Mata Kamilia mulai berkabut karena air mata. Dulu dia sangatlah lugu saat dimintai tanda-tangan. Sekarang barulah dia mengerti. Mau ke mana dia mencari uang untuk menebus dirinya sendiri. Uang hasil dia menjadi model entah ke mana. Dia mendapati buku tabungan di rumah Hendra, sudah kosong. Hampir dua tahun ingatannya hilang.
Dunia ini terasa sangat tidak adil kepada dirinya. Tidak ada kebahagiaan dalam alur lakonnya. Kamilia selalu kebagian peran menyedihkan. Lepas dari satu kemalangan, kepedihan lain menyambutnya. Tidak mungkin baginya untuk meminta bantuan Tuan Freza untuk mendapatkan uang.
"Apakah aku harus menjadi pelacur lagi?" tanya Kamilia lirih. Hatinya hancur, membayangkan dirinya harus menjadi pemuas nafsu para pencari cinta sesaat.
"Tidak seperti itu, Mila," ujar Tante Melly iba. Bukannya dia tidak kasihan dengan nasib Kamilia. Namun, ini menyangkut uang ratusan juta rupiah. Harga jaminan Kamilia dulu yang kini diminta kembali oleh Hendra.
"Lalu?"
Kamilia berharap ada jalan keluar terbaik. Dia bersedia mencicil uang itu kepada Tante Melly. Rupanya Tante Melly sudah mempersiapkan skenario untuknya. Sesuatu yang tidak pernah dimimpikan lagi oleh Kamilia.
"Ada seorang konglomerat yang sudah tertarik kepadamu," jawab Tante Melly. "Dia bersedia membayar sangat mahal untukmu, Mila," lanjut Tante Melly.
"Siapa?"
"Tuan Arya, lelaki yang dulu pernah ribut karena ingin menyewamu, Mila. Apakah kamu masih ingat?" tanya Tante Melly.
"Mengapa harus dia?" Kamilia terperanjat mendengar nama itu. Dia masih ingat bagaimana dulu, Tuan Arya ngotot ingin dilayaninya. Bulu kuduknya meremang membayangkan hari-hari bersamanya nanti.
"Hanya dia yang berani membayar sangat mahal untukmu," jawab Tante Melly.
Tak henti-hentinya Kamilia mengutuk dirinya yang harus lahir ke dunia. Wanita itu tidak mengerti, mengapa Tuhan memberi takdir yang begitu berat untuk dijalani.
"Tuhanku, apakah Engkau salah menuliskan jalan hidupku?" tanya Kamilia dalam hati.
Dengan sangat terpaksa Kamilia menyanggupi perjanjian nista lagi. Setelah berbagai negosiasi berjalan alot dan buntu. Kamilia meminta syarat ada masa dan perjanjian tertentu sebagai syarat lainnya. Tante Melly berjanji akan menyampaikan itu kepada Tuan Arya.
Kamilia pulang dari tempat Tante Melly dengan tulang seperti dilolosi dari tubuhnya, tak berdaya. Hampir saja dia kehilangan kesadarannya, tetapi dirinya harus kuat. Teringat kembali dengan tatapan ibunya yang memelas. Hidup serba kekurangan serta kekerasan psikis dan fisik.
**
"Dari mana, Mila?" tanya Bagas.
"Cari angin," jawab Kamilia asal.
"Angin kok dicari, masuk perutmu bisa kembung." Bagas mencoba bercanda.
Kamilia tidak menanggapi. Dia masuk kamar, kemudian menyetel musik sedikit kencang. Sengaja, karena dia sudah tidak kuat untuk tidak menangis. Menangisi hari-hari yang akan menyongsongnya. Sungguh Kamilia tidak bisa membayangkan, balasan seperti apa yang akan dilakukan oleh Tuan Arya.
Bagas heran dengan tingkah Kamilia hari ini. Ada yang berubah dari perilaku adiknya itu. Bagas mencoba mengintip dari lubang kunci. Sial, ada anak kunci yang menghalanginya.
"Mungkin dia teringat dengan Hendra!" pikir Bagas.
Bagas akhirnya berhenti memikirkan Kamilia. Masih banyak pekerjaannya yang menuntut konsentrasi sebagai juru kamera. Dia harus memilih foto yang benar-benar sempurna dari para model. Mana yang layak ditampilkan ke ranah publik.
Kamilia menahan perih di bola matanya. Air matanya tidak berhenti mengalir. Dia sudah merasa kalah sebelum bertanding. Nasib malang membawanya kembali ke dunia pelacuran. Walau dia tidak harus menjajakan diri, melayani berbagai macam manusia bernafsu binatang. Namun, tetap saja hatinya tidak bisa menerima harus menjadi gundik Tuan Arya.
"Tidak berharga sekali tubuhku ini. Masih bisa ditukar dengan uang bukan dengan janji suci di hadapan penghulu," desis Kamilia.
Kembali matanya menghangat, air mata tumpah seperti mata air yang tidak ada habisnya. Kantung matanya membengkak, menandakan pergumulan batin yang teramat sangat. Rasanya dia ingin berputus asa mengakhiri semua takdirnya. Namun, tatapan ibunya yang memelas mengurungkan niatnya.
"Kau jangan meninggalkan, Ibu, Kartika!" Begitu ibunya bilang saat terakhir bertemu.
Kamilia merasa gamang, jiwanya penuh dengan setumpuk amarah dan benci. Entah untuk siapa, Ibrahim atau Hendra. Semua mempunyai andil dan porsi, dalam menenggelamkannya kembali ke lembah hitam.
"Benarkah Tuhan itu ada buat diriku? Mengapa Engkau seperti bersembunyi dan tidak peduli dengan nasibku?" batin Kamilia.
Kembali Kamilia mempertanyakan kekuasaan Tuhan yang membiarkan dirinya kembali masuk ke jurang yang sama. Lelah sudah rasanya wanita ini menangis. Dia tertidur dengan genangan air mata.
**
Tuan Arya memandang Kamilia dengan tatapan mencemooh. Dia bangga wanita itu akhirnya bisa tertunduk di hadapannya. Memohon untuk membatalkan perjanjian nista mereka. Tuan Arya yang berwatak keras tentu saja tidak mau. Tuan Arya tahu siapa sebenarnya Kamilia.
"Bisakah aku mencicil hutangku padamu, Tuan? Tanpa hidup bersama?" tanya Kamilia.
"Mana bisa, bagaimana kau bisa melayaniku kalau kita terpisah!" jawab Tuan Arya. Dia tampak sibuk dengan layar monitor di hadapannya. Kamilia memang mendatangi Tuan Arya di kantornya. Sengaja Kamilia datang untuk melakukan tawar-menawar.
"Tapi istri Tu–"
"Sejak kapan aku punya istri? Bagiku wanita hanya merepotkan saja. Untuk apa aku terikat dengan hanya satu wanita. Aku ingin bersama dengan beberapa wanita,' jelas Tuan Arya.
"Beberapa wanita?" Mata Kamilia membulat.
"Bodoh! Aku hanya ingin bebas dengan mengencani berbagai wanita!"
Kamilia mengangguk-angguk. Dia berubah menjadi seperti orang dungu di hadapan Tuan Arya. Entah mengapa semua kata-kata seperti lenyap dari otaknya. Namun, ada yang membingungkan Kamilia. Sikap Tuan Arya yang dulu arogan sekarang tampak lebih santai. Kamilia merasa sedikit tenang hatinya.
"Nanti malam, kau sudah harus di rumahku!" perintah Tuan Arya.
"Baiklah, Tuan." Kamilia menjawab sambil bersiap pergi. Dia harus mempersiapkan segalanya, termasuk jawaban untuk Bagas dan Tuan Freza.
Sepanjang jalan benak Kamilia sibuk menyusun alasan untuk pergi dari rumah Tuan Freza. Kalimat sakti apa yang harus diucapkan nanti.
"Pah, aku ada kerjaan ke luar kota. Ah … tidak seperti itu. Bagas, aku ada job di luar agen kita. Ah … bukan seperti itu pula, atau aku ingin hidup mandiri dan keluar dari rumah ini. Ini terlalu kasar kedengarannya." Kamilia sibuk berkata-kata sendiri saat menuju rumah Tuan Freza. "Apa aku akan minggat saja, ya? Tanpa mereka tahu aku pergi ke mana?"
Kamilia benar-benar bingung memikirkan alasan agar dapat keluar dari rumah Tuan Freza. Pikirannya kalut membayangkan hari-hari bersama Tuan Arya. Kalau saja hidup bisa memilih, Kamilia memilih tidak dilahirkan atau mati sejak bayi. Berat sekali alur hidup yang harus ditempuh.
"Papah tadi mencarimu, Mila. Sekarang sudah pergi ke luar negeri," kata Bagas begitu Kamilia masuk rumah.
"Kau mau ke mana? Tumben rapi," tanya Kamilia heran.
"Pergi ke Bali, mau ikut? Tapi aku bersama pacarku," jelas Bagas.
"Sejak kapan ada yang mau sama kamu?" Kamilia mengejek Bagas.
"Eeh … pake ngeledek lagi! Awas kau!"
"Hihihi hihihi." Kamilia cekikikan sambil pergi. "Aha, mereka tidak ada di rumah saat aku pergi," batin Kamilia. Mukanya mendadak cerah.