Chereads / JANGAN DENDAM, JIKA RINDU / Chapter 11 - Kekuatan Baru

Chapter 11 - Kekuatan Baru

Cherry masih dengan setengah kesadarannya, beberapa kali ia mencoba bangkit dari posisinya saat itu, tapi seolah olah punggungnya dibebani dengan sesuatu yang begitu berat baginya.

"Mi..... tolong Cherry," rintihnya.

Dengan segera Mami mendekatkan telinganya ke arah mulut Cherry. Suaranya yang terlampau pelan, hampir tifak terdengar.

"Kenapa Cher?" tanya Mami panik.

"Dada Cherry sesak."

"Astaga....Pi, gimana ini?" Mami justru balik bertanya pada Papi.

Papi meraih ponselnya dan menghubungi dokter keluarga. Tiga puluh menit kemudian, dokter datang dengan segenap perlengkapan medis yang diminta oleh Papi lewat telpon. Dokter segera memeriksa Cherry.

"Cherry sehat, semua normal."

"Dokter yakin? Dari tadi dia mengeluh sesak," timpal Mami.

Merasa ragu, dokter memeriksanya hingga dua kali. Kali ini dia begitu yakin.

"Sungguh, semuanya baik. Saya yakin. Memang apa yang kamu rasakan, Cherr?" tanya dokter berbalik arah, kemudian menghadap pasiennya itu.

"Sesak," jawab Cherry.

"Atur nafasnya, tariiiik....hembuskan dari hidung perlahan.....tariiiik.....hembuskan.....tariiik....hembuskan. Gimana Cherr? Merasa lebih baik?"

Cherry menggeleng, sepertinya malah terasa lebih sesak. Terlihat dari nafasnya yang terengah-engah. Dokter merasa aneh.

"Baiklah, karena Cherry masih susah untuk mengatur nafasnya, sebaiknya saya pasang oksigen. Sebaiknya dia di bawa ke kamarnya agar lebih nyaman. Saran saya, jika sampai besok kondisinya sama atau bahkan memburuk, sebaiknya di bawa ke rumah sakit aja. Saya takut dia harus menjalani beberapa perawatan."

"Iya dok," jawab Mami dan Papi serentak.

Tiga orang laki-laki dewasa membopong tubuh Cherry. Papi merasakan kejanggalan pada tubuh putrinya. Sebelumnya, ia bisa menggendong Cherry seorang diri, namun, kali ini Papi tidak kuat mengangkatnya sendirian. Beruntung ada dokter dan Bia yang membantunya.

"Nah....begini, saya rasa untuk sementara Cherry bisa beristirahat. Dia terlihat lebih rileks. Tapi, harus ada yang menjaganya malam ini, takutnya kondisinya makin drop," pesan dokter pada keluarga Cherry.

Bia mengantarkan dokter sampai meninggalkan gerbang depan.

"Cher.... jangan tinggalin Mami, ya?" ucap Mami sambil mengusap lengan putrinya.

"Cherry ga bakal ninggalin Mami, Mami tenang aja, Cherry bakalan sembuh."

"Mi....Mami pasti capek, Mami istirahat di kamar ya, seharian ini Mami belum istirahat. Biar Papi yang disini, menunggu Cherry."

Kondisi Mami memang masih rentan, harus banyak istirahat. Mami menurut, karena memang sebenarnya Mami pun rasanya sudah tidak kuat, badannya terasa lemas. Mukanya pucat.

"Mami dimana, Pi?" tanya Bia begitu ia kembali.

"Mami pergi tidur. Kayaknya kecapean."

"Kalo gitu, Papi juga harus segera istirahat. Biar aku yang disini."

"Tapi....."

"Pi.... ingat Papi juga ga boleh sakit!"

Cherry yang masih tidak berdaya, bahkan kali ini kondisinya lebih parah, dia tidak mampu untuk mengucapkan satu patah kata pun. Sementara Papi pergi dari kamar Cherry, Bia mempersiapkan cover bed milik Cherry yang tidak dipakainya sebagai alas tidur, tentu atas seizin Papi.

"Kak, gue tidur di bawah, kalo butuh apa-apa goyangkan aja benang ini," kata Bia sambil mengikatkan benang diantara kedua tangan mereka.

Cherry hanya menjawab dengan kedipan mata. Sementara ini, hanya itu yang bisa ia lakukan. Entah jawabannya ia atau tidak, Bia tidak perduli dengan tanggapan Cherry. Yang pasti, kehadirannya di kamar Cherry adalah untuk menemani sekaligus menjaga kondisinya. Di jam-jam pertama, Bia masih onfire, dia masih bergerak kesana kemari tanpa lelah. Ada saja yang ia rapikan dari kamar Cherry.

"Kak...lo jadi cewek jorok juga, ya?" ungkapnya.

"Pakain kotor dimana-mana. Alat make-up ga pada di tutup. Handuk di kasur, geletak begitu aja!" tambahnya.

Cherry menarik benang yang terhubung dengan tangan Bia. Bia mendekat.

"Kenapa?" tanyanya.

Mata Cherry terbelalak. Rupanya Cherry tidak terima dengan perkataan Bia.

"Astagaaaa.....sorry, Kak. Gue kelepasan. Emang dasar mulut gue!"

Bia menabok mulutnya sendiri. Kali ini, Bia memilih diam, dia mengambil ponselnya sambil duduk beralaskan cover bed yang sudah di gelarnya. Cherry melirik Bia.

"Lebih baik lo diem disitu dan jangan kepo-kepo kamar gue, Bi!" batin Cherry

Diam-diam, Bia juga melirik ke arah Cherry. Rupanya dia hampir tertidur. Tepatnya menahan rasa kantuk agar tidak tertidur. Rupanya, rasa kantuk Cherry lebih besar. Akhirnya dia tertidur. Kali ini, Bia memberanikan diri menatap lekat-lekat seorang gadis yang dianggapnya sebagai kakak perempuannya.

"Ternyata lo cantik juga ya, Cher," gumam Bia.

"Begini aja lo cantik, apalagi....eh engga! Lo lebih cantik begini. Kalo lo bangun, dalam keadaan sehat, lo galaknya ga ada lawan. Kayak macan mau makan orang."

Bia mendekatkan wajahnya, hanya berjarak sejengkal dengan wajah Cherry. Dia merapikan rambut Cherry yang menutupi pipinya.

"Astaga Cherr..... coba lo bukan kakak gue!"

Ada apa dengan Bia?

Terlalu lama Bia menatap Cherry, jantungnya berdetak tidak wajar. Dia salah tingkah sendiri.

"Aish! Kenapa nih. Dia tuh udah punya tunangan! Dia juga saudara lo sendiri!"

Bia meyakinkan dan menyadarkan dirinya sendiri. Tidak mau lebih lama terjebak dalam perasaan yang tidak seharusnya itu, Bia memutuskan untuk tidur. Nyatanya, matanya tidak bisa dipejamkan. Betapa pun kerasnya ia mencoba, tetap saja, memang ini sudah lewat dari jam tidurnya. Akibatnya, rasa kantuknya pun sudah terlewat batas.

"Aduuuuuh! Bia, jangan nyari masalah baru dalam hidup lo deh!"

Bia berjalan ke kamar mandi yang berada dalam ruangan itu.

"Sorry, Kak. Gue numpang ke kamar mandi ya. Gue males turun."

Disana, Bia melihat semua perawatan wajah yang biasa dipakai Cherry.

"Buseeeet, pantesan mukanya kinclong! Liat aja semua perawatan wajahnya. Dari mulut, mata, rambut, telinga, semua ada. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pantesan cowoknya betah, kinclong gini ceweknya."

Iseng-iseng dia mencoba memakai lotion yang biasa Cherry pakai.

"Mmmmmm... wanginya, bikin klepek-klepek," gumam Bia sambil mengoleskan sisa lotion ke kakinya.

"Gue jadi penasaran dengan lotion ini kalo udah nempel di tubuh Cherry. Pantes aja, kalo dia lewat tuh wanginya awet, parfumnya mahal! Perawatannya bermerk semua. Lakinya tekor nih nanti. Kalo gue sih sayang buat beli begituan, cukup parfum 50 ribu aja, cewek pada nyantol."

Setelah puas dengan ke-kepo-an yang tidak disengaja, Bia memutuskan untuk tidur. Sepertinya matanya sudah bisa di ajak bernegosiasi. Dia merebahkan tubuhnya yang sebenarnya lelah seharian di pemakaman kemudian disibukkan dengan kejadian aneh yang menimpa Cherry.

Sekejap saja, ia masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Begitu Bia tertidur pulas, Cherry terbangun, dia menarik benang yang awalnya terkait dengan Bia. Rupanya Bia lupa mengaitkan benang penghubung itu ke pergelangan tangannya. Jadilah usaha Cherry membangunkan Bia sia-sia. Cherry makin gelagapan dengan sesuatu yang mengganggunya. Kini dia yakin, dia berada di alam yang berbeda dengan Bia. Dia bisa berdiri, berjalan bahkan berlari serta berteriak minta tolong. Tapi, tidak ada siapapun disana. Hanya warna putih yang mengelilinginya. Cherry melihat sesosok yang sepertinya ia kenal tengah duduk di atas sebuah batu nisan.

"Kek...apa itu Kakek?" tanya Cherry ragu.

"Ya. Ini aku, kamu mengenaliku?"

"Tentu. Kek, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa belakangan aku mengalami hal buruk?" tanya Cherry.

"Itu belum seberapa. Masih banyak hal yang menakjubkan yang akan kamu temui, Nak. Apa kamu sudah tidak kuat?"

Cherry terdiam. Rupanya dia di tengah keraguan. Dia mendekati kakek buyutnya. Betapa terkejutnya Cherry, melihat sebuah batu nisan yang bertuliskan nama seseorang. Saking kagetnya, Cherry sampai terjengkang.

"Kek....apa ini?" tanya Cherry meyakinkan diri bahwa nisan itu bertuliskan namanya.

"Kalo kamu mundur, begini jadinya!"

Cherry menjerit. Si kakek buyut justru tertawa bahagia melihat ketakutan Cherry.

"Hahahah....." Si kakek masih melanjutkan kegeliannya melihat wajah Cherry yang benar-benar ketakutan.

"Kamu takut?" tanyanya sekali lagi.

Cherry hanya mengangguk. Dia tidak sanggup berkata-kata. Saking takutnya, dia meringkuk di sebuah batu besar di samping batu nisannya.

"Tidak seharusnya kamu takut. Apa kamu lupa bagaimana perjanjian kita kemarin?"

Merasa ditantang oleh kakeknya, Cherry mendongakkan kepalanya. Dengan lantang ia menjawab petanyaan kakek buyutnya.

"Aku tidak akan pernah lupa tentang balas dendam itu. Sampai kapan pun, aku tidak akan membiarkan mereka hidup dengan tenang. Mereka tidak akan pernah bahagia!"

"Terima ini!"

Kakek buyut memberikan sesuatu di tangan Cherry.

"Jangan dibuka sebelum aku menghilang!" pesannya.

Begitu kakek buyut menghilang, Cherry membuka genggaman tangannya. Sebuah dompet kuno kecil berwarna merah. Aromanya sangat harum.

"Selongsong peluru?" herannya.

"Buat apa kakek ngasih gue ini?"

Kemudian, angin kencang menyertai kepergian kakek buyut. Dentuman seperti suara bom yang meledak mengikutinya. Petir menyambar-nyambar. Salah satunya menghantam tubuh Cherry.

Jedeeeeeer....

Cherry terlempar dan terhempas. Namun, dia justru merasa lebih baik. Justru makin kuat. Dia belum paham dengan arti dari sambaran petir yang baru saja melontarkannya. Kejadian itu justru membuatnya bangun dan kembali ke dunia nyatanya. Begitu Cherry terbangun, dia menengok ke selilingnya.

"Gue dikamar?" gumamnya.

Melihat selang oksigen dan infus tertancap di tangan dan hidungnya, Cherry segera melepasnya.

"Gue udah ga butuh ink semua!"

"Jadi gue cuma mimpi, rasanya kayak beneran."

Cherry merasakan di tangannya menggenggam sesuatu. Dia membuka tangannya. Sebuah selongsong peluru. Terasa masih hangat.

"Aneh, kenapa kakek ngasih ini ke gue, apa maksudnya. Apa ini pertanda gue harus nembak mati Bia dan emaknya itu? Tapi bukan kematian yang jadi tujuan gue. Gue cuma mau mereka menderita karena usah ngusik keluarga gue."

Cherry turun dari ranjang empuknya. Begitu ia menurunkan kakinya, kakinya menginjak sesuatu di dalam selimut. Cherry membukanya.

"Biaaaaa!!!!" teriak Cherry.

Sontak Bia kaget dan terbangun.

"Cherry! Lo kok?"

"Kenapa? Lo berharap gue mati, ya?"

"Eh gue ga bilang begitu. Lo yang ngomong sendiri. Tapi gimana lo bisa sembuh secepet ini. Padahal....."

"Heh! Jado lo seneng liat gue sakit?"

"Astaga.... lo salah paham mulu ke gue."

"Ngapain lo di kamar gue. Cepetan keluar!"

"Bentar-bentar. Gue numpang kamar mandi dulu."

"Enak aja! Ga, sana keluar!"

Cherry mendorong Bia dengan kasar keluar dari kamarnya.

"Bener kan! Dia mendingan sakit. Kalem, cakep. Kalo udah gini, macannya keluar!"