Sebaliknya, ia berkata, "Sisanya untuk Pendeta Ivan Stefanus. Kau tahu dia? Dia selalu muncul di televisi belakangan ini, dari Missouri, dan dia melakukan banyak perbuatan luar biasa di seluruh dunia dengan sumbangan kami—membangun rumah tua, memberi makan bayi, mengajarkan Injil. Aku ingin dia yang salah satu mendapatkannya."
"Seorang penginjil televisi?"
"Oh, dia lebih dari sekadar penginjil. Dia adalah guru, negarawan, dan ahli hukum, menghadiri jamuan, makan dengan para kepala negara, juga dia benar-benar orang yang cakap. Rambutnya penuh uban ikal, dia tidak akan menyemirnya."
"Tentu saja. Tapi..."
"Kemarin dia meneleponku. Bisakah kau percaya? Suaranya di televisi selembut sutra, tapi di telepon suaranya sungguh merayu. Tahu maksudku?"
"Ya, saya rasa kalau saya tahu. Kenapa dia menelepon Anda?"
"Nah, bulan lalu, ketika mengirim janji sumbangan untuk .bulan Maret, aku menulis kepadanya catatan pendek. Isinya aku sedang mempertimbangkan akan merombak surat wasiatku karena anak-anakku menelantarkan aku dan seterusnya, dan aku berpikir akan menyumbangkan sejumlah uang bagi gerejanya. Tidak sampai tiga hari kemudian dia menelepon, dia sendiri, begitu manis dan menggetarkan di telepon. Dia ingin tahu, berapa banyak yang hendak kusumbangkan kepadanya dan gerejanya. Aku memberikan angka kasar, dan sejak itu dia terus menelepon. Katanya dia bahkan mungkin akan terbang untuk bisa segera menemuiku, kalau aku menghendakinya demikian. "
Aku berkutat mencari kata-kata. Stephen sedang memegangi lengan Neely, berusaha menenangkannya dan mendudukkannya sekali lagi di hadapan Mila Fox, yang saat itu sudah habis keangkuhannya dan jelas malu oleh klien pertamanya, sampai siap merangkak ke bawah meja. la melihat sekeliling, dan aku melontarkan senyum cepat agar ia tahu aku sedang mengawasi. Di sampingnya, Locke sedang terkunci dalam konsultasi dengan satu pasangan tua. Mereka membahas sebuah dokumen yang kelihatannya surat wasiat. Aku merasa puas mengetahui bahwa surat wasiat yang sedang kupegang jauh lebih bernilai daripada yang sedang ia amati.
Aku memutuskan untuk mengganti pokok pembicaraan. "Em, Miss Natalie, Anda tadi bilang kalau anda punya dua anak. Reynolds dan..."
"Ya, Matt Dilton. Lupakan dia juga. Sudah tiga tahun aku tidak pernah mendengar apa pun darinya. Dia tinggal di Mexico. Coret, coret, coret."
Aku menggores dengan penaku dan Matt Dilton kehilangan jutaan dolar.
"Aku perlu memeriksa Neely," ia berkata tiba-tiba dan melompat berdiri. "Dia orang malang yang menyedihkan. Tidak punya keluarga, tak punya teman kecuali kami."
"Kita belum selesai," kataku.
la membungkuk dan sekali lagi wajah kami hanya terpisah beberapa senti. "Kita sudah selesai, Edward. Kerjakan saja seperti yang aku katakan. Masing-masing satu juta untuk empat orang itu, dan sisanya untuk Ivan Stefanus. Semua yang lain dalam wasiat itu tetap sama; eksekutor, wali, semuanya tetap sama. Ini sederhana, Edward. Aku sudah berkali-kali mengerjakannya. Profesor Stephen mengatakan kalian akan kembali dalam dua minggu dengan segalanya sudah terketik bagus dan rapi. Benar begitu?"
"Saya kira begitu."
"Bagus. Sampai jumpa nanti, Ed." la berjalan meliuk-liuk ke ujung meja dan memeluk Neely yang langsung jadi tenang dan penurut lagi.
Aku memeriksa surat wasiat tersebut dan kemudian mencatat. Rasanya melegakan mengetahui bahwa Stephen dan profesor-profesor lain akan bersedia membimbing dan membantu, dan aku punya waktu dua minggu untuk berpikir dan memutuskan apa yang harus aku lakukan. Aku tidak perlu mengerjakan ini, kataku pada diri sendiri.
Perempuan kecil menyenangkan dengan 20 juta dolar itu butuh lebih banyak nasihat hukum daripada yang bisa aku berikan padanya. la butuh surat wasiat yang tak mungkin ia mengerti, tapi pasti diperhatikan oleh lembaga pajak. Aku tidak merasa tolol, hanya kurang memadai. Sesudah tiga tahun mempelajari hukum, aku sadar benar betapa sedikitnya yang aku ketahui.
Klien Harold dengan gagah berani berusaha mengendalikan emosi, dan pengacaranya sudah kehabisan kata-kata untuk diucapkan. Harold terus menulis catatan dan mendenguskanya atau tidak setiap beberapa detik. Aku sudah tak sabar untuk bercerita tentang Miss Natalie dan kekayaannya kepadanya.
Aku melirik ke kerumunan yang mulai menipis, dan di deretan kedua aku melihat satu pasangan yang kelihatannya sedang menatapku. Pada saat itu, akulah satu-satunya pengacara yang tersedia, dan mereka kelihatan bimbang apakah akan mencoba keberuntungan denganku. Si perempuan memegang seberkas surat tebal yang diikat menggunakan karet gelang. la menggumamkan sesuatu dengan suara tertahan. Suaminya menggelengkan kepala, seolah-olah ia lebih suka menunggu salah satu elang muda lainnya yang cemerlang.
Perlahan-lahan mereka berdiri dan berjalan menghampiri mejaku. Mereka berdua menatapku ketika berjalan mendekat. Aku tersenyum. Selamat datang ke kantorku.
Perempuan itu mengambil kursi Miss Natalie. Sedang suaminya duduk di seberang meja dan menjaga jarak.
"Hai," kataku sambil tersenyum dan mengulurkan tangan. Si suami menjabatnya lemas, kemudian aku mengangsurkan tangan kepada si istri. "Saya Edward Cicero."
"Aku Smith dan ini Eddy," katanya, sambil menunjuk pada Eddy, tanpa menghiraukan tanganku.
"Smith dan Eddy," aku mengulangi dan mulai mencatat. "Apa nama keluarga kalian?" Aku bertanya dengan sikap hangat khas penasihat hukum kawakan.
"Jack. Smith dan Eddy Jack. Ya, em, sebenarnya Duke dan William Jack, tapi semua orang memanggil kami Smith dan Eddy." Rambut Smith disasak dan diberi kilau perak di atasnya. Terlihat bersih dan elegan. la memakai sepatu kanvas warna putih murahan, kaus kaki cokelat, dan jeans yang tampak longgar, khas model fashion eksentrik klasik. Tubuhnya kurus kering dan sikapnya keras.
"Alamat?" tanyaku.
"Nine Fifty-Land Bawton, di Houston."
"Apakah saat ini kalian sudah bekerja?"
Ketika aku menanyakan hal itu, Eddy masih belum mau buka mulut, dan aku mendapat kesan sudah bertahun-tahun ini kalau Smith yang menguasai pembicaraan.
"Aku mendapat tunjangan Jaminan Sosial Disabilitas," katanya. "Usiaku baru lima puluh delapan tahun, tapi jantungku tidak sehat. Dan Eddy mendapat pensiun, kecil."
Sementara Eddy hanya memandangku. la memakai kaca mata tebal dengan gagang plastik yang nyaris tak sampai ke telinga. Pipinya merah dan gemuk. Rambutnya acak-acakan dan kelabu, dengan nuansa warna kecokelatan. Aku ragu kalau rambutnya itu sudah satu minggu berlalu tidak dicuci. Dan kemejanya yang dipenuhi kombinasi hitam-merah bahkan lebih parah lagi.
"Berapa usia Mr. Jack?" aku bertanya pada Smith, aku masih merasa tidak yakin apabila aku bertanya ke Mr. Black dia bisa menjawabnya atau tidak.
"Please, dia Eddy, oke? Smith dan Eddy. Dan tidak perlu pakai mister segala, oke" Raut wajahnya terlihat sedikit kesal. "Usianya enam puluh dua tahun. Bisa aku katakan sesuatu?"
Aku mengangguk cepat. Sambil sekilas aku melirik Eddy yang sedang mencuri pandang ke arah Bolie yang ada di seberang meja.
"Dia tidak sehat," ia berbisik dengan anggukan sepintas ke arah Eddy. Aku memandangnya. Dan ia membalas pandangan kami.
"Cedera perang," katanya. "Saat itu terjadi di Korea. Apa kau tahu sebuah detektor yang baisanya ada di bandara?"