Gunawan terdiam di mobilnya. Ia mengusap wajahnya setelah ia sudah sampai di parkiran. Ia tampak menyesali telah bertengkar dengan istrinya, namun perasaan kecewanya membuat ia begitu emosi saat Naira tidak menampik dengan tuduhannya.
Ia menghela napas, sesaat tadi sebelum sampai ke kantor ia hampir menabrak orang dua kali akibat pikirannya tak fokus ke jalan. Selalu teringat akan sikap Naira yang seolah mengakui ia menemui kembali mantan suaminya.
"Sial, kenapa cowok itu muncul lagi di hadapan kami setelah dua belas tahun dia tidak pernah kelihatan batang hidungnya?" pikir Gunawan sedikit kesal bila mengingat permasalahan Naira terhadap mantan suaminya itu. "Seharusnya dia menghilang saja dan tidak usaha kembali!" lanjutnya sangat kesal. Menenangkan diri di dalam mobil sejenak. Menyandarkan kepalanya ke bantalan kursi mobil, kepalanya saat ini rasanya mau pecah ketika teringat masa lalu istrinya yang begitu pahit.
Ia pun akhirnya keluar dari mobil. Waktu sudah sangat mepet. Dan saat ini semangatnya sedikit hilang akibat pertengkaran itu. Ia tidak menduga kejadiannya akan berakhir seperti ini.
"Pak Gunawan, akhirnya Anda datang juga!" ujar salah seorang wanita dengan berpakaian rapih dengan stelan blezeer dan rok berwarna senada. Gunawan menoleh.
"Bu Gita!" Sebutnya. Wanita yang bernama Gita itu menghampirinya.
"Bapak harus segera ke ruang rapat, Pak Presiden Direktur dan klien kita sudah menunggu Bapak dari tadi," katanya lagi.
"Aaah ... iya, saya lupa!" Gunawan menepuk jidatnya. "Maaf, tadi saya ambil file yang ketinggalan. Karena tiba-tiba ada masalah di rumah, jadi saya lupa kalau hari ini ada janji presentasi produk baru pada klien," lanjut Gunawan. "Ya sudah, tolong bilangin ke Pak Presiden Direktur, saya akan segera ke sana!"
"Baik Pak!"
Gita bergegas pergi ke ruang rapat. Dan Gunawan buru-buru ke toilet untuk mencuci muka dan merapihkan pakaiannya. Kemudian ia pergi ke ruang rapat.
Namun, apa yang di dapati Gunawan. Ruangan itu kosong. Hanya ada Gita yang menunggu di ruang rapat. "Lho, ke mana Pak Presiden Direktur dan kliennya, Bu Gita?" Gita berdiri dari duduknya.
"Maaf Pak, Pak Presiden Direktur dan klien kita sudah pergi." Wajah wanita itu tampak membias di antara cahaya lampu yang menerangi Gita di raung rapat itu.
"Lho, kenapa? Bukankah saya sudah minta waktu sepuluh menit?" Gunawan melihat ke arah pergelangan tangannya. "Bahkan saya cuma pakai waktu lima menit saja!"
"Kamu tau kesalahan kamu apa, Pak Gunawan?" Suara tinggi dan agak menggelegar itu terdengar dari belakang Gunawan.
Suami dari Naira itu menoleh. Ia kemudian menundukkan wajahnya. "Maaf Pak Presiden Direktur. Semua ini memang salah saya, tadi file saya ketinggalan di rumah!"
"Tidak ada alasan! Kau sendiri yang menyanggupi bertemu klien di jam sepuluh pagi. Tapi kau sendiri yang datang terlambat, Gunawan," sergah laki-laki setengah tua dengan setelan jas berwarna biru muda. Sisiran rambut yang terbelah pinggir tampak klimis dengan pomade. "Kau tau berapa nilai proyek ini, Pak Gunawan?"
"S-saya tau, Pak! Saya benar-benar minta maaf pada Bapak!" ujar Gunawan.
"Percuma! Klien kita sudah tidak percaya lagi pada kinerja kita. Dan proyek delapan puluh miliar kita hangus begitu saja!" Laki-laki itu sangat marah dan kesal. Proyek yang sudah jauh-jauh hari di siapkan Gunawan harus lenyap gara-gara pertengkarannya dengan Naira.
"Tidak mungkin Pak, saya kenal klien kita itu, Pak. Beliau juga bersedia akan bekerja sama dengan perusahaan kita. Saya yakin, klien kita dari perusahaan Korea itu tidak akan membatalkan kontrak kerja sama yang sudah disepakati sebelumnya!" sergah Gunawan, ia benar-benar tau siapa kliennya itu.
"Sudah! Saya tidak mau dengar apa-apa lagi dari kamu. Lebih baik kamu kemasi barang-barang kamu dari sini!" Laki-laki itu sudah tak mau dengar apapun juga dari bibir Gunawan untuk menjelaskan.
Gunawan mengikuti langkah direktur tempatnya bekerja. "Pak, saya mohon untuk berikan kesempatan sekali lagi. Saya yakin, saya bisa mendapatkan proyek itu. Dan saya akan tunjukan pada Bapak!"
"Kenapa kamu begitu yakin, Gunawan?"
"Sebab saya sudah beberapa kali mengobrol dengannya. Dan saya berjanji kali ini, saya bisa menarik klien kita itu, Pak! Jadi anda tenang saja pada saya, Pak Presiden Direktur!"
"Jangan mengada-ada kamu, Gunawan! Klien kita itu sudah sangat kecewa dengan kinerja kamu tadi. Jadi, maaf ... saya tidak bisa memberikan kesempatan sekali lagi sama kamu!" sergah laki-laki bertubuh tinggi dengan setelan jas berwarna biru.
"Pak, tunggu Pak!" Gunawan menahan laki-laki pemilik perusahaan itu.
"Ada apa lagi, Gunawan? Saya sudah bilang sama kamu kan, kalau saya sudah tidak mau lagi mendengar apapun dari kamu," bentak laki-laki itu. "Sekarang minggir atau saya panggilkan satpam buat ngusir kamu dari sini!"
Gita, sekretaris laki-laki itu menahan Gunawan. "Pak, sudah Pak! Lebih baik Bapak pergi dari sini sekarang, sebelum semuanya bertambah kacau!" kata Gita menasehati. Gunawan terdiam, wajahnya pias. Ia tidak tau harus bagaimana lagi. Ia baru saja kehilangan proyeknya dan sekarang ia harus dipecat dari pekerjaannya ini.
Gunawan berbalik arah dan kemudian berjalan ke mejanya. Ia membereskan semua barang-barangnya itu.
"Pak Gunawan!" panggil Gita. Gunawan menoleh sebentar tanpa gairah. Lalu kembali fokus memebereskan barang-barangnya itu. "Maaf, saya hanya ingin memberikan kartu nama ini. Siapa tau, beliau bisa membantu Bapak mendapatkan pekerjaan baru!" tukasnya memberikan kartu nama berwarna putih itu.
Dengan ragu, Gunawan mengambilnya. Ia melihat nama dan alamat kantor serta jabatan yang tertera di kartu nama itu. "Siapa dia?"
"Dia adalah klien kita dan kita pernah bekerja sama dengan kantor beliau. Pak Carren sangat suka dengan kinerja Bapak, dulu Bapak masih di kepala bagian pelaksanaan produksi."
"A-apa? Lalu, bagaimana dia tau saya?"
"Beliau melihat hasil kinerja Bapak, dan menanyakan siapa orang dibalik pembuatan produk baru pesanan mereka itu. Saya memberitahu bahwa orang itu adalah Bapak, dan beliau ingin sekali Pak Gunawan bekerja di perusahaannya bila Bapak butuh pekerjaan!"
"Jadi--" Gunawan tidak melanjutkan kalimatnya. Ia hanya melihat kartu nama itu.
"Maaf kalau Bapak kurang berkenan, saya hanya memberikan informasi yang beliau butuhkan!"
Gunawan tersenyum, "Tidak apa-apa, Bu Gita! Saya justru berterima kasih pada Anda. Untuk saat ini, saya belum ingin bekerja lagi. Tapi saya akan menghubungi beliau kalau saya sudah bisa menenangkan pikiran saya," sergah Gunawan.
"Iya Pak, bila Pak Gunawan ingin menghubunginya, Bapak bisa menghubungi nomor yang tertera di kartu itu."
Gunawan tersenyum, dan kemudian ia berpamitan pada Gita dan karyawan lainnya. Gunawan meninggalkan ruangan itu dan pergi dengan tubuh yang gontai.
****
Sementara itu di rumah sakit. Jessica tidak menjaga Yogi yang sudah keluar dari ruang ICU. Ia dipindahkan ke ruang rawat setelah melakukan pemeriksaan dokter. Hanya putri berusia lima belas tahun yang duduk di samping Yogi dan menjaganya. Yogi duduk melamun menatap keluar jendela. Sebuah taman kecil terlihat indah di mata Yogi.
Sabina asik mengupas sebuah apel merah yang di bawakan ibu dari Yogi. Namun, di ruangan itu tak terlihat Jessica. "Ayah, ini apelnya. Ayah harus banyak makan buah-buahan sesuai anjuran dokter!" ujar gadis belia berusaha tegar.
Yogi menatap apel yang sudah terkupas bersih oleh Sabina. Namun Yogi enggan memakannya, ia menoleh kembali keluar jendela, "Buat apa, biar sebanyak apapun Ayah memakan buah itu, tetap saja Ayah akan mati juga!" Sambil berkata layaknya orang yang sudah tak punya kesempatan untuk hidup.
"Ayah, kok, ngomongnya begitu? Apa Ayah tidaj kasihan sama aku, kalau Ayah mati?"
"Entahlah, Sayang! Ayah juga tidak tau harus tetap hidup atau tidak. Tapi, Ayah rasa ini adalah karma atau hukuman dari Tuhan untuk Ayah karena sudah menyakiti istri pertama Ayah, yaitu Ibumu!"
Sabina menatap sendu, ia meletakkan apel yang sedikit demi sedikit sudah berubah warna menjadi kecoklatan. Gadis remaja itu menyentuh pelan punggung tangan ayahnya dengan lembut. Kemudian ia menggenggam jari jemari laki-laki yang sudah sangat kurus itu. Yogi menyadari, ia melirik sejenak, tersenyum getir dan lalu menatap kembali keluar jendela.
"Ayah menyesal telah menyakiti Ibumu setiap saat dari awal pernikahan hingga kami bercerai. Ayah tau, perbuatan Ayah sangat tidak pantas dan menjijikan. Tiap hari Ayah berselingkuh juga menyakiti Ibu secara fisik maupun batin." Yogi menghela napas panjangnya. Ada sesak yang mendadak menghalangi jalannya hembusan napas yang hendak ia lepaskan. "Sampai-sampai teman Ibumu, Mamah Jessica juga Ayah selingkuhi."
"Ayah, Sabina tau betapa sakitnya hati Ibu. Tapi, Sabina rasa, hukuman yang Ayah terima saat ini sudah sangat cukup untuk Ayah rasakan setelah menyakiti Ibu!" ujar Sabina berusaha membuat Yogi tenang sesuai anjuran dokter. Ia tidak mau ayahnya itu jatuh sakit untuk kesekian kalinya. "Jadi, Sabina minta Ayah jangan terus menerus menyalahkan diri sendiri!"
Yogi menatap wajah anaknya, ia merasa sangat beruntung bisa memiliki anak seperti Sabina yang masih mau mengurusinya.
"Tidak Sayang, seharusnya Ayah merasakan lebih dari ini. Kamu tau, Ayah bahkan sangat jijik saat melihat Ibumu. Bagi Ayah, Ibumu dulu layaknya sampah yang bau dan tidak pantas bersanding dengan Ayah." Yogi menahan isak tangisnya, namun di dadanya terasa sangat sakit.
Laki-laki yang sedang bertahan dengan penyakit mematikan itu menangis, ia sangat menyesali. Namun tidak ada yang bisa dilakukan kecuali tetap merasakan penyakit ini agar dosa yang telah ia lakukan pada Naira bisa sedikit terhapuskan.
Sabina memeluknya, ia pun ikut menangis walau tidak terdengar suara isaknya. "Ya Tuhan, maafkan Ayah. Sembuhkanlah penyakitnya ini!" ujarnya pelan, terus memeluk Yogi dan enggan melepaskannya.
****
Bersambung.