Kamilia memandang ibunya, meminta penjelasan. Wanita yang kini beranjak tua itu menunduk, memainkan ujung bajunya sejenak. Dia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk memulai berbicara. Kamilia menunggu dengan sabar.
"Ayo ngomong!" bentak Ibrahim.
"Iya, Freza tahu kalau selama ini engkau tulang punggung keluarga ini. Melihat engkau sudah lupa dengan keluargamu, Freza berbaik hati menolong keluarga ini." Wajah sendu ibunya menatap Kamilia, mengharapkan pembelaan.
"Benar kan? Dasar bekas pelacur!" maki Ibrahim.
"Jaga mulutmu, ya! Fungsimu apa sebagai kepala keluarga? Mengapa istrimu sampai menerima bantuan orang lain?" Kamilia menunjuk bapaknya.
Ibrahim hanya diam dibentak Kamilia. Lelaki itu merasa kalau dirinya memang tidak menafkahi Ayunina dengan baik. Kamilia meradang ibunya dikatain pelacur.
Ayunina mulai menangis, hatinya perih disebut sebagai pelacur. Dia dan Freza dulu menikah walau nikah siri. Ayunina juga tidak pernah disentuh oleh lelaki lain, kecuali Ibrahim suaminya.
"Kalau kau memberi Ibuku uang yang cukup, dia tidak akan mau menerima bantuan orang lain!" Kamilia berkata sambil menunjuk Ibrahim. Selama ini dia diam karena masih menghargai Ibrahim yang membesarkannya. Kini, bapaknya itu sudah sangat keterlaluan. Kamilia juga masih dendam dengan Ibrahim yang menjerumuskannya ke dunia pelacuran.
"Aaahh!" Teriakan Ibrahim menggema. "Sini aku minta duit, Nina!" seru Ibrahim.
Ayunina cepat-cepat pergi ke kamarnya, untuk mengambil uang. Lantas memberikannya kepada Ibrahim. Kamilia mendengkus sebal. Kelakuan bapaknya gak pernah berubah sejak dulu. Ibrahim pergi setelah lebih dulu menggebrak meja. Ayunina menangis, Kamilia mencoba menghibur ibunya.
"Sudahlah, Bu," bujuk Kamilia. "Dia tidak pernah berubah. Nanti kalau semuanya sudah berakhir, Ibu akan dijemput. Sekarang aku masih berpura-pura belum pulih kesadaranku, karena ada yang harus dibereskan." Kamilia berjanji kepada ibunya.
Kamilia pergi ke luar rumah. Dia ingin mengunjungi suatu tempat. Tempat dia selalu merenungi kehidupannya dulu. Tempat dulu dia bertemu dengan lelaki itu.
Bahkan saat dia lupa ingatan, hanya nama itu yang melekat di memorinya. Sebuah nama, tidak dengan kenangannya. Ah … Kamilia lupa, belum ada kenangan bersama dengannya. Hanya pertemanan biasa di antara mereka.
**
Kamilia duduk di rumput hijau di bawah sebuah pohon besar. Pikirannya menerawang tentang hidup yang dijalaninya. Dia tahu siapa sebenarnya Hendra yang kini mendekatinya.
"Kartika!"
Satu suara menyapa Kamilia. Dia masih ingat pemilik suara itu. Kalau saja dulu dia tidak terlambat menyatakan. Mungkin tidak akan menjadi begini. Nyatanya walaupun Kamilia hilang ingatan, namanya tetap muncul dalam memori wanita itu.
Kamilia menoleh ke arah suara itu. Tampak Saiful dengan senyumnya yang menawan. Kamilia mengeluh, betapa teduh tatapan itu. Memancarkan sinar romantis yang bersahaja. Romantisme bisa datang dengan cara apa saja. Termasuk tatapan mata yang dulu selalu malu-malu dia mencurinya.
"Mengapa kau di sini? Senja hampir tenggelam, sebaiknya kau pulang, Kartika!" suruh Saiful.
"Aku masih ingin di sini, Kang," jawab Kamilia.
Kartika, nama yang ingin dikubur dalam-dalam. Kini disebut oleh orang yang pernah menjadi penghuni mimpinya. Kamilia teringat waktu seperti ini, adalah saat yang dirindukannya. Dimana dia bisa berjumpa dengan gurunya ini.
"Bolehkah aku duduk sebentar di sisimu?" tanya Saiful. Lelaki itu masih ingat saat terakhir berjumpa dengan Kamilia. Wanita ini tidak menginginkan pertemuan dengannya, dengan berlalu dari hadapannya.
Kamilia menggeser duduknya pertanda dia mengizinkan lelaki itu duduk di sampingnya. Mereka hanya saling diam. Mendengarkan kata-kata yang hanya berceloteh dalam hati masing-masing.
"Apa kabar?" Akhirnya Saiful melontarkan kata basa-basi.
"Baik," Kamilia menjawab. Dia tahu, Saiful hanya basa-basi untuk mencairkan suasana. Kamilia ingin bercerita tentang hidupnya. Namun, rasa malu lebih dominan dalam hatinya.
"Sejak kepergianmu rasanya hambar, Tika. Aku tidak semangat menjalani hari-hariku."
Saiful melanjutkan ucapannya tadi.
"Mengapa?" tanya Kamilia pelan. Pertanyaan bodoh sebenarnya. Tentu saja Kamilia mengerti, mengapa Saiful berkata seperti itu.
Pemuda itu hanya terdiam. Hatinya malu untuk mengungkapkan isi hatinya. Saiful melihat Kartika bukanlah seperti dulu lagi. Dia sudah menjadi top model Ibukota. Mana berani dia mengungkapkan kejujuran hatinya.
Suara adzan Magrib memutuskan kekakuan mereka. Saiful dan Kamilia sama-sama tidak dapat mengungkapkan perasaan mereka. Kamilia malu dengan noda dalam dirinya. Saiful merasa rendah diri karena dia tidak punya apa-apa untuk dipersembahkan kepada pujaan hatinya itu.
**
Braaak!
Suara meja yang digebrak Tuan Freza mengagetkan Kamilia dan Bagas. Serentak mereka mengalihkan pandangan kepada laki-laki itu.
"Sialan, rupanya dia adalah Hendra yang dulu, anak buahku sudah melaporkan hasil penyelidikannya." Tuan Freza berkata dengan sorot mata dinginnya. "Apa maksudnya?"
"Mengapa wajahnya berubah, Pah?" tanya Kamilia. Dia tidak menceritakan kalau sejak ingatannya pulih, wanita itu tahu kalau lelaki itu adalah Hendra yang dulu.
"Dia melakukan operasi plastik karena wajahnya hancur saat kecelakaan bersamamu," ujar Tuan Freza.
"Oh!" Kamilia terpekik sambil menutup mulutnya. Wanita itu tidak menyangka bahwa kecelakaan itu begitu dahsyat. Kamilia kehilangan ingatan serta Hendra kehilangan wajahnya.
"Perempuan itu yang mengambilnya dari rumah sakit. Dia membawanya ke Thailand untuk operasi." Tuan Freza menjelaskan panjang lebar.
"Siapa?" tanya Kamilia.
"Tentu saja Calista, Mila. Kamu gimana sih? Bagaimana kalau kita pura-pura tidak tahu. Kita ikuti permainannya kali ini. Apa sebenarnya tujuannya?"
"Sejak dia menerima begitu saja pekerjaan dariku tanpa bertanya, tentu saja Papah heran, siapa dia sebenarnya?"
"Hasil pekerjaannya bagaimana?" tanya Kamilia.
"Seperti Hendra yang dulu, selalu rapi, cepat dan tepat. Tapi Papah ada firasat kalau dia ada niat buruk. Lihat saja, berani curang kepada Freza, rasakan akibatnya nanti!" Tuan Freza mengancam. Matanya berkilat mengerikan. Kamilia bergidik membayangkan kemarahan Freza nantinya. Bagas hanya mengangkat bahu, pemuda itu tahu seperti apa kemarahan Freza.
Sementara itu di tempat lainnya. Hendra bersama seorang anak buah Freza, yang dia percaya berpihak padanya. Melakukan pertemuan darurat. Akan datang barang dalam jumlah besar.
"Roni, kita jalankan rencana yang tadi, ubah arah pengiriman barang!" suruh Hendra.
"Siap, Bos!" jawab Roni.
"Hahaha hahaha hahaha. Bangkrut lah kau sekarang, Freza. Sudah lama aku ingin menguasai bisnis ini. Sekarang saatnya aku rebut posisimu!" seru Hendra sambil tertawa terbahak-bahak.
Oh … rupanya ini niat jahat Hendra. Anak buah Freza sudah direkrut menjadi anak buahnya. Mereka dijanjikan gaji yang lebih tinggi dibandingkan dari Freza.
Dengan gesit anak buah Hendra yang baru itu mengubah jalur transportasi. Mereka bilang ada perubahan demi keamanan.
"Sudah kau ubah jalurnya, Roni?" tanya Hendra.
"Sudah, Bos!" jawab Roni.
"Bagus, ayo kita berangkat?" ajak Hendra.
Tiba-tiba telpon berdering di saku Hendra. Rupanya Kamilia yang menelponnya. Hendra cepat-cepat menjawab sambil berjalan.
Hendra : Ya, Mila. Ada apa?
Kamilia : Hendra, tolonglah! aku kecelakaan.
Hendra : Di mana?
Kamilia : Di jalan raya Bogor.
Hendra : Apa?
Kamilia sudah menutup pembicaraan. Hendra panik. Jalur yang dia ubah sedang mengarah ke sana. Kalau terjadi kecelakaan, pasti akan banyak polisi di sana. Hendra panik, bergegas dia memantau monitor. Mobil pengiriman itu sedang mengarah ke sana. Tidak mungkin dibatalkan lagi.
"Mampuslah aku!" seru Hendra.