Chereads / Menikahi Barista Ganteng / Chapter 2 - 2. Buket Mawar

Chapter 2 - 2. Buket Mawar

Hari itu, Cielo baru saja selesai rapat bersama para staff-nya. Semenjak ia dipercayakan untuk mengurus Hotel Poseidon, ia jadi semakin sibuk mengurus banyak hal.

Tiba-tiba, sekretarisnya, Septiani mengetuk pintu ruangannya. "Silakan masuk."

"Permisi, Bu," ucap Septiani sambil berjalan masuk ke ruangannya sambil membawa karangan bunga mawar besar di tangannya.

"Dari siapa itu?" tanya Cielo sambil berdiri dan matanya membelalak.

Septiani menyerahkan bunga itu ke tangan Cielo dan ia pun tersenyum lebar. "Ini dari Pak Justin, Bu."

"Terima kasih ya, Septi."

"Sama-sama, Bu."

Lalu Septiani pun berjalan meninggalkan ruangan Cielo. Ia memandangi bunga-bunga itu dengan hati yang penuh kebahagiaan. Ini adalah pertama kalinya ia mendapatkan buket dari kekasihnya.

Cielo menghirup aroma bunga mawar itu dalam-dalam. Seketika harumnya menembus hingga ke dalam hatinya. Ia melihat ada sebuah kertas yang tersemat di bunga itu dan membacanya.

"Waktu aku memandang ke langit, tiba-tiba aku membayangkan kamu yang sedang tersenyum di sana sambil memikirkan tentangku. Sebelum aku menyesal karena tidak mengungkapkan perhatianku, aku pun mengirimkanmu mawar, tak hanya satu atau dua tangkai, tapi satu kebun. Besok-besok, tidak hanya bunga yang aku kirim, tapi beserta bibitnya juga, supaya kita bisa sama-sama menanamnya menjadi pohon mawar cinta kita berdua. Dari yang mencintaimu, Justin."

Seketika debaran jantung Cielo bertalu-talu di dadanya. Justin sungguh manis hingga ia khawatir jika ia sakit diabetes. Perhatian yang Justin berikan padanya sangat berlebihan, tapi Cielo sangat menyukainya.

Cielo pun segera menelepon Justin sambil memandangi bunga mawar yang jumlahnya entah berapa banyak. Saat ia menggendongnya, buket itu berat sekali.

"Halo, Sayang," sapa Justin. Suara-suara di sekitarnya terdengar agak berisik.

"Hai. Kamu ini apa-apaan sih? Untuk apa kamu mengirimiku bunga?" Cielo mengulum senyumnya sambil mengelus-elus kelopak bunga mawar itu.

"Tentu saja karena aku menyayangimu, Ciel. Aku merasa bersalah karena hari ini aku tidak dapat bertemu denganmu. Jadi, aku mengirimimu bunga supaya kamu tidak sedih karena terlalu banyak merindukanku."

Cielo terkekeh. "Ah, Justin. Kamu ini bisa saja. Aku memang merindukanmu. Kamu sedang di tempat pameran ya?"

"Iya, Sayang. Di sini ada panggung musik, jadi agak berisik. Maaf ya."

"Tidak apa-apa, Justin. Nanti juga kita bisa bertemu tiga hari lagi, ya kan?"

"Iya, Sayang. Kamu pasti sudah tidak sabar untuk bertemu denganku kan?"

Cielo terkekeh. "Kamu baik-baik di Jakarta. Kalau sudah pulang, kabari aku ya."

"Jangankan saat pulang, nanti malam juga aku akan mengabarimu lagi," ucap Justin yang masih sempat-sempatnya menggoda Cielo di tengah keramaian.

"Baiklah. Aku akan menunggu teleponmu nanti malam. Omong-omong, terima kasih ya bunganya."

"Sama-sama, Sayang. Kamu menyukainya tidak?"

"Tentu saja, aku sangat menyukainya." Cielo terkekeh pelan. "Terima kasih ya, Justin."

"Iya, Sayang. I love you."

"I love you too."

Cielo pun menutup teleponnya dan kemudian menaruh ponselnya di dada. Rasa bahagianya sungguh tak terbendung lagi. Menatap buket mawar yang sangat besar ini membuatnya merasa spesial.

Ternyata semanis itu memiliki seorang kekasih. Justin adalah pria yang paling sempurna yang pernah ini miliki di dalam hidupnya. Ia sungguh bahagia, tiada terperi.

Usai dari kantor, Cielo pun pergi ke café untuk bertemu dengan Nayra. Ia telah menitipkan buketnya itu pada supir untuk diantarkan ke rumahnya. Jadi, ia tidak perlu repot-repot membawa bunga itu ke mana-mana.

Nayra melambaikan tangannya saat Cielo memasuki pintu café. Langsung saja ia duduk di seberang Nayra dan menaruh tas tangannya di meja.

"Hai! Maaf ya aku agak telat," kata Cielo sambil nyengir.

"Tidak apa-apa, Ciel. Omong-omong, mana si Justin? Biasanya dia selalu bersama denganmu, menempel seperti cicak di dinding," sindir Nayra.

"Kamu itu mengejekku ya," ujar Cielo yang membuat Nayra terkekeh. "Justin sedang di Jakarta. Dia sedang ada pameran di sana."

"Oh, ya ampun. Aku pikir, dia tidak suka bekerja."

Cielo terkekeh. "Kamu itu selalu saja sinis pada Justin. Dia itu adalah pria yang sangat manis, Nay. Kamu harus mengenalnya lebih lagi."

"Ya, semua pria itu memang selalu berusaha terlihat manis supaya bisa menarik lawan jenisnya."

Cielo memaklumi jika Nayra berkata seperti itu karena ia sudah pernah mengalami patah hati dengan mantannya yang ditinggal menikah dengan wanita lain.

"Kita tidak bisa menyamakan semua pria, Nay. Justin itu adalah pria yang benar-benar manis. Tadi siang, dia mengirimiku buket mawar. Ya ampun, bunganya cantik sekali. Ini lihat!"

Cielo mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto dirinya sedang berpose dengan bunga mawar itu. Nayra menatap foto itu sambil menyipitkan matanya.

"Ah, hanya bunga." Nayra memberengut. Lalu ia memperbesar foto itu sambil menatap layar ponsel Cielo dengan wajah melongo. "Tulisan apa itu?"

"Oh, tunggu sebentar. Masih ada foto satu lagi."

Cielo menggeser layar ponselnya dan terpampanglah foto kartu ucapan Justin yang begitu indah dan membuat jantung Cielo kembali bergemuruh di dadanya.

"Hah? Mengirim bunga satu kebun? Haduh, haduh." Nayra mengipasi dirinya sendiri. "Memangnya dia berniat untuk mengirimu bibit bunga?"

"Entahlah. Mungkin itu maksudnya kiasan. Aku pun tidak tahu, Nay. Yang pasti, membaca surat cinta dari Justin membuat hatiku jadi berbunga-bunga."

Nayra mengembalikan ponsel Cielo dan menggelengkan kepalanya. "Dasar love birds. Kamu itu sedang dilanda jatuh cinta. Aku pun pernah mengalaminya, Ciel. Ingat itu. Cinta tidak selamanya indah. Kamu harus waspada pada Justin. Selalu!"

Nayra menekankan kata waspada selalu dengan sangat tegas. Cielo pun mengangguk. "Iya, iya, Nay. Aku akan selalu mengingat kata-katamu. Untuk sejenak, biarkan aku menikmati masa-masa indah ini. Oke? Boleh kan? Bukan apa-apa, tapi untuk saat ini tolong simpan dulu cerita kelammu di masa lalu ya, Nay."

"Astaga, kejam sekali. Kamu tidak boleh berkata seperti itu pada wanita jomlo sepertiku," ucap Nayra sambil menaruh tangannya di dada.

Cielo terkekeh. "Aku hanya bercanda, Nay. Kamu ini kenapa sih?"

Nayra menghela napas. "Aku hanya ingin supaya kamu waspada dan jangan sampai masuk ke lubang yang mengerikan sepertiku."

"Iya, Nay. Terima kasih karena kamu sudah mengingatkanku. Omong-omong, apa kamu sudah mengambil keputusan untuk move on?"

"Memangnya kenapa?" Nayra menautkan alisnya seolah tersinggung.

"Ya, ini sudah bertahun-tahun semenjak kamu gagal menikah dengan Bagas. Kamu pasti sudah melupakannya, ya kan? Sekarang saatnya untuk kamu melangkah keluar dari kesedihanmu dan temukan pria yang baik. Aku yakin, kamu pasti sudah menolak banyak pria."

Cielo sengaja mengimbuhkan kalimat terakhir itu untuk membuat Nayra merasa sedikit bangga.

"Ya, memang. Aku telah menolak beberapa pria. Kamu tahu kan kalau aku ini trauma dengan pria. Jadi, wajar saja jika aku menolaknya." Nayra mengedikkan bahunya cuek.

"Ya, jangan pernah menyerah. Akan ada saatnya kamu akan menemukan cinta sejatimu atau bahkan cinta sejati yang akan mengejar-ngejarmu."

Nayra terkekeh. "Kamu ini bisa saja."