"Ya, jangan pernah menyerah. Akan ada saatnya kamu akan menemukan cinta sejatimu atau bahkan cinta sejati yang akan mengejar-ngejarmu."
Nayra terkekeh. "Kamu ini bisa saja."
Cielo tersenyum. "Apa yang aku katakan itu memang benar bukan? Kita harus berjuang demi cinta sejati kita. Aku saja telah berhasil menemukannya. Berarti kamu juga, Nay."
Nayra mengangkat alisnya. "Memangnya kamu yakin kalau Justin itu adalah cinta sejatimu?"
"Ya, tentu saja! Justin adalah pria sempurna dan terbaik di dalam hidupku."
Cielo tersenyum sambil membayangkan saat Justin mencium bibirnya dengan lembut. Seketika senyumnya merekah di bibirnya.
Tak berapa lama kemudian, sang pelayan restoran mengantarkan pesanan mereka. Cielo langsung membelalak.
"Kopi?" ujar Cielo.
"Ya, Mbak. Ini adalah kopi espresso," kata pria itu.
Cielo menoleh pada Nayra yang sedang fokus menatap layar ponselnya dengan alis yang mengkerut.
"Nay, kamu pesan kopi? Bukannya tadi kita pesan jus stroberi?"
Nayra mendongak. "Hah? Apa? Kopi? Aku tidak pesan kopi." Lalu Nayra menatap ke arah pelayan restoran itu. "Sepertinya ini bukan …."
Seketika Nayra terdiam membeku menatap pria itu. Cielo jadi bingung. "Nay? Kamu kenapa diam saja?"
"Ya ampun, Mas ganteng banget," ucap Nayra lancar.
Cielo langsung menepuk tangan Nayra. "Ih, Nayra kamu apa-apaan sih?" Lalu Cielo menoleh pada sang pelayan restoran yang tampak canggung. "Maafkan teman saya ya, Mas. Ini kopinya diangkat saja. Soalnya kami tidak pesan kopi."
"Baik, Mbak," ucap pria itu singkat.
Lalu pria itu kembali menaruh gelas kopi ke nampan. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah gelas kopi itu miring dan kemudian isinya tumpah mengenai rok Cielo yang berwarna putih. Rasanya panas dan perih.
Cielo langsung berteriak dan berdiri sambil memundurkan kursinya jauh-jauh. Semuanya jadi berantakan; baju dan roknya kotor, kakinya perih karena kepanasan, serta lengket, sepatunya pun jadi kotor.
"Astaga!" teriak Nayra. "Kamu tidak apa-apa?!"
Nayra langsung menghampiri Cielo dan mengambil tisu untuk membantu mengelap rok dan kakinya. Cielo terlalu syok untuk mengeluarkan suara.
"Kamu ini bagaimana sih?!" teriak Nayra. "Ganteng sih ganteng, tapi kenapa kamu ceroboh sekali?! Baju teman saya sampai kotor begitu!"
Pria si pelayan restoran itu hanya menatapnya sambil membelalak. Lalu ia berkata, "Maafkan saya, Mbak."
Ia buru-buru membawa gelas kopi itu dan pergi dari sana. Cielo memperhatikan saat pria itu pergi tanpa menolongnya sama sekali.
"Astaga, dia pergi begitu saja," ujar Nayra yang kemudian mendecak sambil menggelengkan kepala.
Semua orang yang ada di restoran itu menatap penasaran ke arah Cielo dan Nayra yang sibuk membantu mengelap rok Cielo yang kini telah berubah menjadi noda kecoklatan. Padahal ia baru mengenakan rok ini dua kali. Sepertinya ia harus mengucapkan selamat tinggal pada rok putihnya ini.
Belum lagi, kemeja dan sepatunya pun jadi kotor. Kakinya menjadi korban paling menyedihkan. Rasa perih berdenyut-denyut ia tahan sembari ia kembali duduk di kursi di sebelahnya.
Sang pelayan restoran itu kembali sambil membawa alat pembersih. Ia mengelap meja dengan tangan gemetar. Lalu ia pun mengepel lantai tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Cielo jadi kesal dibuatnya, tapi ia tidak membentak pria itu. Ia hanya memperhatikan wajah pria itu yang memang lumayan tampan. Tatapan matanya tajam, rambutnya dibelah pinggir dengan potongan yang pas untuk wajahnya.
Namun, ekspresi wajahnya tampak seperti yang ia kesal. Bagaimana bisa pria itu tidak menyesal setelah menumpahkan kopi yang bahkan bukan pesanan Cielo? Hal itu membuat Cielo jadi ingin mengumpat, tapi ia tahu diri.
Sebagai seorang wanita terhormat, ia tidak akan mengata-ngatai orang lain meskipun pria itu hanyalah seorang pelayan restoran. Jadi, ia terus saja memandangi pria itu yang sesekali melirik padanya.
Anehnya, hanya dengan melirik, mengapa hati Cielo serasa bergetar? Segera saja Cielo memalingkan wajahnya dan fokus pada kotoran di rok dan sepatunya.
Berbeda dengan Nayra yang marah besar dan meminta manager restoran untuk tanggung jawab atas semua yang telah terjadi. Akhirnya, sang manager datang dan meminta maaf sambil membungkuk-bungkuk.
Makan malam hari itu pun jadinya gratis. Cielo tidak butuh makan malam gratis. Ia hanya ingin pria itu menatapnya dengan cara yang sopan dan menunjukkan perhatiannya. Namun, tidak ada.
Lagi pula, Cielo tidak akan meminta hal seperti itu pada sang manager. Sudah cukup sang manager yang mewakili permintaan maaf tersebut.
Pulang dari sana, sang pelayan restoran memberikan cupcake lucu berwarna merah muda dengan hiasan kelinci dan bunga-bunga di dalamnya.
"Kita beruntung sekali hari ini," ujar Nayra.
"Kamu yang beruntung. Aku yang sial." Cielo menunjuk roknya yang rusak.
Nayra pun meringis. "Iya, memang. Setidaknya, sang manager memberikan service yang baik pada kita."
"Kamu lihat tidak pelayan itu? Dia tidak berkata apa-apa lagi padaku. Wajahnya saja tidak menunjukkan kalau dia menyesal," keluh Cielo.
"Oh ya? Aku tidak begitu memperhatikannya lagi. Padahal kalau memang begitu, kamu bilang saja pada managernya supaya orang itu dipecat."
"Aduh, aku tidak setega itu. Biar managernya saja yang menentukan, apakah masih mempertahankan orang seperti itu atau tidak. Sungguh tidak ramah pada konsumen. Kalau aku punya pegawai seperti itu, sudah pasti aku pecat."
Nayra terkekeh. "Ya sih. Kamu benar. Ya sudahlah. Apa sekarang kamu mau langsung pulang?"
"Ya, tentu saja. Bagaimana bisa aku pergi lagi dengan penampilan seperti ini? Malu aku."
Nayra tertawa lagi dan kemudian mereka pun berpisah. Cielo pulang ke rumahnya dengan perasaan yang gundah. Baru pertama kali ia mendapatkan perlakuan seperti ini.
Ia adalah seorang direktur di Hotel Poseidon. Bagaimana bisa ia terkena siraman kopi seperti ini? Sungguh memalukan.
Cielo geram sambil meremas setir mobilnya. Sepanjang jalan ia mengeluh-ngeluh terus sambil menggaruk-garuk kakinya kalau sedang lampu merah. Kakinya terasa lengket bau kopi.
Cielo benci bau kopi. Ia pernah mencoba kopi milik ayahnya waktu ia masih kecil dan tidak akan pernah mau mencobanya lagi. Aroma kopi membuatnya jadi sakit kepala.
Setibanya di rumah, Cielo segera berlari menuju ke kamarnya. Ibunya malah menghalangi jalannya.
"Mam!" seru Cielo sambil melebarkan matanya.
Usianya memang sudah hampir menginjak dua puluh delapan tahun, tapi tetap saja jika ditatap seperti itu oleh ibunya, ia takut juga.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya ibunya sambil melihatnya dari bawah ke atas. "Siapa yang sudah menumpahkan kopi padamu?"
"Oh ini … Tadi pelayan restorannya tidak sengaja menumpahkannya padaku," jawab Cielo jujur.
"Apa?! Restorannya tanggung jawab tidak?!" seru ibunya dengan nada tinggi.
"Ya … ya … Managernya datang untuk minta maaf dan kemudian aku dan Nayra makan malam gratis jadinya."
Ibunya langsung menyipitkan matanya. "Apa nama restorannya?"
"Ah, sudahlah, Mam. Aku tidak mau berurusan lagi dengan hal itu. Aku mau ke kamarku sekarang."
Cielo hendak berjalan melewati ibunya, tapi ibunya langsung menarik tangannya.
"Tunggu dulu! Kamu itu selalu saja begitu. Mamih belum selesai bicara. Cepat beritahu Mamih apa nama restorannya?"
"Tidak usah, Mam. Aku bilang tidak usah. Sudah lupakan saja. Badanku lengket semua. Aku mau mandi," protes Cielo.
Akhirnya, ibunya pun melepaskan tangan Cielo dengan terpaksa.