Sabina menyentuh tangannya, kenangan itu pun terbuyarkan oleh lembutnya kulit tangan Sabina. Naira tersenyum saat bocah berusia lima belas tahun ini masih terlihat menggemaskan di mata Naira sedang menatapnya. Semenjak berpisah dengan Yogi, ia tidak pernah sekalipun bertemu Yogi dan Sabina. Yogi memutuskan untuk menjual rumah itu dan ingin memisahkan Naira dari Sabina.
"Bu, apa Ibu tidak mau pegang tangan Bapak?"
"A-apa?"
"Ayo Bu, pegang tangan Bapak agar cepat sadar!" desak Sabina membuat Naira bimbang.
"Tidak sayang, itu tidak bisa Ibu lakukan. Mana boleh Ibu memegang tangan laki-laki yang sudah bukan muhrimnya!" Naira menolak mentah-mentah keinginan putri dari Yogi itu.
"Bukankah Ibu sudah janji akan melakukan apa saja untuk aku?"
"Ya, kamu boleh minta apa saja. Asalkan jangan menyuruh Ibu memegang tangan Bapakmu. Antara Ibu dan Bapak sudah lama bercerai, jadi jangan paksa Ibu untuk menuruti permintaan tidak masuk akal kamu ini, Sabina!" sergah Naira, baginya, Yogi sudah bukan siapa-siapa lagi.
"T-tapi Bu!"
"Sudah ya, sayang. Ibu harus menjemput anak-anak Ibu, adik-adik tirimu itu!" ujar Naira, dia beranjak bangun dan hendak pergi.
"N-Naira?" panggil Yogi. Ia sudah tersadar dan menahan tangan Naira agar tidak pergi dari ruangan itu.
Deg!
Jantung Naira seolah berhenti persekian detik. Dia tidak berani menengok dan juga tak berani melepaskan tangan kurus mantan suaminya itu. "Kamukah ini, Naira?" tanya Yogi. Kepala wanita itu tertunduk, dia meremas baju pada bagian dadanya. Rasanya sangat sakit, dan ini membuat ingatannya kembali lagi. Ingatan yang membuat hatinya tergores cukup panjang dan dalam.
****
Ingatan di mana dia sudah berada di titik terendah kesabarannya. Ia sudah dilecehkan dan diperlakukan sangat kasar. Hingga ia tidak bisa bersama-sama lagi. Naira keluar dari rumah itu dengan membawa koper berisi pakaiannya. Mungkin ini keputusan akhir yang sudah tidak bisa diganggu gugat lagi.
Naira menggeret kopernya, lalu keluar dan menaiki taksi yang sudah dipesan melalui online. Naira duduk di pinggir, matanya melihat keluar. Tangannya asik mengelus perut berisi janin, calon bayinya dengan Yogi.
Bayangan-bayangan buruk selama menikah dengan Yogi, ia tidak merasakan kebahagiaan. Dan ia pikir, dengan adanya anak dikandungannya bisa memperbaiki semua sifat buruk Yogi. Tetapi semua itu hanya angan-angan belaka. Laki-laki itu tidak sama sekali berubah sifatnya.
Tak terasa seluruh ruang dalam matanya sudah dipenuhi kabut yang memendarkan pandangan mata. Kabut itu mulai berkumpul dalam satu titik di ujung pelupuk mata. Andaikan ia boleh menangis di dalam taksi itu, ia ingin menangis sejadinya dan sekeras mungkin sampai hatinya tenang. Namun, ia tetap menahan sampai kabut di matanya berubah mengeras, menjadi kristal bening nan suci itu. Menunggu untuk jatuh.
Jari-jemari itu meremas baju pada bagian dadanya, ada rasa perih yang menyayat relung dalam hati. Wanita itu sudah tidak bisa menahan lagi rasa sakit itu, hingga kristal berwarna bening itu akhirnya terjatuh juga kepangkuan. Semula sedikit lambat laun kristal-kristal itu mulai membasahi rok yang dikenakan.
Roda taksi terus berjalan, sesampailah di sebuah rumah yang cukup megah, taksi itu berhenti. Naira turun setelah membayar tarif taksi. Ia menggeret kopernya masuk ke dalam rumah. Berdiri diam di depan pintu, jantungnya berdegup sangat kencang. Ia takut kedua orang tuanya tidak menerima kedatangannya secara tiba-tiba. Terutama ayahnya, ia tidak tau apa yang akan terjadi bila ayahnya mengetahui bahwa ia melayangkan gugatan cerai pada Yogi.
Naira menghela napas, mengumpulkan keberanian dalam hatinya untuk bertemu kedua orang tuanya itu.
Ting ....
Tong ....
Ia memencet bel beberapa kali. Menunggu dengan perasaan takut dengan reaksi kedua orang tuanya. Tak lama, pintu pun terbuka. Seorang wanita tua membuka pintu dengan ekspresi kaget dan tak menyangka siapa yang dia lihat. Anak gadisnya sedang berdiri di depan pintu.
"N-Naira?" sebut wanita itu. Naira tidak menjawab, ia memandangi Ibunya cukup lama.
"I-ibu!" Dan airmata itu kembali menetes deras, Naira memeluk erat wanita yang dipanggil ibu itu.
"A-ada apa Naira? Kenapa kamu menangis seperti ini?" Ibunya terlihat bingung, sudah lama ia tak datang ke rumah setelah menikah, tetapi ia datang dengan tangisan yang cukup membingungkan wanita paruh baya itu. "Kita masuk dulu, tidak enak nanti dilihat tetangga!" ujar Ibunya, wajahnya terlihat sudah banyak kerutan di sekitar matanya.
Naira menurutinya, Ibunya membantu membawa koper Naira. "Kamu duduk di sini, Ibu buatkan teh dulu biar kamu tenang!" Ibunya pergi ke dapur setelah Naira mengangguk.
Naira duduk terdiam, ia bagai orang asing di rumahnya sendiri. Matanya melihat keadaan yang sudah ia tinggalkan kurang lebih selama setahun. Tak ada yang berubah, semuanya sama terkecuali cat dinding rumahnya. Berwarna merah muda.
Lalu, Ubunya datang saat ia hendak ingin melihat-lihat. Kemudian, wanita paruh baya itu meletakan secangkir teh hangat, asap masih terlihat mengepul dari dalam teh. Wanita itu duduk di hadapan Naira dengan wajah sangat kuatir. Selama ini, Naira tidak pernah menangis sesegukan seperti tadi di depan pintu. Tapi sekarang, Ibunya merasa ada yang berbeda.
Naira menyeruput teh, ada perasaan tenang walau hanya sekejap saja. Ia benar-benar baru merasakan ketenangan.
"Sekarang, apa kamu bisa menceritakan pada Ibu, apa yang terjadi sama kamu, Naira?"
Naira menatap sebentar kearah Ibunya, menghela napas, seolah ia sedang melepaskan beban yang berat di pundaknya. "A-aku ...." sekali lagi, Naira menghela napas. Ia sangat tahu, kenapa ia harus dijodohkan pada Yogi. Sebuah bisnis antar kolega Ayahnya agar bisnis itu tidak mengalami kebangkrutan. Bagi Naira dulu, ini sebuah keegoisan yang memaksakan dirinya menikah walau tak pernah ada cinta di hatinya pada Yogi. ".... ingin bercerai dari Mas Yogi!" ucap Naira.
"A-apa? Tapi kenapa, Naira?" desak ibunya penasaran. Ibunya cukup kaget mendengar keinginan putri satu-satunya itu. Selama ini, ia dan suaminya berpikir, pernikahan putrinya itu baik-baik saja. "Kenapa kamu harus sampai bercerai?"
"Aku sudah tidak tahan untuk hidup bersama dengan Mas Yogi, Bu!"
"Iya, memangnya kenapa? Kamu bisa jelaskan secara detail kan, pokok permasalahannya?" Wanita semakin mendesaknya. Ia sangat penasaran dengan jawaban Naira.
"Dia berselingkuh, sudah berkali-kali ia berselingkuh di hadapanku dan juga di belakangku ...." kata Naira mulai bercerita. Ia sudah tidak tahan merahasiakan semua yang ia rasakan selama menikah dengan Yogi, kesabarannya sudah berada di ujung batas. Dan di saat itu juga, airmatanya menetes. Ia luapkan semua emosi yang sudah lama tertahan dalam batin dan pikirannya.
"Dia juga sering memukulku, merasa jijik terhadapku dan tidak pernah sekalipun menganggap aku seorang istri selama kami menikah!"
"A-apa? Dia melakukan semua itu padamu?"
Naira mengangguk, hati Ibunya terenyuh mendengar penuturan hati putri semata wayangnya. Ia seolah merasakan kekesalan apa yang dirasakan Naira saat ini. Begitu marah, bahkan sangat marah. Ia juga tidak mengira, pernikahan yang ia pikir baik-baik saja, ternyata begitu bobrok di dalamnya.
"Aku sudah tidak tahan, Bu! Aku tidak kuat terus menerus disakiti juga diselingkuhi Mas Yogi! Aku ingin cerai, aku tidak mau lagi meneruskan pernikahan ini," ungkap Naira dengan deraian airmata yang kian bertambah banyak.
Wanita ia berdiri, lalu duduk di samping Naira. Dipeluknya putri kesayangannya itu dengan erat, ia ingin memberikan ketenangan batin yang biasa ia lakukan kala Naira bersedih. "Ibu akan bilang sama Ayahmu! Ibu mendukung niat kamu untuk berpisah dari Yogi!"
"TIDAK BISA!" Suara lantang itu terdengar dari ambang pintu. Naira dan Ibunya menoleh dengan mata terbelalak. Kaget.
****
Bersambung.