Tuan Arya tidak bisa memungkiri lagi. Kamilia bersedekap memandang Arya dengan tatapan dingin. Kini, dia telah mulai membalas dendam. Dokter yang datang menanganinya adalah dokter keluarga mereka juga. Rupanya Arya sudah salah memilih dokter.
"Kamu telah salah langkah Arya, kamu pikir ini perusahaan sudah mutlak milikmu," kata Tuan Freza. "Sekarang perusahaan ini menjadi milik putriku, Kamilia," lanjut Tuan Freza lagi.
"Papah!" seru Kamilia kaget. Dia tidak menyangka sedikit pun akan mendapatkan ini. Bukankah tadi cuma drama saja, dia duduk di kursi direktur.
"Papah sudah mengurus dokumennya," kata Tuan Freza. Tidak peduli dengan perkataan Kamilia.
Tentu saja Kamilia tidak menyangka, semua terjadi begitu cepat. Kemarin dirinya masih meringkuk dengan takdir yang menyakitkan. Kini, kedudukan tinggi sudah pula diraihnya. Kamilia sungguh tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Dia tidak pernah berharap kedudukan, lepas dari cengkeraman Arya saja dirinya sudah bersyukur.
Tuan Arya digiring polisi, lelaki itu masih sempat memandang Kamilia dengan raut penyesalan. Kini, hidupnya hancur, sehancur-hancurnya. Pandangannya menyiratkan permohonan maaf. Tidak ada niat Kamilia untuk memaafkannya.
"Hahaha hahaha. Baru tahu dia, siapa Freza!?" kata Tuan Freza sambil tertawa. Dia merasa puas dengan kerja keras para anak buahnya yang melacak keberadaan Kamilia. Dia meninggalkan kantor Arya.
Hari ini Bagas sibuk dengan mengajari Kamilia cara mengelola perusahaan. Kamilia merasa kesulitan. Dengan senang hati Merry yang sudah banyak tahu tentang perusahaan Tuan Arya membantunya.
"Bagas, sepertinya aku tidak mampu mengelola, buat kamu saja," kata Kamilia.
"Huss … semua sudah ada bagiannya," jawab Bagas sambil matanya tetap fokus ke layar monitor.
"Mana bisa aku jadi pimpinan, karier modelingku bagaimana?"
"Kamu tahu, Calista sedang merintis karir di model." Bagas malah membahas tentang Calista.
"Siapa yang bawa?" tanya Kamilia lagi.
"Hendra kan bekas managermu," kata Bagas.
Kamilia mengangguk-angguk sambil melihat bagaimana cara Bagas mengajarinya. Kamilia sedikit paham dengan penjelasan Bagas. Dia merasa lebih siap kini. Kamilia masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Seperti kisah Cinderella.
**
Kamilia tidak langsung pulang setelah jam kantor usai. Setelah berkutat dengan rumitnya hitung-hitungan laba, sejenak dia ingin bersantai. Dia melajukan mobilnya menuju satu tempat. Tempat yang menjadi awal mula dirinya di Jakarta.
Sebuah tempat remang-remang. Namun, tetap menempati ruang tersendiri di sudut hatinya. Tempat Tante Melly, ya … kini dia sedang duduk di sudut kafe rumah bordil Tante Melly.
"Hai … Mila!" sapa Anita.
"Hai, Anita!" sahut Kamilia.
Suara mereka terdengar samar di antara hingar-bingar suara musik. Anita duduk di sisi Kamilia. Kursi yang berbentuk sofa memudahkan mereka untuk saling mendekat. Dua wanita cantik itu terlibat percakapan akrab sesama teman lama.
"Aku sempat bertemu Bagas kemarin," kata Anita membuka percakapan. "Bagaimana kabar dia?" tanya Anita.
Hatinya merasa tertarik dengan Bagas. Sejak pertemuan kemarin bayangan lelaki muda itu selalu hadir mengisi mimpinya. Andai Bagas mau menerima dirinya yang kotor, Anita berjanji akan memberikan seluruh hidupnya.
"Hem … ada apa nih?" Kamilia meledek Anita. "Tante Melly ke mana?" Sejak tadi Kamilia tidak melihat wanita itu menyambutnya. Biasanya dia akan segera menghampiri Kamilia.
"Tante Melly ke luar negeri," jawab Anita. Pipi Anita seketika merona merah. Dia malu mendapatkan sindiran dari Kamilia. Rahasia hatinya terkuak sudah. Kadung malu akhirnya Anita mengakuinya.
"Mila, kau jangan marah! Mata tajamnya telah memikatku, aku cukup tahu diri. Sudah berusaha untuk melupakan, tetapi kakakmu itu tidak bisa hilang dari pikiranku, bagaimana ini?"
"Hihihi. Siapa suruh kau jatuh cinta?" Kamilia tertawa kecil sambil meledek Anita lagi.
"Tolonglah, Mila. Dia telah mengisi hatiku … ah seandainya dia sayang aku, apalagi yang kucari."
Begitu banyak cerita tak habis tentang Bagas dari celotehan Anita. Gadis itu begitu berapi-api menceritakan segala sisi baik Bagas. Tentu saja Anita tidak tahu, bagaimana Kamilia bisa kenal dengan Bagas. Seandainya dia tahu, mungkin gadis itu akan berbalik mengutuk Bagas.
**
Begitu semangatnya Anita bercerita. Tanpa mereka sadari sepasang mata elang begitu tajam menukik, memperhatikan mereka. Mata tajam tetapi bersinar lembut. Ia memperhatikan Kamilia begitu dalam.
Lama sekali lelaki itu memperhatikan Kamilia. Ia mengingat-ingat rasanya pernah bertemu dengan gadis itu. Lupa, entah di mana. Seorang pelayan dipanggilnya.
"Siapakah gadis itu?" tanya lelaki itu kepada pelayan.
"Kamilia, Tuan," jawab pelayan.
Dahi lelaki itu mengernyit, pertanda otaknya bekerja keras. Pelayan itu heran, mengapa lelaki itu tidak mengenal Kamilia. Wanita itu cukup terkenal sebagai model Ibukota.
"Dia model itu lho, Pak," kata pelayan lagi.
"Aduh! Mengapa aku lupa!" serunya sambil menepuk jidatnya.
Seruan yang cukup keras. Anita menghentikan celotehnya tentang Bagas. Mereka melihat ke arah laki-laki tersebut. Sesaat pandangan Kamilia dan lelaki itu beradu. Kamilia menunduk, mata itu terlalu tajam memandangnya. Hati Kamilia berdesir, entah mengapa, tatapan itu begitu menghipnotis.
Anita menyikut Kamilia. Memberi isyarat bahwa laki-laki itu terlalu menarik untuk dilewatkan. Dia bersiap-siap untuk merayunya. Syukur-syukur dia mau memakai jasanya.
"Hai, Tuan," sapanya lembut. Tangannya menyentuh bahu lelaki itu. Dengan halus lelaki itu mengambil tangan Anita. Sebuah penolakan yang elegan.
"Boleh tahu namanya," kata Anita lagi. Tentu saja senyum nakal sudah dia lemparkan.
"Garganif," jawab lelaki itu. Pandangannya tetap tertuju kepada Kamilia.
"Wow! Nama yang sangat bagus, persis seperti pemiliknya." Anita tidak putus asa merayu lelaki itu.
"Aku mau wanita itu," kata Garganif.
"No, dia bukan penghuni rumah bordil ini," jelas Anita.
"Kalau begitu aku mau ngobrol saja dengannya," ujarnya sambil meninggalkan Anita.
Anita kecewa lelaki setampan Garganif tidak tertarik dengannya. Walau kecewa Anita bersikap profesional. Dia beranjak mendekati tamu-tamu yang lain. Wanita itu menawarkan jasanya untuk bercinta satu malam dengannya. Tentunya dengan imbalan beberapa lembar merah rupiah.
Garganif duduk di samping Kamilia. Mengulurkan tangannya, sambil menyebutkan namanya. Disambut Kamilia dengan senyum malu-malu. Mereka membisu untuk beberapa saat. Bingung memulai pembicaraan dari mana.
Kamilia yang belum sembuh betul, merasa kepalanya sedikit pusing. Wanita itu berdiri, Garganif ikut berdiri. Lelaki itu tidak mau kehilangan jejak Kamilia. Ibarat seorang pemburu, dia tidak mau kehilangan incarannya.
"Kamu mau ke mana, Kamilia?" tanya Garganif.
"Pulang," jawab Kamilia.
"Aku antar, wajahmu pucat sekali." Garganif mengambil inisiatif untuk mengantarkan Kamilia. Wanita itu memberikan kunci mobilnya kepadanya.
Mobil melaju perlahan, lelaki bermata setajam elang itu masih diam. Rasa kaku merayapi perasaan mereka berdua. Kamilia tidak mengharap apa-apa dari lelaki di sampingnya kini. Pengalaman telah begitu banyak menempanya. Dia tidak mau lagi terjerumus ke dalam lubang yang sama.
Cukup sudah masa yang dilaluinya penuh dengan air mata. Tuhan rupanya belum berkenan mengeringkan air matanya. Selalu ada kisah dibalik runtuhnya rasa percaya.