Naira ingat saat dirinya dijodohkan dengan kenalan ayahnya. Naira tidak tau pernikahan itu akan seperti sekarang ini. Hancur berantakan dengan sebuah perceraian yang menyakitkan.
Dulu, usia Naira masih sekitar 20 tahun. Dia tidak pernah berpikir untuk menikah, Naira ingin melanjutkan sekolahnya dan juga menjsdi orang sukses. Nasib berkata lain, usaha ayahnya mengalami kebangkrutan. Impiannya harus dikubur dalam-dalam. Naira harus menerima kenyataan pahit, menikah karena perjodohan juga permintaan kedua orang tuanya. Dia tidak bisa berkata apa-apa atau sekedar menentangnya. Di samping itu juga, ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya walau sebenarnya itu sangat menyakitkan.
Naira menerima perjodohan itu dengan buta akan sifat laki-laki yang akan menjadi suaminya kelak. Naira duduk berdampingan bersama laki-laki yang benar-benar acuh padanya di pelaminan. Bahkan saat akad pun, laki-laki yang tak lain adalah Yogi itu sengaja mengucap ijab qobul secara asal-asalan, dan pernikahan itu hampir gagal gara-gara Yogi. Andai saja kedua orang tuanya tidak menegurnya, mungkin pernikahan itu tidak akan pernah terjadi.
Hari pun berjalan dengan sangat cepat, Yogi benar-benar mengabaikannya. Ia tidak pernah dianggap sama sekali oleh Yogi, bahkan tidak pernah sekalipun Yogi melihat kearahnya maupun menyentuh Naira, walau hanya sekali. Sikap dingin dan kasar laki-laki itu mulai terlihat setelah dua bulan pernikahan.
Ia berharap Yogi sadar, tapi harapan itu tinggallah harapan, rumahnya bagai neraka, biduk rumah tangganya layak dua orang yang tidak saling suka terpaksa menikah akibat perjodohan.
Hingga suatu malam, tepatnya tiga bulan setelah menikah. Pada jam dua belas malam. Naira terlelap tidur menunggu Yogi pulang di ruang makan. Makanan yang terlihat lezat tertata rapih di meja makan. Naira sadar, Yogi tidak akan sudi memakan masakannya itu. Tetapi ia tetap masak sesuai apa yang pernah diajarkan ibunya. Naira terbangun kala telinganya lamat-lamat mendengar suara mobil berhenti di depan rumah.
Ia bergegas bangun dan melangkah ke arah pintu sambil mengucek mata. Di luar rumah, ia di sungguhi pemandangan yang membuat matanya sedikit memincing. Yogi dipapah oleh seorang wanita cantik berpakaian seksi, sedang berusaha membawa Yogi masuk ke dalam rumah. Ini kali pertama Naira melihat perselingkuhan langsung antara Yogi dengan wanita lainnya.
Naira membuka pintu dan menghampiri wanita itu dan Yogi. "Biar saya saja." Namun Yogi menepis tangannya dengan kasar.
"Jangan sentuh tanganku, bodoh! Kau pikir aku akan merubah pikiran dan menyukaimu, Huh?" bentak Yogi sangat kasar, dan itu membuatnya merasa sakit hati. Wanita itu tersenyum, namun terlihat begitu merendahkan. "Dan kau tahu wanita tolol?" tunjuk Yogi di lengan Naira. "Dia adalah kekasihku, wanita seperti ini yang kumau, bukan wanita kuno, jelek dan bodoh sepertimu itu!" Menekan jari telunjuknya di lengan Naira hingga ia mundur beberapa langkah.
"Ayo sayang, kita masuk!" ujarnya. Hati Naira terluka, goresan yang Yogi torehkan begitu menyakitkan. Bagaimana tidak, suaminya masuk ke rumah dengan wanita lain di hadapannya. Merangkul, bermesraan dan juga saling melempar pujian.
Naira melihat Yogi berjalan sambil memeluk pinggul wanita itu, dan wanita itu meliriknya sambil memberikan dirinya cibiran. Naira sudah berusaha tenang dan tetap bersabar, namun, di hatinya selalu ada luka yang baru dan baru lagi.
Yogi tidak peduli akan perasaannya, sekali ia berselingkuh. Lalu ia datang bersama wanita lain, dan parahnya lagi, laki-laki itu melakukannya di kamar Naira dan Yogi biasa tidur berdua. Sekarang, ia harus melihat apa yang sedang terjadi.
Pintu yang tidak tertutup membuat Naira jelas melihatnya. Yogi mencium wanita itu, menjamahnya bahkan ia senang meremas-remas bukit kembar yang sangat montok milik wanita itu. Kemarin pun Yogi lakukan hal sama tanpa mempedulikan kehadiran dirinya di rumah itu.
Hati Naira terkoyak, hancur bagai kaca yang berkeping-keping hingga menjadi serpihan kecil yang dapat menusuk hingga di hati yang terdalam. Naira berdiri di dinding, ia sudah tidak sanggup melihatnya. Namun telinganya masih ingin mendengarkan apa yang sedang terjadi. Suara desahan napas keduanya membuat air matanya terjatuh dan terjatuh lagi. Bagaimana tidak, sekalipun Naira tidak pernah disentuhnya semenjak dinikahi Yogi.
"Ya Tuhan, kenapa ini terjadi padaku?" bisik batinnya perih. "Apa salahku Tuhan?"
Tubuhnya beringsut turun dan akhirnya ia berjongkok, entah harus berapa lama ia harus bertahan. Tetapi ia terus bertahan di ambang pintu, melihat suaminya bercinta dengan wanita yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. Mungkin itu adalah kekasihnya yang lain. Pikir Naira di sela-sela batinnya berkecambuk.
Ia menutup mulutnya, ia tahan isak tangisnya. Tidak ingin Yogi marah padanya, ia tidak mau tamparan melayang saat ia menangis, memergoki sebuah pesan mesra dari seorang wanita dengan nama 'Wanita Pujaan' itu. Dia juga tidak bisa melarang apapun yang Yogi inginkan, bisa-bisa tangannya akan kembali melayang dan lalu menyakitinya.
"Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?"
Setelah satu jam, wanita itu keluar dengan keadaan yang berantakan. Tanpa ditebak, Naira sudah tau dan sudah menyaksikan sendiri oleh mata kepalanya sendiri.
"Wow, lihat siapa ini?" Naira berdiri. Benar saja, Yogi tertidur dalam keadaan bugil. "Kasihan ya, istri sahnya nungguin suaminya di luar sambil duduk di lantai. Persis seperti seorang pengemis!" kata Wanita itu menyindir. Ia mengeluarkan sebatang rokoknya. Kemudian ia menyulutkan rokok itu, asap pun mulai bermunculan. Dia menghisap rokok itu dan kemudian dihembuskan ke wajah Naira.
Naira tak menjawab, lalu ia terbatuk akibat kepulan asap rokok wanita itu. "Makanya, kalau cowoknya gak mau nikah sama elu, mending gak usah dipaksa. Biar elu gak bego kayak gini dan gak sakit hati. Dan elu tau kan, suami elu itu doyan ngesek, rasa permainan laki elu itu benar-benar luar biasa!"
Degh!
Denyut jantungnya seolah berhenti. Ia mencoba bertahan walau ini benar-benar sakit. Naira meremas baju pada bagian dadanya, sangat kuat. "Sabar Nai, sabar ... suatu hari nanti Mas Yogi pasti akan tersadar!" pikirnya menguatkan batin yang terasa sakit.
"Sudah ya, gue balik dulu. Sering-sering deh, elu liat suami elu itu melakukan sex lagi dan lagi sama wanita-wanita yang lain," ujar Wanita itu sambil menghembuskan asap rokok di muka Naira. Lalu nyelonong pergi.
Naira hanya bisa melihat wanita itu yang semakin jauh dan akhirnya menghilang dari balik pintu rumahnya. Naira berjalan pelan, menghampiri Yogi yang sangat kelelahan. Entahlah, Naira hanya bisa berharap pada Tuhan suaminya segera tersadar. Ia kemudian menyelimuti tubuh tengkurap dalam keadaan bugil itu.
Duduk di samping Yogi yang tertidur pulas. "Sampai kapan kau akan melakukan ini, Mas? Sampai kapan?" bisik batinnya lirih. Ia pun keluar kembali, membiarkan suaminya tertidur. "Bahkan kamu belum menyentuhku tubuh sedikitpun. Kamu juga selalu memandangku jijik setiap harinya! Apakah aku tidak bisa memuaskan kamu, Mas?" katanya pelan.
Naira beranjak bangun, lalu keluar kamar. Wanita malang itu menghempaskan bokongnya di sofa, duduk terdiam dengan tatapan kosong. Namun pikirannya sangat kalut dan berkecambuk dengan adegan demi adegan yang Yogi dan pasangan selingkuhnya lakukan yang belum pernah ia melakukan pada suaminya itu.
Dan, tiba-tiba saja butiran bening berjatuhan. Membasahi pipi dan menyeberangi telaga kesedihan yang sedang ia rasakan. Berujung di dagu dan akhirnya jatuh ke pangkuan. Kemudian dia berbaring di sofa.
Harapan tinggallah harapan, Yogi tetap saja melakukan. Melakukan secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi di beberapa hotel. Naira tahu itu, ia mengikuti. Mulai cemas dan cemburu juga takut.
Tapi itulah kenyataannya. Kenyataan pahit yang harus dia terima hingga ia memutuskan untuk bercerai dalam keadaan hamil. Ya, ia hamil. Saat itu hujan turun, Yogi tidak seperti biasanya. Mabuk tanpa ditemani seorang wanita manapun malam itu.
"Buka ... buka pintunya cepat, Wanita bodoh!" teriaknya sambil menggedor-gedor pintu. Yogi terlihat sangat emosi.
"Iya ... iya sebentar!" sahut Naira dari dalam. Dia hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuhnya. Rambutnya basah tergerai, dia habis mandi dan terburu-buru mendengar suara ocehan Yogi yang semakin kencang. Naira membukanya.
"M-mas!" Yogi tak menjawabnya. Netranya justru melihat tubuh Naira yang terbalut handuk. Naira tergugup dan risih di pandangi seperti itu walau laki-laki itu adalah suaminya. "Sini aku bantu!" kata Naira membuyarkan lamunan Yogi terhadap tubuhnya.
"Aaah ... gak perlu! Jijik aku disentuh kamu, wanita bodoh!" umpat Yogi. Namun,
bruk.
Yogi terjatuh, Nair bergegas menghampirinya kemudian memapahnya. Membawa Yogi ke kamar walau laki-laki itu menolak dan memakinya. Semenjak perselingkuhan itu, Naira memutuskan untuk tidak tidur di kamar mereka berdua. Yogi yang dalam keadaan mabuk membuat harsat sexnya begitu besar, ia menarik tangan Naira hingga handuknya terlepas. Lalu dibanting ke kasur, Yogi yang tak sadar alias mabuk tersenyum tipis dan lalu mencium Naira. Hujan yang sangat deras membuat harsat Yogi kian bertambah besar.
"Mas, hentikan, Mas ... aah!"
Yogi terus memaksa Naira untuk melakukan hubungan yang belum pernah ia rasakan semenjak menikah. Dia bukan tidak menginginkan ini, tetapi, Naira tidak suka dipaksa untuk berhubungan badan. Namun Yogi menghujani tubuhnya dengan ciuman yang semula ia berontak menjadi ketagihan.
"Mas ... aku mohon, jangan lakukan ini Mas. Aku gak mau seperti ini, Mas. Lepaskan aku, Mas!" Ia berusaha berontak. Tetapi semua sia-sia, Naira terdiam. Sebab, setiap kecupan yang diberikan Yogi membuat ia terasa nikmat. Dan akhirnya ia pasrah saat Yogi menggagahi malam itu, malam di mana dia dalam masa subur.
****
Bersambung.