Seorang wanita berbalut gaun berwarna hijau yang super mini dan potongan dada yang rendah tengah memperhatikan gerak-gerik pria yang tidak jauh dari hadapannya. Pria itu pun sadar jika dirinya sedang diawasi.
Bukannya merasa risih, tapi pria itu lebih suka jika wanita itu bahkan menunjukkan lebih banyak belahan dada. Ia tidak peduli sekalipun orang lain melihatnya.
Usai memasukkan ponsel ke dalam saku celananya, pria itu pun mengambil minuman di konter dan menyesapnya perlahan. Ia pura-pura bersikap cuek, padahal ia berharap wanita itu mendekatinya.
Dan benar saja. Tak berapa lama kemudian wanita itu mendekatinya dan duduk di sebelahnya.
"Kamu benar-benar sudah melupakanku, ya kan?" ujar wanita itu tiba-tiba.
Pria itu pun menautkan alisnya sambil menatap wanita itu dengan lebih jelas lagi. Itu merupakan sebuah keberuntungan baginya karena ia bisa melihat lekuk tubuh wanita itu dengan lebih jelas lagi tanpa menjelaskan maksud buruk dari otaknya yang kotor.
"Kamu Justin kan?" tebak wanita itu.
Pria itu pun terkejut. "Ya, aku Justin. Dan kamu …?"
"Astaga, kamu benar-benar melupakanku. Waktu itu kita pernah berdansa bersama waktu di Bali."
Justin menautkan alisnya. "Bali? Acara apa?"
"Waktu itu tepat saat di hari ulang tahunnya Zahra. Apa kamu sudah lupa? Waktu itu kita dipasangkan dalam sebuah permainan. Kamu dan aku sama-sama berdansa bersama."
Justin pun tersenyum lebar sambil mengangguk. "Aku baru ingat sekarang. Kalau tidak salah, aku sampai menginjak kakimu waku itu."
"Ya, benar!" Wanita itu tertawa manis. "Kamu mengingat hal semacam itu, pasti hal itu yang paling berbekas di ingatanmu."
Justin mengangguk. "Ya, sepertinya begitu. Omong-omong, aku benar-benar lupa namamu."
"Aku Rini."
"Ah, Rini. Aku sempat memikirkan beberapa nama dari huruf R atau N, tapi aku lupa. Maafkan aku ya. Halo, Rini. Apa kabar?" Justin menyapa wanita itu dengan lebih baik lagi.
"Hai. Aku baik-baik saja. Aku tidak menyangka akan bertemu lagi denganmu di sini," kata Rini yang terlihat sangat seksi.
Seingatnya dulu Rini juga mengenakan gaun ketat dengan belahan paha yang tinggi. Dan jujur saja, Justin tidak akan pernah lupa betapa mulusnya paha Rini. Hingga sekarang, Rini masih terlihat sama seksinya.
"Aku juga. Aku bahkan nyaris lupa namamu."
"Kamu memang sudah melupakan namaku," ujar Rini sambil terkekeh.
Justin jadi ikut tertawa bersamanya. Mereka pun jadi mengobrol banyak hal. Justin mendengarkan ocehannya tentang restoran dan tempat tinggalnya yang di Bali. Ternyata Rini juga memiliki rumah di Bali. Kebetulan hari ini ia sedang berlibur ke Jakarta untuk bertemu dengan teman-temannya.
"Bagaimana kamu masih mengenalku?" tanya Justin.
"Karena … karena kamu adalah pria yang sangat tampan. Aroma parfummu waktu itu telah memikatku," ucap Rini yang sekarang sedang menggigit bibirnya.
"Oh ya?" Justin semakin mendekat dirinya ke arah Rini.
"Ya, Tampan. Aku boleh menyebutmu tampan, bukan? Apakah nanti ada yang marah jika aku menggodamu?" tanya Rini sambil memainkan rambutnya yang panjang sepinggang yang dicat berwarna coklat kemerahan.
"Tidak masalah. Tidak akan ada yang marah. Aku adalah pria single."
Rini mengangkat sebelah alisnya. "Oh, begitu ya. Ke mana kamu akan pergi malam ini?"
"Aku tidak akan ke mana-mana. Seharian ini aku habis bekerja dan aku mungkin akan kembali ke hotel."
Rini mengangguk. "Kamu tinggal di hotel? Memangnya kamu aslinya orang mana?"
"Aku orang Bandung."
"Ah, orang Bandung ya. Aku pikir kamu orang Jakarta. Pantas kalau kamu terlihat menawan."
Mendapat pujian serta gelagat Rini yang begitu menggoda membuat Justin jadi tak tahan lagi. Belahan dada Rini begitu menggoda dan layak untuk diperjuangkan. Padahal Justin sedang rehat sementara untuk menggoda para wanita, tapi sulit rasanya jika tiba-tiba ada mangsa yang mendekatinya secara sukarela.
Justin mungkin adalah seorang pengusaha muda. Semua orang menilainya begitu. Ia menjalankan bisnis ayahnya dengan sangat baik. Namun, tak banyak yang tahu jika ia suka sekali bermain-main dengan para wanita.
Keputusannya terakhir untuk mendapatkan hati Cielo benar-benar di luar dugaannya. Ia tak menyangka jika wanita judes itu mau menerimanya sebagai kekasih.
Kini semuanya sudah terlanjur basah. Ia tidak akan membiarkan Rini pergi begitu saja karena bersama dengan Cielo tidak akan membuatnya mendapatkan kenikmatan seperti yang ia harapkan.
Ia pun tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya bersama Rini. Mereka terus saja mengobrol sambil menceritakan tentang diri masing-masing.
Justin lebih banyak menjadi pendengar yang baik. Ia senang dinilai sebagai pria yang nyaman untuk diajak berbincang-bincang atau sebagai teman curhat yang baik. Namun, jangan salahkan Justin jika ia juga bisa menjadi pria yang nakal.
Tiba-tiba saja, mereka sudah berada di kamar Justin. Mereka berciuman dengan sangat mesra hingga Justin pasrah saat Rini melepaskan pakaiannya. Tubuhnya begitu molek dan Justin langsung melahapnya seolah ia tidak pernah melakukannya sebelumnya.
Rini hanyalah salah wanita yang pernah menghangatkan ranjangnya. Syukurlah, tak pernah ada yang tahu tentang hal ini, sekalipun juga teman-temannya.
Justin lebih suka bermain dalam bayangan. Ia akan berhati-hati, jangan sampai ada yang mengetahui perbuatannya ini.
Puas bercinta dengan Rini, wanita itu pun pulang ke rumahnya. Justin anggap itu sebagai cinta satu malam yang luar biasa.
Justin puas dan ia harap bisa melakukannya lagi dengan Rini jika mereka bertemu lagi. Setidaknya, ia dan Rini sudah saling bertukar nomor ponsel.
Justin pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan kemudian ia teringat jika ia seharusnya menghubungi Cielo.
Buru-buru ia melihat jam, ternyata sekarang sudah hampir pukul setengah sebelas malam. Tanpa berpikir panjang, Justin pun menelepon Cielo.
Butuh waktu beberapa nada dering hingga Cielo mengangkat teleponnya. "Halo," ucapnya dengan suara serak.
"Halo, Sayang. Kamu sudah tidur?" tanya Justin.
"Hmmm, ya. Sepertinya aku ketiduran sebentar. Sebenarnya, aku sedang menunggu telepon darimu."
"Ya ampun, maafkan aku, Sayang. Aku tadi baru saja pulang dari pameran, lalu ada acara makan-makan dengan para pemilik perusahaan yang lain. Lelah sekali rasanya."
Cielo terkekeh pelan. "Tidak apa-apa, Justin. Kalau kamu sudah lelah, seharusnya kamu tidur. Kenapa kamu malah meneleponku?"
"Aku kan sudah berjanji, Sayang. Aku merindukanmu."
"Benarkah? Aku juga."
Justin memutar bola matanya. Untuk menghadapi seorang Cielo, ia harus menunjukkan sikap terbaik padanya. Memuji dan memberikan kata-kata manis akan menjadi nilai plus.
Cielo sedang diberikan perhatian yang manis karena selama ini wanita itu tidak pernah memiliki kekasih sebelumnya. Justin harus menghiasi hati wanita itu dengan segala hal yang indah. Buket mawar dan juga surat di dalamnya itu sebenarnya bukan ide Justin.
Ia hanya menumpang nama saja. Semua itu sudah diatur oleh sekretarisnya. Ia hanya membacanya sekilas dan menganggap bahwa itu adalah lelucon kelas dewa yang patut diacungi jempol dan Cielo benar-benar menyukainya.
Semuanya demi sebuah tujuan yang mulia. Semoga saja Justin bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Cielo harus menjadi miliknya.