Hendra senang sekali ditawari pekerjaan oleh Freza. Bagas sedikit curiga dengan keantusiasan Hendra.
"Apa yang direncanakan lelaki itu?" pikir Bagas.
Bagas memperhatikan lagi wajah Hendra dengan seksama. Tetap tidak ada kemiripan dengan Hendra kenalannya dulu. Bagas coba lagi memperhatikan bentuk tubuhnya. Mengingat-ingat apa kiranya yang menjadi ciri khas Hendra. Tak ada yang diingatnya kalau sedang begini.
"A aku di mana?" Kamilia ternyata sudah sadar.
Hendra cepat-cepat mendekati Kamilia. Matanya menatap lembut Kamilia. Kamilia membalasnya sekilas. Dia memandang sekeliling, heran mengapa ada di sini.
"Kamu pingsan tadi, Mila!" jelas Bagas.
"Kenapa?"
"Tadi kamu pingsan gara-gara melihat bapak-bapak menyeret anak gadisnya," kata Bagas.
Ah, ya. Kamilia ingat sekarang, tadi dia melihat di diri gadis itu seperti melihat dirinya. Kamilia ingat dulu dia pernah ada di posisi itu. Kamilia ingat, bapaknya –Ibrahim menghardik dan menyuruhnya bekerja menjual diri. Betapa bencinya dia kepada bapaknya itu.
Tanpa sadar Kamilia menangis. Air matanya membuat kabur pandangannya. Tentu saja Bagas merasa heran, mengapa Kamilia menangis. Padahal Kamilia menangis untuk ingatannya yang telah kembali. Walau baru sebagian, tetapi dia bahagia.
"Kapan datang?" tanya Kamilia kepada Hendra. Wanita itu sebenarnya kaget dengan kehadiran lelaki yang wajahnya tidak dia kenal. Namun, manik matanya sangatlah familiar baginya. Sengaja Kamilia merahasiakan ingatannya yang sudah kembali pulih.
"Semalam aku datang, aku khawatir denganmu," jelas Hendra.
Kamilia tersenyum, hatinya berbunga-bunga. Bagas cemberut melihatnya. Kamilia maklum, karena sebenarnya Bagas mencintainya bukan sekadar adik eh harusnya kakak.
Kamilia melihat Hendra yang terlihat percakapan serius dengan Freza. Entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Kamilia memandang Bagas. Bagas mengangkat bahu. Biasanya Freza tidak cepat akrab dengan orang yang baru dikenal. Sepertinya Tuan Freza langsung jatuh cinta dengan sosok Hendra.
"Aku curiga," kata Bagas.
"Curiga apa?" tanya Kamilia.
"Ada maksud lain yang disembunyikan Hendra," jawab Bagas.
"Entahlah!" Kamilia mengangkat bahunya. Sesungguhnya dalam hatinya dia juga curiga. Ada sesuatu di mata Hendra yang mengingatkannya kepada seseorang.
**
"Dengarkan Calista, aku bekerja pada Tuan Freza kini," kata Hendra.
"Pekerjaan apa?" tanya Calista.
"Aku tidak tahu."
"Hey, dasar bodoh! Mengapa tidak kau tanyakan?"
"Aku tahu pekerjaan itu, Calista, hahaha." Hendra tertawa.
Mata Calista menyipit menyiratkan tanda tanya. Hendra tidak memperdulikan, malah bergerak ke arah badan Calista. Pengalaman wanita itu menjinakkan para hidung belang, membuatnya paham, apa yang diinginkan Hendra kini.
Calista mencoba menghindar. Hendra semakin beringas. Dia mengejar Calista, menangkapnya, kemudian melemparnya ke kasur.
"Aaa!" Calista menjerit manja. Malam ini mereka mencairkan suasana. Hujan yang turun seperti memanjakan mereka berdua. Calista tidak dapat menolak lagi. Wajah yang selalu diimpikannya sejak dulu kini menjadi miliknya.
Kepercayaan dirinya meningkat saat Hendra memilih dirinya. Lebih tepatnya dia ambil alih. Calista memanfaatkan peluang ini baik-baik. Dia ingin menjadi pemilik Hendra selamanya.
Kini, Calista seperti mempunyai saingan. Kamilia tiba-tiba hadir di kehidupan mereka. Calista merasa, harus bersaing melawan Kamilia adalah hal berat. Waktu bergulir begitu cepat karena kecemasan berlebihan.
Dia tidak berharap persaingan ini berakhir dengan kekalahannya. Senyum paling menawan selalu dia suguhkan. Calista tahu tentang perselingkuhan Hendra dengan Kamilia. Dia tidak mau menyerah begitu saja. Entah siapa yang akan menjadi pemenang, Calista tidak peduli.
"Aku tidak mau kamu kembali kepada Kamilia," kata Calista.
"Yang mau kembali siapa?" tanya Hendra. Mereka ngobrol sesaat setelah mereka menghabiskan dua jam yang intim.
"Dengan kamu bekerja pada Tuan Freza, setiap hari kamu bertemu dengan Kamilia. Tentu saja dengan setiap hari bertemu kau akan kembali kepincut dia!" seru Calista.
"Aku ngantuk, tidak mau berdebat Calista," jawab Hendra dengan suara kian lemah. Rupanya lelaki itu sudah sangat mengantuk.
Calista mendengar dengkuran halus Hendra. Gemas sekali dia dengan lelaki ini. Namun, dia tidak pernah mampu untuk membencinya. Dirinya sudah berkorban dengan begitu banyak. Merelakan hasil melacurnya selama bertahun-tahun. Calista akan menuntut balas seandainya Hendra mengkhianatinya.
**
Kamilia membuka matanya. Hari sudah lewat tengah malam. Tidur Kamilia begitu gelisah malam ini. Ingatannya yang kembali pulih menyadarkan dirinya. Dulu dia seorang pelacur yang dijual bapaknya sendiri.
Kembali hari-hari kelam itu tergambar dalam otak Kamilia. Merinding bulu kuduknya saat teringat dulu dia melayani para penikmat cinta satu malam.
"Biadab sekali dia, dia yang mengaku sebagai ayahku. Harusnya menjadi pelindungku. Apakah karena aib ibuku yang menyebabkan dia begitu membencinya." pikir Kamilia. "Aku akan membalasnya!" Kamilia berjanji dalam hatinya. Dendam sudah sangat menguasai hatinya.
Rupanya dia harus sedikit bersabar untuk melakukan itu. Bayangan ibunya berkelebatan sesaat menciptakan gelembung-gelembung rindu. Sekian lama dia tidak memperhatikan mereka. Bagaimana mereka bertahan dengan kemiskinan yang begitu membelitnya.
Rindu itu juga yang membuat Kamilia berada di jalanan berbatu menuju kampungnya. Setelah semalaman dia gelisah. Akhirnya diputuskan untuk mendatangi rumah ibunya keesokan pagi.
"Kau tidak boleh menyetir sendiri, Mila!" larang Bagas.
"Aku bisa, Bagas," tukas Kamilia. "Aku sudah sehat dan ingin berjalan-jalan sendiri," sambungnya.
Ya, Kamilia memang merahasiakan kepergiannya ke kampung dari Bagas. Seandainya Bagas tahu, tentu lelaki itu curiga dengan keadaannya. Bagas akan menebak kalau dirinya sudah pulih kembali ingatannya.
Ibunya menangis saat Kamilia datang. Bapaknya –Ibrahim selalu diam tak acuh dengan kedatangannya. Ah … dia mana mau peduli perasaan Kamilia. Lelaki itu hanya peduli dengan uang Kamilia.
"Kartika, apakah kau sudah sembuh, Nak?" tanya ibunya. Air matanya berderai, adiknya hanya memandangnya penuh rindu. "Mengapa cobaan selalu datang bertubi-tubi kepadamu?" Ibunya bertanya entah kepada siapa.
"Sudahlah, Mak. Aku sudah sembuh dan kembali kepada Emak," jawab Kamilia.
"Anak pembawa sial ya hidupnya juga akan sial," tukas Ibrahim.
Kamilia benci sekali dengan ucapan bapaknya. Namun, dia masih menghormati orang tua itu. Kamilia tidak ingin merusak kepulangannya kali ini dengan berantem dengan bapaknya. Bagaimanapun juga Ibrahim sudah berjasa membesarkan dirinya.
"Ada saatnya nanti, aku balas semua perbuatanmu, Ibrahim," batin Kamilia.
"Jangan begitu, Pak. Dia anak kita, anak perempuan satu-satunya. Belum cukupkah kamu menyakiti hatinya?"
"Kamu lupa kalau dia adalah anakmu dengan lelaki itu?" tanya Ibrahim. Rupanya Ibrahim mulai marah.
Kamilia terkejut mendengarnya. Berarti Ibrahim sudah tahu tentang Freza. Siapa yang menceritakan ini padanya. Kamilia memandang ibunya.
"Kau pikir aku tidak tahu? Dulu aku sangat mencintaimu Ayunina, sehingga aku buta. Aku menerima keadaanmu yang tengah hamil Kartika. Tapi lama-lama aku tidak bisa melupakan. Setiap melihat Kartika aku teringat dengan laki-laki itu. Makanya aku melarikan diri dengan berjudi dan mabuk." Ibrahim mengungkapkan rahasia hatinya dengan gamblang kini. "Kau pikir aku juga tidak tahu, kamu selalu menerima bantuannya tiap bulan kini."
"Apa … siapa?" tanya Kamilia kaget. Mungkinkah Tuan Freza melakukan itu. Membantu keuangan ibunya saat dia tidak mengingatnya.
"Tanyakan kepada Ibumu!"