Chereads / Aku, Kamu Dan Mantan Suamimu / Chapter 4 - Kenangan Pahit

Chapter 4 - Kenangan Pahit

"Bu, Ibu tidak apa-apa?" tanya Sabina membuyarkan lamunannya.

"Ah, iya ... Ibu tidak apa-apa kok, Nak!"

"Ayo Bu, kita dekati Ayah!" ajak Sabina. Naira sedikit ragu.

Ini sudah bukan haknya, tetapi ia tidak bisa menolak ajakan putrinya. Namun, Sabina tetap memaksa agar Naira mengikuti apa yang diinginkannya.

Naira melangkah pelan. Lagi-lagi, dia menuruti kemauan Sabina, ia duduk di samping Yogi. Beberapa kali napasnya berhembus pelan. Dia tidak yakin, apakah ini masih pantas untuk dia lakukan. Sedangkan Yogi sudah mempunyai istri dan dia juga sudah memiliki suami.

Matanya menatap Yogi yang semakin tirus. Berat badannya dulu tak seperti ini, laki-laki di hadapannya dulu amat menyukai olah raga untuk menjaga bentuk tubuhnya agar selalu ideal. Tapi sekarang, amat menyedihkan. Berat badannya tidak lebih dari lima puluh kilo, wajahnya terlihat tua dan tidak terurus. Entah sudah berapa lama ia merasakan sakit kanker hati, Naira tidak pernah tau. Semua orang seolah menghilang dan menghindarinya setelah perceraian.

Tapi sekarang, mereka mencari dirinya lagi setelah Yogi sedang dalam keadaan terpuruk seperti ini. "Lalu di mana istrinya Mas Yogi?" Naira tidak pernah tahu, dengan siapa Yogi menikah setelah beberapa kali berselingkuh darinya.

Naira menghela napas, masih banyak kenangan pahit di dalam benaknya. Sekarang kenangan pahit yang sudah lama ia pendam muncul kembali ke permukaan. Dan terakhir, Naira ingat bagaimana benih-benih cinta Yogi tertanam di dalam rahimnya. Padahal ia sudah enggan menerima benih-benih itu, ia merasa capek saat mengetahui Yogi berselingkuh di depan matanya dan juga di belakangnya.

Ya, dulu ...

****

Setelah kejadian itu, beberapa hari kemudian ia mengalami gejala yang sangat tidak enak. Ia juga merasa selalu mual dan tidak enak makan, namun Yogi tidak peduli dengan perubahan fisiknya.

Naira memutuskan untuk membeli test pack. Ia merasa takut saat alat itu dicelupkan ke urinenya.

"Garis dua?" ucap Naira pelan. Ia tidak bisa menerima semua itu. "A-aku hamil? Gak ... itu gak mungkin?" pikiran Naira menjadi sangat kalut. Ia tidak bisa menerima kehamilan ini, ia berpikir, Yogi pasti juga tidak menginginkan anak ini.

Ia tampak depresi, ia sudah menyerahkan surat cerai untuk mengakhiri hubungannya dengan Yogi, tapi sekarang ...

"Tidak, aku tidak menginginkan anak ini. Aku benci anak dari laki-laki tukang selingkuh!" kata Naira sambil memukul-mukul perutnya itu, berharap calon bayi dalam kandungannya tidak lagi berkembang dan mati. "Aku tidak mau Tuhan, aku tidak mau anak dari dia!"

Naira terdiam, ia tidak tahu harus apa sekarang. "Mas Yogi, apa dia mau menerima semua ini?" pikir Naira di sela-sela pikirannya yang kalut.

Ya, Naira menginginkan Sabina meninggal waktu itu. Tapi Tuhan berkata lain, ia justru memberi secercah harapan untuknya hidup. Berharap Yogi berubah dengan kehadiran yang sekarang ada di rahimnya.

"Ya, aku yakin dia pasti akan berubah dengan adanya anak ini!" Naira menyeka airmatanya, lalu bangun dan keluar kamar mandi. Ia pergi ke ruang tamu, laki-laki tampan namun bejat itu sedang duduk sambil menonton sepak bola. Ia tampak asik bersorak, memaki kala klub kesayangannya tidak mencetak gol atau wasitnya mengatur dengan curang.

Naira mendekati dengan ragu-ragu, ia belum mempersiapkan kata untuk mengungkapkannya pada Yogi. Antara takut dan suatu keharusan, ia mau tak mau harus mengatakan ini semua. Dan lagi pula, janin yang ia kandung adalah darah dagingnya sendiri. Bukan anak dari laki-laki lain.

Yogi menyadari Naira yang berdiri takut-takut di dekat sofa. "Ngapain kamu berdiri di situ?" tanya Yogi ketus, ia menatap jijik pada Naira. Selama Nairi di nikahi Yogi, tak sekalipun ia menatap dirinya dengan benar. Naira tidak pernah tau, ada masalah apa Yogi terhadap dirinya, sehingga ia sangat membencinya.

"A-aku, aku ingin bilang sesuatu sama kamu, Mas!" ujar Naira takut-takut. Ia terlihat sangat gugup dan berkeringat.

"Apaan? Sudah cepat bilang, jangan lama-lama. Enek aku lihat kamu!" tukas Yogi rada emosi, tangannya asik mengganti channel televisi.

Naira tidak berkata, ia menyodorkan hasil kehamilannya. Yogi menerima dengan ragu, menatap tajam tanpa kata ke arah Naira. "KAMU HAMIL?" Teriakan Yogi membuat Naira sangat terkejut. Lalu ia mengangguk pelan dengan wajah yang sangat pucat dan merasa bersalah.

"Bodoh, sudah berapa kali aku bilang sama kamu agar selalu minum pil pencegah kehamilan dari acara resepsi itu? Tapi kenapa bisa kamu hamil, Naira?"

"M-maaf!"

Wanita Naira semakin pucat. Dia menundukan wajahnya.

"Aaah .... dasar wanita bodoh ...." Yogi terlihat sangat marah. Ia mengambil secangkir gelas kemudian melemparnya. Hampir saja cangkir itu mengenai wajah Naira yang tertunduk. "Kenapa kamu jadi wanita tidak pernah becus melakukan apapun, huh? Hal sepele saja kamu bisa lupa seperti ini?" Bentak Yogi, semakin membuat Naira tertekan dan depresi. Ia sudah tidak tahan hidup bersama laki-laki kasar dan tukang selingkuh.

"Tunggu ...." Mendadak ia menjadi tenang dan berusaha sedang memikirkan sesuatu. Naira mendongak sebentar menatap Yogi. Laki-laki itu menghampirinya dan Naira bergegas menundukan wajahnya. "Bukankah kita melakukan itu cuma sekali?" tanya Yogi mengintimidasi Naira.

Naira mengangguk.

"Jadi ... tidak mungkin kan, kita hanya melakukan sekali kamu langsung hamil? Atau jangan-jangan kamu berselingkuh?" Tatap Yogi menaruh curiga. Mata Naira terbelalak, menatap tajam kearah Yogi. Tuduhannya terlalu menghakimi bahwa ia adalah pelaku perselingkuhan itu.

"A-apa k-kamu bilang Mas?"

"Katakan padaku, kamu ... berselingkuh dengan siapa?" tanya Yogi mendesaknya. Ia seolah laki-laki paling benar yang tidak pernah berselingkuh.

"Jangan bercanda kamu mas, kamu nuduh aku berselingkuh?"

"Iya, cepat bilang siapa laki-laki yang bikin kamu hamil itu, Naira?"

"Apa-apaan kamu mas? Aku cuma melakukan itu sama kamu. Aku bukan wanita sekotor seperti yang kamu katakan itu, Mas!" Naira membantah dengan sangat tegas. "Lagi pula, siapa yang selingkuh? Bukankah mas yang jelas-jelas berselingkuh di hadapanku?" sergah Naira membela diri. Ia tidak suka tuduhan Yogi yang tidak mendasar itu.

"Sudahlah, Naira. Jangan mengalihkan pembicaraan. Dengar aku baik-baik Naira ..." Yogi membelakangi Naira dan berjalan beberapa langkah sambil memasukan tangannya ke saku celana. "Aku tidak mau anak itu lahir ke dunia, jadi gugurkan saja anak itu!"

Deg!

Jantung Naira seolah sudah kehilangan denyut dan detaknya. Ucapan Yogi bagai petir di siang bolong yang amat menakutkan dirinya sesaat di kamar mandi. "A-apa kamu bilang, Mas?" Ini terlalu kejam buatnya, walau ia sempat memikirkan hal yang sama seperti Yogi, tetapi ia tidak tega melakukan apa yang laki-laki itu perintahkan padanya. Naira, bersikukuh untuk memelihara dan merawat calon bayi di dalam rahimnya.

"GUGURKAN!! APA KAU TULI, NAIRA?" bentak Yogi, sudah tidak dapat ditawar lagi.

"Kamu gila Mas, aku tidak akan menggugurkannya sampai anak ini benar-benar lahir!"

"Terserah! Tapi aku tidak akan mau mengurusnya walau kamu berteriak kesusahan dan meminta tolong padaku!" bisiknya di depan telinganya. Naira benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi. "Dan kamu, bayar sendiri biaya persalinannya!"

Deg!

Bersambung ....