Kenyataan bahwa Wiliam Garganif –suami Kamilia, sudah mempunyai istri, sungguh membuat Kamilia menjadi patah hati. Lelaki itu tidak berusaha untuk menjelaskan apa pun kepadanya. Kebohongan terus terungkap, Garganif tidak dapat lari lagi.
Gerimis mulai turun saat Kamilia meninggalkan rumah sakit. Bumi seakan-akan berada di pundaknya kini. Berat sekali kenyataan yang mesti dia terima. Pandangan matanya menjadi kabur karena hujan dan air mata. Mereka berlomba untuk meneteskan air lebih banyak lagi.
Sempurna sudah kini lukanya. Garganif yang begitu ideal, figur seorang suami idaman ternyata sudah beristri. Mengapa dia mendapatkan status masih bujangan, padahal istrinya tengah hamil tua. Kamilia ingin sekali mengakhiri hidup rasanya. Gelap sudah hatinya, tidak ada cahaya sedikit pun.
Kamilia membuka pintu mobilnya. Hujan menyambutnya, rintiknya menampar wajahnya. Untuk sesaat Kamilia diam, membiarkan air mata dan hujan berbaur. Itulah mengapa, Kamilia suka hujan. Hujan menyamarkan dirinya yang sedang menangis. Kamilia menggigil kedinginan, menusuk sampai ke tulang. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari rasa hatinya saat ini.
"Jika memang benar adanya dirimu seperti itu … tolonglah bicara. Tidak semudah itu menyelesaikan semuanya. Aku hanya ingin penjelasan darimu," desis Kamilia. Wanita itu mulai menangis lagi.
Kamilia membiarkan dirinya terlelap dalam tangisnya. Memimpikan kembali masa-masa indah bersama Garganif. Hatinya tidak rela bila orang lain merenggut kebahagiaannya. Namun, apakah tidak terbalik kenyataannya. Kamilia yang merebut kebahagiaan orang lain. Perset*n dengan semuanya, yang jelas hatinya sakit dan terluka.
Hidupnya sudah terasa indah dengan kehadiran Garganif. Sosok lelaki sempurna pelengkap hidupnya. Akankah hidupnya tetap indah, andai Kamilia kehilangan dirinya.
**
Sore hari Kamilia mencoba menelpon suaminya.
Kamilia : "Kau di mana, Sayang?"
Garganif : "Di kantor. Ada apa, Sayang?"
Kamilia : "Tidak apa-apa."
Kamilia memutus percakapan mereka. Ide bagus muncul di kepalanya. Dia akan pergi ke rumah sakit, menemui Paulina.
Setelah yakin yang di kamar itu Paulina, Kamilia masuk, sekejap tampak Paulina terkejut. Namun, dia cepat menguasai diri.
"Siapa?" tanya Paulina.
"Aku temannya Garganif, anak pertama?" tanya Kamilia. Dia menunjuk bayi mungil di hadapannya.
"Eh … i iya." Paulina kelihatan gugup.
Kegugupan-kegugupan selanjutnya menjadi tanda tanya dalam diri Kamilia. Paulina seperti ragu-ragu ketika menyebut Garganif sebagai suaminya.
"Ada apa dengan wanita ini? Apakah Garganif melarang dia mengakuinya sebagai suami?" pikir Kamilia. "Sungguh laki-laki biadab! Istrinya sendiri tidak diakuinya."
Satu jam bersama Paulina membuat Kamilia semakin tidak mengerti dengan Garganif. Terlalu banyak rahasia yang disembunyikan suaminya tersebut. Paulina sangat gugup menjawab pertanyaan-pertanyaan wajar dirinya.
"Siapa namanya?" tanya Kamilia.
"Belum ada," jawab Paulina.
"Papanya belum menyiapkan nama?" tanya Kamilia lagi dengan heran.
Paulina menggelengkan kepalanya. Wanita itu kemudian menunduk sedih. Kamilia kembali heran.
"Mengapa Garganif tidak menyiapkan nama anaknya?" tanya Kamilia.
"Apa? Garganif?" Dengan mimik heran Paulina balik bertanya.
"Lho, Garganif kan bapaknya? Mengapa dia tidak mau memberi nama anaknya?"
"Anu … eh i iya, dia … dia bilang nanti mau kasih nama," jawab Paulina terbata-bata. Sinar matanya murung, sukar untuk ditebak. Kamilia semakin tidak mengerti.
Kamilia pulang dengan beribu tanda tanya dalam hatinya. Entah mengapa, wanita itu seperti merasa banyak keganjilan dalam diri Paulina.
**
Garganif mampir kembali ke rumah sakit setelah dari kantor. Paulina tersenyum menyambutnya. Wanita itu merasa sangat bersyukur Garganif memperhatikan dirinya.
"Ada yang mau aku omongin," kata Paulina.
"Apa?"
"Tadi ada seorang wanita, dia mengaku temanmu. Cantik sekali orangnya mirip model tapi juga ramah, dia banyak bertanya." Paulina berkata sambil memperhatikan bayinya.
"Namanya siapa?" tukas Garganif.
"Aku lupa tidak menanyakannya. Dia bilang anakku harusnya kamu yang memberikan nama. Dia seperti heran dengan dirimu yang belum memberikan nama," kata Paulina lagi.
Deg!
Garganif menduga kalau wanita itu adalah Kamilia. Sejenak dia memandang bayi Paulina. Untuk sesaat dia tercenung. Bingung harus bagaimana. Untuk menjelaskan kepada Kamilia Garganif belum bisa. Sebelum Paulina keluar dari rumah sakit.
"Bayi ini, bagaimana?" tanya Paulina. Wanita itu memandang bayinya. Dia menangis membayangkan nasibnya kini.
"Aku harus berbicara dulu dengan Kamilia," jawab Garganif.
"Kamilia?" tanya Paulina.
"Ya, dia istriku. Aku harus pulang sekarang. Nanti sore aku datang lagi," jawab Garganif.
**
Kamilia tertidur dengan air mata yang mengering di pipi. Bangun di sore hari, dia melihat suaminya belum pulang. Tiba-tiba kemarahannya muncul. Wanita itu beranjak ke depan cermin. Melihat mata sembab terpantul di dalamnya.
"Pasti sekarang dia ada di rumah sakit. Aaah! Bajingan kau!"
Praaang!
Kamilia seketika memukul cermin di hadapannya. Tatapannya kosong, matanya tak lagi mengalirkan air. Bersamaan dengan itu, Garganif muncul di depan pintu kamar. Lelaki itu terdiam seperti patung. Pelan-pelan dia menghampiri Kamilia. Berjingkat di antara pecahan kaca. Lelaki itu mencoba memeluk istrinya. Kamilia bergeming, luka hatinya sudah semakin dalam. Mata wanita itu bersinar kala memandang Garganif.
"Pergi!" desis Kamilia. Dia mengacungkan telunjuk ke arah suaminya.
"Tidak! Aku harus berbicara kepadamu," tolak Garganif.
"Aku bilang, pergi … pergiii!" usir Kamilia.
"Tidak! Tenanglah … biarkan aku berbicara!"
"Apalagi yang akan kau sangkal hah! Sudah sangat jelas dia melahirkan anakmu! Kamu mau bicara apa lagi!?" tuduh Kamilia. Wanita itu sudah sangat kalap. Kemarahannya sudah sampai ke ubun-ubun. "Kamu sudah sangat menyakitiku … pergilah!"
Garganif tetap berada di kamar. Dia berusaha menenangkan Kamilia. Ada darah yang mengalir dari tangan Kamilia. Garganif membuka dasinya lalu mengikat luka dengan dasi itu.
Kamilia sedikit tenang, Garganif membawanya ke dalam pelukan. Kamilia masih berontak, tetapi Garganif semakin erat mendekapnya.
"Aku minta maaf, Sayang … aku minta maaf. Kita harus bicara." Garganif tetap memeluk Kamilia.
Harum tubuh lelaki itu menenangkan Kamilia. Dia menangis di dada Garganif. Lelaki itu tetap mendekap istrinya, beberapa kali dia mencium ubun-ubun wanita itu.
"Paulina bukan istriku," jelas Garganif.
Tubuh Kamilia menegang, wajahnya menengadah, mencoba mencari kejujuran di mata suaminya. Bagaimana mungkin dia bilang Paulina bukan istrinya. Lelaki ini memang selalu pandai bermain kata. Entah apa rencananya kali ini.
"Kebohongan apa lagi ini?" tanya hati Kamilia.
Garganif maklum dengan tatapan Kamilia. Dia masih tetap memeluk Kamilia. Berharap bisa menularkan ketenangan lewat dekapannya. Kamilia mengeluh dalam hatinya. Wanita itu selalu luluh dalam permainan Garganif. Kamilia ingin tahu, lakon apa lagi yang akan diperlihatkannya.
"Dia bukan istriku!" Sekali lagi Garganif berbisik.
Akhirnya Kamilia bisa tenang. Tangisnya reda, dia duduk di pinggir tempat tidur dan menunduk. Kemudian, memandang Garganif meminta penjelasan.
"Paulina adalah istri dari temanku, Rico. Dia meninggal saat kandungan Paulina berusia tujuh bulan. Nah, saat mau melahirkan dia bingung harus minta tolong siapa. Teman suaminya hanya aku yang dia tahu. Waktu malam pernikahan kita, kamu masih ingat, Sayang? Makanya dia menelpon karena ada kontraksi malam-malam itu." Garganif menghentikan sejenak perkataannya. "Aku bingung bagaimana caranya memberitahumu, keadaan semakin mendesak. Aku harus menandatangani berkas-berkas untuk operasi Paulina," lanjut Garganif.
Kamilia hanya diam, mencoba mencerna perkataan suaminya. Kamilia menatap wajah suaminya. Terlihat kesungguhan di sana. Garganif mengangguk meyakinkan Kamilia.
"Kemana keluarga Paulina?" tanya Kamilia.