Gunawan pulang dengan wajah lesu. Kesal, dan bete pun tidak bisa terelakkan. Ia menaruh kardus berisi barang-barangnya dari tempatnya bekerja. Naira yang sedari tadi sibuk di dapur menyadari suaminya sudah pulang.
"Lho ... Mas, kamu sudah pulang?" tanya Naira, buru-buru ia mengelap tangannya ke celemek. Ia melihat jam di dinding, masih terbilang pagi. "Padahal masih jam 11 kurang, lho, Mas!" katanya duduk di samping Gunawan. Suaminya terdiam dengan wajah kesal. Ia melihat sebuah kotak terbuat dari kardus tergeletak di meja, kotak itu berisi barang-barang Gunawan dari kantornya. Tetapi Naira tidak berani bertanya, menunggu suaminya bercerita padanya.
Naira menyadari, Gunawan masih sangat marah padanya. Kejadian tadi pagi membuat wanita yang Gunawan nikahi dua belas tahun silam itu menyesalinya. "Mas, kamu tidak enak badan?" Naira berusaha melupakan semuanya, menganggap tidak terjadi apa-apa. Ia kemudian memeriksa kening Gunawan.
Tapi, laki-laki itu menepisnya dengan kasar. "Tidak usah pegang-pegang. Lagi pula, buat apa kamu peduli dengan keadaan saya? Bukannya kamu peduli dengan mantan suamimu itu dibandingkan dengan saya?" bentaknya, seolah meluapkan kekesalannya pada Naira. "Kamu tau, gara-gara kamu saya dipecat!"
Ucapannya sangat kasar, perlakuannya juga tak seperti biasanya. Naira kaget, ia memegang tangannya yang sempat kepentok pinggiran bangku. Dan dugaannya benar, Gunawan di pecat dari perusahaannya.
"D-dipecat? Bagaimana bisa? Bukankah kamu selalu jadi karyawan terbaik?"
"Ya bisa dan semua gara-gara kamu, Naira!" Gunawan kian marah. Naira terperangah dengan tuduhan Gunawan.
"Maaf, maafkan aku kalau kamu marah dan di pecat. Tapi, Mas--"
"Alaah ... sudah gak usah banyak alasan! Saya tidak mau mendengar apapun dari mulutmu itu!" bentak Gunawan menghentikan kalimat Naira yang menggantung. Ia meraih kunci mobilnya dan berjalan keluar.
"Mas!" panggil Naira mengikuti langkah suaminya itu. Tapi, ia dan Gunawan sangat terkejut melihat putri bungsunya ada di ambang pintu, sedang melihat mereka bertengkar. Wajahnya terlihat sedih, selama ini, baik Naira maupun Gunawan tidak pernah bertengkar. Dan ini kali pertamanya, pertama juga pertengkaran mereka disaksikan putri bungsunya itu.
"Bunda sama Ayah kenapa bertengkar?" tanya Raina dengan wajah sedih sekaligus takut. Baru kali ini bocah perempuan berusia lima tahun itu melihat ayahnya sangat marah.
"Sayang! Kamu sudah pulang?" Naira menghampir Raina yang menunggu jawaban dari dirinya dan Gunawan. Laki-laki itu terdiam, emosinya masih memuncak.
"Kenapa kalian bertengkar?" tanya Raina sedih.
"Tidak ... Ayah sama Bunda tidak bertengkar, kok, Ayah cuma lelah aja. Ya kan, Mas?" kata Naira bertanya, berharap suaminya ikut memberi pengertian pada Raina. Ia memeluk putrinya. Gunawan terdiam, ia melengos. Membuang pandangannya itu. lalu melewati Naira dan Raina yang masih berada di ambang pintu.
"Mas ... Mas, kamu mau kemana?" teriak Naira berkali-kali memanggil Gunawan. Tetapi, laki-laki itu mengabaikannya. Ia terus berjalan keluar tempat mobilnya terparkir. "Raina, kamu tunggu di sini dulu. Bunda mau menyusul Ayah," imbuh Naira. Ia menyusul Gunawan Yang sudah membuka pintu mobil.
Braak.
Naira menahan pintu itu terbuka lebar, Naira menutupnya. "Bukankah kita bisa bicarakan ini baik-baik, Mas! Kenapa kamu bertingkah kayak anak kecil begini, sih? Apa kamu tidak malu di lihat Raina?"
Gunawan mendengus, lalu mendongakkan wajahnya. Ia seakan-akan tidak suka melihat Naira saat ini. Menghembuskan napasnya dengan kasar, berusaha menenangkan pikirannya. Namun tetap saja, ia tidak bisa melupakan kejadian yang ia lihat dan pengakuan Naira. "Kamu lupa, bagaimana mereka menyakiti kamu? Dan kamu lupa dengan perjanjian pra-nikah kita yang sudah kita tanda-tangani berdua?" tanya Gunawan. "Perjanjian No. 3 point 4 sama 5!"
"Iya ... iya aku ingat, ini memang kesalahanku. Dan aku juga sudah meminta maaf sama kamu berkali-kali! Apakah semua permintaan maafku belum cukup membuka pintu hatimu untuk memaafkanku, Mas?" sergah Naira cepat.
"Ini bukan hanya permintaan maaf saja, Naira. Kamu sudah melanggar perjanjian itu dan kamu mengabaikan perasaanku sebagai suami yang berusaha mengerti semua apa yang terjadi sama kamu! Tapi kamu malah menemui laki-laki itu di belakangku, tanpa ijin dariku, Naira!" pungkas Gunawan kembali emosi. "Kamu membohongiku, Nai! Bukankah kamu sudah pernah tau bagaimana rasanya dibohongi, bukan?"
Degh!
Kalimat terakhir Gunawan membuat Naira tidak lagi bisa berkata-kata. Membungkam bibirnya untuk mengelak lagi. Tatapan mata Gunawan terlihat kesal, menahan amarah. Raina sedang menonton pertengkaran mereka berdua.
Laki-laki itu membuka pintu mobilnya, lalu masuk. Naira tersadar dari rasa bersalahnya itu. "Mas ... Mas maafkan aku, Mas! Aku janji ini menjadi yang terakhir kalinya aku menemui Mas Yogi!" panggil Naira, terus mengoceh sambil memukul-mukul kaca pintu mobil.
Gunawan mengabaikan Naira. Ia menghidupkan mesin mobil dan keluar dari rumah. "Mas ... Mas Gunawan!" teriak Naira memanggil. Mobil itu terus melaju tanpa mengurangi kecepatannya. Naira menghela napas, sangat menyesal. Ia menatap mobil suaminya dengan tatapan kosong. Lalu kembali masuk saat mobil Gunawan tidak lagi terlihat.
"Ayah marah sama Raina ya, Bun? Ayah marah gara-gara Raina nakal dan tukang menguping?" Naira sudah di hadapi dengan pertanyaan-pertanyaan dari putri bungsunya itu.
Naira tersenyum getir. "Tidak sayang ... Ayah lagi ada masalah di kantornya!" Ia tidak tau harus menjawab apa atas pertanyaan yang diajukan Raina. Wanita itu menekuk lutut, mensejajarkan diri dengan tinggi tubuh Raina. Lalu memeluknya dengan erat. Diam tanpa kata, ingin menangis namun ia tidak bisa. Naira tidak ingin putrinya mengetahui apa yang sedang terjadi padanya dan juga Gunawan.
Lalu Gunawan, ia terus menyetir mobilnya yang melaju sangat kencang. Pikirannya kalut. Hatinya masih terasa panas, kalimat yang keluar dari bibir Naira membuat hatinya kian panas. Cemburu, ya benar, Gunawan memang cemburuan. Sebab, perjuangan mendapatkan Naira begitu sulit dan berliku. Bermula dari tuduhan Yogi pada dirinya sebagai perebut istrinya itu membuat ia seolah tak ingin melihat Naira datang menemui Yogi, si mantan suaminya itu. Hingga ia membuat perjanjian pra-nikah agar Naira harus bisa melupakan Yogi dan anaknya.
"Brengsek! Semuanya brengsek!" ujar Gunawan emosi, memukul-mukul stir mobilnya. Lalu ia menekan lebih dalam gas mobilnya, laju roda menjadi sangat cepat. Dan terus mempercepat laju mobilnya tanpa memikirkan dirinya sendiri.
Namun,
Suara klakson mobil tronton mengagetkan Gunawan yang sedang melamun. Ia membanting setir ke kiri. Lalu mobilnya berjalan berkelok-kelok dan sukar ia kendalikan. Dan ....
"Aaaargh!" suara teriakkan Gunawan terdengar sangat keras, bebarengan dengan mobilnya yang terbalik di tengah-tengah jalan.
Bruaaak.
Gunawan dalam posisi yang terbalik dan tak sadarkan diri. Banyak luka yang memenuhi tubuhnya itu.
****
Bersambung.