Pamannya mendecak kesal. "Mau sampai kapan kamu hidup seperti itu terus? Sudahlah, kamu pulang ke rumah dan tinggal bersamaku di sini."
"Tidak usah, Om. Aku bisa hidup sendiri dengan baik di sini. Tenang saja, Om. Tolong sampaikan salamku untuk nenek."
"Kamu sampaikan saja sendiri," ucap pamannya agak ketus.
Ello jadi merasa tidak enak hati pada pamannya itu. "Sekali-kali kamu harus pulang untuk mengunjungi nenekmu. Masa kamu tidak mau mengakui nenekmu? Kalau kamu tidak mau mengakui Om sih tidak apa-apa."
Ello menghela napas. Itulah mengapa ia menghindari pamannya dan segala bentuk komunikasi karena pamannya itu seringkali berkata hal-hal yang membuat Ello jadi tidak nyaman. Selain itu, ada hal lain yang membuat Ello enggan tinggal bersama pamannya.
"Bukan begitu, Om. Aku hanya belum sempat saja. Nanti aku pasti akan mampir, tenang saja, Om."
"Benar ya. Kamu harus mampir karena Om akan menunggumu. Kasihan nenekmu. Dia seringkali menanyakanmu karena dia sangat merindukanmu," kata pamannya dengan nada menegur.
"Iya, Om. Iya, aku pasti pulang," ucap Ello yang mulai kesal.
"Ya sudah kalau begitu. Jaga diri baik-baik kamu ya."
"Iya, Om. Terima kasih."
Lalu Ello pun menutup teleponnya. Ia memandangi foto nenek dan pamannya di ponselnya. Itu adalah foto lamanya saat ia lulus kuliah.
Semenjak lahir, ia hanya memiliki nenek dan pamannya saja. Menurut pamannya, ibunya sudah tiada karena sakit, sedangkan ayahnya tidak pernah diceritakan. Om Gavin selalu menekankan pada Ello bahwa ia tidak membutuhkan seorang ayah.
Pamannya sudah lebih dari cukup menjadi seorang ayah pengganti. Ello tahu wajah ibunya seperti apa, melalui foto, tapi tidak ada satu pun foto ayahnya di rumah neneknya itu.
Dan ada satu lagi orang yang tidak boleh dibahas di rumah itu adalah kakeknya. Sampai sebesar ini, Ello tidak mengenal yang namanya ayah dan kakek. Mereka semua seolah tidak ada, entah berada di mana.
Ello sempat berpikir untuk mencari ayahnya, tapi ia tidak punya petunjuk apa pun. Lagi pula, untuk apa susah-susah mencari orang yang tidak pernah hadir dalam hidupnya?
Selama ini, Ello lebih banyak tinggal di rumah Om Gavin daripada di rumah neneknya. Saat Ello SMA, pamannya memiliki hubungan spesial dengan seorang pria. Lalu pamannya itu membawa pria itu ke rumah dan mereka jadi tinggal bersama.
Ello merasa sangat tidak nyaman melihat sikap pamannya dengan pria itu. Sebenarnya kekasih pamannya itu adalah pria yang sangat ramah dan baik hati. Pria itu bernama Oscar.
Akhirnya, saat kuliah, Ello memutuskan untuk ngekos di dekat kampusnya, supaya ia tidak perlu ongkos lagi pulang pergi karena rumah pamannya dan kampus cukup jauh.
Ello jadi keterusan tinggal di kosan itu, sudah seperti penghuni tetap. Jika ia mengumpulkan uang kosannya selama bertahun-tahun, maka ia bisa membeli rumah.
Namun, biaya ngekos di tempat itu ditanggung penuh oleh Om Gavin selama kuliah. Selepas kuliah, Ello menolak semua uang pemberian pamannya itu. Ello ingin hidup mandiri.
Dan ya, meski terdengar keren, hal itu amat sangat sulit untuk dihadapi. Untuk makan sehari-hari, Ello benar-benar berjuang setengah mati. Awalnya, ia bekerja sebagai karyawan pabrik yang upahnya minim sekali.
Ello terpaksa menerimanya karena ternyata mencari pekerjaan dengan modal lulusan S1 saja tidak cukup. Ia pun berusaha menabung untuk membeli motor hingga cita-citanya tercapai. Hal itu membuatnya sangat menghargai yang namanya uang dan perjuangan.
Ello paham cara mengelola uangnya sekarang. Namun, jika ia keluar masuk kerja terus menerus, ia bisa gila. Uang, tenaga, dan waktunya habis tanpa menghasilkan apa pun.
Untuk itu, kali ini Ello akan bekerja dengan semaksimal mungkin untuk mengejar apa yang menjadi tujuan hidupnya.
***
Hari itu, Ello telah tiba di Hotel Poseidon pada pukul tujuh kurang sepuluh menit. Ia sengaja datang sepuluh menit lebih awal agar mendapat kesan yang baik. Seorang pria seumuran dengannya tersenyum padanya dan mereka pun akhirnya berkenalan.
"Namaku Farkan," ucapnya sambil berjabat tangan dengan Ello.
"Aku Graciello. Panggil saja aku Ello."
"Kamu baru pertama kerja di sini?" tanya Farkan.
"Iya. Aku baru bekerja di sini. Bagaimana denganmu?"
"Sama aku juga. Aku agak sedikit gugup." Farkan menggosok-gosok tangannya.
Ello tersenyum. "Aku pun gugup. Apa kita akan bekerja di bagian yang sama? Aku ditugaskan untuk membersihkan kamar."
"Sama. Aku juga!"
Lalu mereka pun sama-sama masuk ke sebuah ruangan para karyawan. Di sana ada sekitar enam orang pegawai baru yang ditugaskan untuk membersihkan kamar. Mereka dibagi menjadi tiga tim. Kebetulan sekali Ello dan Farkan menjadi satu tim.
Mereka diajari oleh senior mereka, Mas Arya. Mereka masuk ke sebuah kamar di mana pengunjungnya telah melakukan check out. Mereka harus mengecek seluruh kelengkapan barang yang ada di sana tanpa terkecuali.
Setelah itu Mas Arya memberi laporan melalui HT yang ia sematkan di pinggangnya. Kelak, Ello pun akan memiliki benda seperti itu.
Mas Arya mengajarkan cara mengganti seprai dan membersihkan kamar serta kamar mandi dengan maksimal sampai benar-benar bersih dan wangi. Tangan Mas Arya begitu cekatan hingga Ello harus memperhatikannya dengan ekstra.
Ada sekitar lima kamar lainnya yang harus mereka bersihkan hari ini. Selanjutnya Mas Arya hanya diam saja, memperhatikan Ello dan Farkan yang bekerja. Gerakan tangan mereka tidak secepat Mas Arya, tapi Ello akan berusaha semaksimal mungkin supaya ia bisa menjadi karyawan teladan.
Akhirnya, tiba waktunya pulang bekerja. Badan Ello pegal-pegal semua dan ia merasa seperti yang kurang minum. Untungnya, ia mendapatkan makan siang gratis di hotel. Makanannya berlimpah ruah dan Ello boleh tambah sesuka hatinya.
Setidaknya, ia tidak perlu memikirkan bekal makan siang atau jajan di luar karena di sini sudah tersedia selengkap mungkin. Semua itu jatah makanan sisa sarapan para pengunjung tadi pagi. Ia boleh makan sepuasnya, tapi tidak boleh membawa pulang sedikit pun. Itu sudah menjadi peraturannya.
Lalu Ello dan Farkan sama-sama berjalan menuju ke tempat parkir karyawan untuk pulang. Hatinya merasa senang karena ia bisa bekerja dengan baik hari ini. Sungguh hari pertama kerja yang melelahkan, tapi apa yang ia kerjakan terasa ada hasilnya.
"Rumahmu di mana, Ello?" tanya Farkan.
"Aku tinggal di kosan di daerah Bandung Selatan," jawab Ello.
"Oh deket dong ya. Aku tinggal di daerah Bandung Timur. Kalau begitu, aku duluan ya, Ello. Sampai bertemu besok."
Farkan pun mengendarai motornya terlebih dulu. Berbeda dengan Ello yang mempunyai banyak ritual sebelum berangkat dengan motornya. Ia harus mengenakan rompi tahan angin supaya badannya jangan sampai sakit.
Sejak kecil, ia mempunyai riwayat asma. Namun, sudah sebesar ini, asma itu sudah tidak pernah kambuh lagi.
Akhirnya, Ello pun bergerak dengan motornya, keluar dari parkiran. Saat ia sedang berhenti di depan pintu palang, ia melihat seorang wanita yang sepertinya ia kenal.
Kemarin ini, Ello baru saja menyiramnya dengan kopi panas tanpa sengaja hingga ia dipecat dari café itu. Wanita itu sedang berjalan masuk ke dalam lobby hotel dengan gayanya yang anggun.
Pintu palang di hadapannya telah terbuka dan Ello pun sudah harus pergi dari sana.