama sekali.
"Ada apa?" tanya Hendra heran.
Kamilia memandang foto Hendra, yang menurut cerita adalah si pemberi cincin. Namun, Hendra yang ini bukanlah Hendra yang di foto.
"Tidak ada apa-apa," jawab Kamilia.
Kamilia lega, ternyata teman barunya bukan dari masalalunya. Mereka cepat akrab dan bertukar nomor handphone. Berjanji untuk bertemu kembali lain waktu.
"Mila!" Seseorang berseru. Rupanya Bagas menjemputnya. Lelaki itu heran dengan pria yang bersama dengan Kamilia. "Bukankah lelaki itu yang bertemu di Bali?" pikir Bagas.
"Bagas, perkenalkan ini namanya Hendra," kata Kamilia.
"Apa?" Bagas terkejut.
"Hendra! Sejak kapan pendengaranmu bermasalah, hihihi." Kamilia tertawa kecil.
Hendra memandang Bagas dengan tersenyum. Bagas pun begitu, dengan teliti dilihatnya Hendra dari atas ke bawah. Bagas berusaha mencari kesamaan antara Hendra yang dulu dengan yang kini di hadapannya. Tidak ada kesamaan wajah kecuali postur tubuh.
"Dia bukan Hendra yang kau ceritakan," kata Kamilia.
"Apakah ada Hendra yang lain?" tanya Hendra.
"Tidak, ayo kita pulang, Mila!" ajak Bagas.
Kamilia mengikuti Bagas, tidak lupa dia melambaikan tangannya ke arah Hendra yang membalasnya dengan riang. Rupanya mereka sudah saling tertarik.
"Jangan bilang kau sudah tertarik kepadanya, Mila," kata Bagas.
"Dih, siapa pula yang tertarik?" kata Kamilia ngeles. Namun, walaupun dia menyangkal hatinya tidak bisa dipungkiri kalau Kamilia memang tertarik.
"Matamu yang bilang," ujar Bagas lagi.
"Kapan? Hahaha." Kamilia tertawa terbahak-bahak.
"Dia teman dekat Calista, apakah kau mau merebutnya?" tanya Bagas.
Kamilia ingat dengan wanita yang menabraknya waktu di kafe. Kamilia seperti pernah melihat, tapi otaknya tidak merespon saat mencoba untuk mengingatnya. Entah mengapa, tiba-tiba dalam diri Kamilia seperti merasa ada kenyamanan saat bersama Hendra. Kamilia tertawa kecil. Bagas melotot kepadanya, merasa aneh.
"Ah … tentu tidak, masa iya aku merebut pacar orang. Kalau dia pacar Calista, ya!" tegas Kamilia.
"Maksudmu apa?"
"Hihihihi." Kamilia hanya tertawa-tawa melihat Bagas sewot.
**
Dengan cepatnya waktu berlalu. Kamilia tetap tidak mampu mengingat masa lalunya. Dia dan Hendra menjadi begitu dekat. Tentu saja Calista seperti kebakaran jenggot. Dia menjadi sangat marah.
Siang ini Kamilia sedang beristirahat di tempat pemotretan. Calista datang dengan sikapnya yang bar-bar. Dia mendamprat Kamilia. Tentu saja mereka menjadi pusat perhatian.
"Tidak ada adab, pacar orang kamu embat juga, dasar pelacur!" teriak Calista.
"Apa maksudmu?" tanya Kamilia.
"Hendra calon suamiku!" teriak Calista lagi.
"Oh ya? Tanya kepadanya, mengapa dia mendekatiku. Maaf aku harus pergi!" cetus Kamilia. Wanita itu bergegas pergi, sebelum wartawan mengerubutinya.
Terlambat, wartawan mengejarnya. Beruntung Kamilia sudah naik mobil dan berlalu. Tinggal Calista yang segera dikerubuti wartawan. Bertanya tentang Hendra.
"Hendra siapa, Kak?" tanya wartawan.
""Apakah itu tunangan Mbak Kamilia dulu?"
"Kalau begitu, berarti anda yang merebutnya?"
Pertanyaan-pertanyaan wartawan malah membuatnya terpojok. Calista gugup, mukanya pucat. Calista akhirnya berlalu, dia kesulitan keluar dari kerumunan wartawan. Dengan penuh perjuangan akhirnya dia bisa lolos juga.
Sampai rumah Calista begitu marahnya kepada Hendra. Dia memaki-maki lelaki itu. Tega sudah mengkhianatinya, mukanya merah menahan marah serta malu sudah dipermalukan wartawan.
"Kau tega menghianatiku, Hendra! Kalau bukan aku yang menolong, kau tentu sudah mati!" seru Calista.
"Tenanglah, masih banyak yang harus kulakukan," jawab Hendra.
Calista masih saja mengomel dengan suara keras. Hendra akhirnya kesal juga, dia berteriak juga meredam emosi Calista.
"Aku bilang diam! Aku masih ada proyek yang besar!"
Calista akhirnya diam, tidak mau membuat Hendra lebih murka lagi. Wanita itu berbalik menuju kamarnya. Entah proyek apa yang Hendra rencanakan.
Sepanjang perjalanan Kamilia memikirkan perkataan Calista. Wanita itu seperti tahu dengan masa lalunya.
"Ehh … apa dia bilang tadi? Pelacur? Siapa dia sesungguhnya?" pikir Kamilia. "Aku harus bertanya kepada Bagas."
**
"Jelaskan siapa Calista?" tanya Kamilia. Mereka sedang di perjalanan menuju desa. Kamilia mendapat job pemotretan dengan suasana alam pedesaan.
"Dia dulu temanmu?" jawab Bagas.
"Kapan?"
"Saat kau dulu menjadi … eeh." Bagas cepat-cepat menghentikan bicaranya karena keceplosan.
"Apakah aku menjadi pelacur?" tanya Kamilia.
Bagas diam saja tidak menjawab pertanyaan Kamilia. Kamilia pun akhirnya diam. Dia mencoba menggali ingatannya. Memandang keluar jendela mobil, siapa tahu ada sesuatu yang membuatnya bisa mengingat masa lalunya.
Pemotretan dimulai saat hari menjelang senja. Kamilia berdiri di pematang sawah, dengan latar tumbuhan padi yang menghijau. Tertiup angin laksana permadani.
Dia memperagakan busana dari seorang desainer kondang. Kamilia memang semakin berkibar. Pantas banyak yang iri dengan keberhasilannya.
"Dasar anak tak tahu diri! Kerja sana! Kalau perlu kamu jual diri!"
Tiba-tiba suara seseorang mengganggu konsentrasi sesi pemotretan terakhir. Seorang bapak-bapak tampak menyeret anak gadisnya. Langkah gadis itu tersandung-sandung kena bebatuan jalanan.
"Jangan, Pak! Aku masih mau sekolah!" jawab gadis tersebut.
"Buat apa sekolah, kamu ikut kerja saja sama Harso!"
"Harso," gumam Kamilia. Dia merasa nama itu tidak asing baginya.
Kamilia terpana melihatnya. Di pikirannya tiba-tiba berkelebat seorang lelaki yang sedang memarahinya. Bergerak dengan cepat memorinya dan itu menyakitkan. Kamilia memegangi kepalanya. Dia sempoyongan di pematang sawah.
Memori Kamilia bergerak lagi ke arah kepulan asap rokok. Memorinya melihat dirinya berada di sana. Dirinya melihat tubuhnya disentuh orang-orang tak dikenal. Kamilia ingin menjerit.
Memorinya bergerak lagi, wanita itu melihat Calista yang kemarin dia temui. Wanita itu diam di hadapannya yang kini sedang marah. Ada lelaki di samping Calista.
Memori itu berpindah-pindah dengan cepat. Rasa sakit di kepalanya semakin hebat. Bagas yang melihat itu memburunya. Lelaki ganteng itu cepat-cepat membawa Kamilia ke pinggir sawah. Membawanya berteduh untuk beristirahat.
"Mila, kau kenapa?" tanya Bagas.
Kamilia tidak menjawab, dia masih memegangi kepalanya. Kilatan-kilatan kilas balik yang menyerangnya masih menampilkan kelebatan yang menyakitkan. Kamilia tidak tahan lagi.
"Aaahh!" Kamilia menjerit dan pingsan.
"Ada minyak kayu putih!" seru Bagas. Lelaki itu panik luar biasa. Semua crew juga panik.
"Kita bawa ke rumah sakit!" perintah Bagas.
Bagas : "Pah, Mila masuk rumah sakit!"
Freza : "Apa? Kenapa lagi? Oke, Papah ke sana.
Bagas menghubungi bapaknya memberitahu kalau Kamilia masuk rumah sakit. Dia menjelaskan, tiba-tiba Kamilia pingsan saat tengah melakukan pemotretan.
Entah tahu dari mana, malam harinya Hendra datang pula. Hampir berbarengan dengan Tuan Freza. Sementara Kamilia belum sadar pula. Bagas tidak senang dengan kehadiran Hendra. Namun, Freza justru tertarik dengan lelaki itu.
"Kamu kerja di mana?" tanya Freza kepada Hendra.
"Aku tidak bekerja, Pak," jawab Hendra.
"Maukah kau bekerja padaku?" tanya Freza.
"Tentu saja mau, Pak," jawab Hendra antusias, tanpa menanyakan pekerjaan apa.